Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menimbang Harga Demokrasi dan Resiko Biaya Perang

OLEH: MOCH. EKSAN*

Sabtu, 10 Juni 2023, 03:36 WIB
Menimbang Harga Demokrasi dan Resiko Biaya Perang
Ilustrasi/Net
THE Arab Spring atau Al-Tsauratul Arabiyah atau revolusi Arab pada akhir 2010 tak semua berhasil merubah sistem politik dari otoriter pada demokrasi. Penguasa yang tampil pasca lengsernya rezim otoriter justru berpaling kembali pada sistem yang lama.

Aksi unjuk rasa dan protes massa memang telah berhasil menggulingkan rezim diktator di sejumlah negara. Presiden Tunisia Ben Ali, Presiden Mesir Hosni Mubarak, Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Presiden Libya Muammar Khadafi, dapat ditumbangkan sebagai pertanda awal transisi demokrasi.

Massa ujuk rasa yang dikonsolidasi melalui media sosial mulai dari Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype, sesungguhnya bukan melawan pribadi para presiden di atas.

Akan tetapi, mereka melawan keadaan negara yang otoriter, menderita kemiskinan ekstrem, korupsi, pelanggaran HAM, inflasi, kleptokrasi, pengangguran, dan sektarianisme.

Rakyat berharap dunia Arab mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Suatu tatanan yang demokratis, pemilu yang jujur dan adil, kebebasan ekonomi, menghormati HAM, ketersediaan lapangan pekerjaan, Islamisme dan pergantian rezim yang tertib dan teratur.

Sayangnya, musim semi demokrasi di dunia Arab berubah menjadi musim gugur demokrasi itu sendiri. Yang tersisa, hanya Tunisia yang tetap menyemai nilai Islam dan demokrasi. Selebihnya kembali pada pangkuan otoritarianisme.

Mereka berpandangan demokrasi telah melemehkan kekuatan ekonomi negara-negara Arab. Sampai-sampai dalam benak mereka tertanam, demokrasi tak cocok dengan bumi Timur Tengah. Mereka berkesimpulan Islam tak comfortable dengan demokrasi.

Padahal, sejumlah negara muslim terbesar, seperti Indonesia, Turki dan Iran, justru menemukan pola hubungan yang nyaman. Tradisi musyawarah menjadi democratic culture dari sistem demokrasi yang mereka anut. Negara Pancasila, negara Ottoman, dan negara Mullah tersebut sama berbentuk republik. Presiden sebagai pimpinan eksekutif dipilih secara langsung oleh rakyat.

Presiden Joko Widodo dipilih secara langsung oleh rakyat pada Pilpres 2019. Kemudian Presiden Recep Tayyip Erdogan dipilih secara langsung oleh rakyat pada Pilpres 2023. Dan Presiden Ebrahim Raisi juga dipilih secara langsung oleh rakyat pada Pilpres 2021. Basis dukungan massa pemilih puluhan juta mereka merupakan legitimasi dari pemerintah dalam melaksakan amanah rakyat.

Kendati, Indonesia, Turki dan Iran sama-sama menggunakan Pilpres pilihan langsung rakyat, tiap negara punya keunikan sendiri, tergantung pada tingkat peradaban demokrasinya. Bahkan, indeks demokrasi ketiga negara ini peringkatnya tak sama satu sama lain.

Indeks demokrasi itu merupakan peringkat demokrasi yang diukur dari skala 0-10. Ini mengacu pada 60 indikator pertanyaan dan dikelompokkan pada 5 katagori berbeda. Antara lain: Pertama, proses pemilihan umum dan pluralisme; kedua, kebebasan sipil; ketiga, fungsi pemerintahan; keempat, partisipasi politik; dan kelima, budaya politik.

Setiap tahun, Economist Intelligence Unit (EIU) melakukan penilaian terhadap 167 negara di dunia. Termasuk terhadap Indonesia, Turki dan Iran tersebut. Pada 2022, Indonesia berada di peringkat ke-54 dengan nilai 6,71. Turki menempati peringkat ke-103 dengan nilai 4,35. Dan Iran sendiri ada di peringkat ke-154 dengan nilai 1,96.

Yang ironis, beberapa negara yang gagal atau nyaris gagal demokrasi di atas, seperti Tunisia (85) Mesir (131), Yaman (155) dan Libya (151) lebih tinggi peringkatnya dari Turki dan Iran. Ini tak lepas dari katagori yang tak melulu soal pemilu dan pluralisme. Barangkali, ada katagori yang lain yang lebih baik.

Yang pasti, indeks demokrasi Indonesia lebih baik dari sejumlah negara-negara muslim di atas. Sebab, di level konseptual dan operasional demokrasi sudah paripurna. Mayoritas muslim Indonesia adalah Demokrat religius.

Saiful Mujani dalam disertasinya di Ohio State University menemukan konstribusi tradisi memilih pemimpin di NU dan Muhammadiyah menjadi democratic culture dari bangunan demokrasi Indonesia Pasca Soeharto.

Disertasi berjudul "Religious Democrats: Democratic Culture and Muslim Political Participation in Post-Suharto Indonesia", telah diterjemahkan menjadi "Demokrasi Religius: Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik Muslim di Indonesia Pasca-Soeharto".

Disertasi setebal 393 halaman ini merupakan buku babon yang memastikan masa depan demokrasi Indonesia.

Partisipasi kaum santri dalam pengertian Clifford Geetz merupakan pilar demokrasi kian mengukuhkan demokrasi religius. Jumlah mereka lebih dari 150 juta. NU anggotanya tak kurang dari 95 juta. Sedangkan Muhammadiyah tak kurang dari 60 juta. Jumlah ini separuh lebih dari penduduk Indonesia yang mencapai 275 juta lebih.

Jamaah dan jamiyyah ormas Islam terbesar pertama dan kedua ini menjadi basis ideologis dari Islam dan demokrasi di Indonesia. Mereka yang telah selesai dengan keindonesiaan. Mereka tak lagi menggugat Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika dengan ideologi Islam, syariat Islam, Khilafah Islamiyah dan ummatan wahidah.

Sekarang, NU dan Muhammadiyah sepakat menggulirkan pentingnya moral leadership (kepemimpinan moral) untuk menetralisir kecenderungan pemilu dari adu gagasan menjadi adu logistik.

Demokrasi di Indonesia menjadi demokrasi berbiaya tinggi. Kendati masih lebih murah dari Amerika Serikat yang capai 205 triliun dan India yang tembus 199 triliun.

Demokrasi berbiaya tinggi tersebut masih lebih baik daripada biaya perang akibat tiadanya pemilu yang membuka jalan bagi siapapun dan dari kelompok manapun untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan secara konstitusional dan institusional. Sebab, biaya politik jauh lebih murah daripada biaya perang.

Sebagai ilustrasi, perang Rusia dan Ukraina yang telah berlangsung lebih dari 1 tahun, telah menyebabkan 43 ribu lebih yang meninggal, 18 juta penduduk butuh bantuan kemanusiaan, dan 14 juta mengungsi. Di samping kerugian ekonomi global yang ditaksir mencapai 2,8 triliun dolar atau setara dengan 42 ribu triliun lebih.

Jadi, jumlah anggaran Pemilu 2024 yang tembus 76,6 triliun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan resiko biaya perang yang harus ditanggung kalau terlibat perang saudara karena tiadanya pemilu. Apalagi, biaya pemilu sejumlah itu lebih banyak berupa honor pada penyelenggara pemilu di tingkat TPS yang jumlahnya 820 ribu lebih.

Demokrasi dan perang adalah sesuatu entitas yang berbeda. Kendati substansinya sama-sama politik. Kata Mao Zedong, politik itu perang tanpa pertumpahan darah. Dan perang itu politik dengan pertumpahan darah. Politik maupun perang terjadi lantaran perebutan harapan antar anak manusia di berbagai belahan dunia.

Akhirnya, saya kutipkan pernyataan Avina Celeste: "Memiliki harapan adalah setengah dari pertempuran. Tanpa harapan, tidak ada pertempuran untuk dimenangkan, tidak ada tempat untuk dituju. Tanpa harapan, kamu tetap di tempatmu berada selamanya."

*Penulis adalah pendiri Eksan Institute

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA