Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dilema Hukum dalam Kasus Korupsi BUMN

OLEH: ROMLI ATMASASMITA*

Sabtu, 03 Juni 2023, 09:47 WIB
Dilema Hukum dalam Kasus Korupsi BUMN
Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita/Net
PERKEMBANGAN hukum khusus pemberantasan korupsi menjelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo tahun 2024 tengah diramaikan dengan meningkatnya kasus korupsi yang terjadi, terutama oleh penyelenggara negara dan aparatur penegak hukum khususnya Hakim pada tingkat Pengadilan Negeri sampai dengan Mahkamah Agung.

Menurut Deputi Pencegahan KPK, korupsi terbanyak dalam prosedur lelang barang/jasa pemerintah di mana BUMN persero berperan penting di dalamnya.

Data KPK menunjukkan bahwa hampir seluruh jajaran birokrasi dan korporasi swasta terlibat korupsi. Desember 2004 sampai dengan 2022, pelaku usaha sebanyak 373, anggota DPR/DPRD 343, pejabat publik eselon I dan III 310, walikota/bupati dan wakilnya 158, hakim, 29, gubernur 23, pengacara 16, jaksa, 11, korporasi, 8, dutabesar 4, dan polisi 3.

UU Antikorupsi itu sendiri telah disosialisasikan selama tahun 1999/2000, UU Anti-Pencucian Uang telah disosialisasikan selama enam bulan namun kesadaran hukum masyarakat juga aparatur hukum, termasuk pengacara belum memahami benar kedua UU tersebut.

Contoh, ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3, yang merupakan ketentuan pokok dari UU Antikorupsi 1999 masih berbeda pemahaman praktik; ketentuan Pasal 2 dimaksudkan untuk setiap orang selain penyelenggara negara, dalam praktik diterapkan pada setiap orang tanpa kekecualian.

Sedangkan Ketentuan Pasal 3 dimaksudkan untuk seorang PNS/ASN termasuk pejabat tinggi setingkat menteri yang memiliki kewenangan karena kedudukan atau jabatannya tetapi dalam praktik disamakan maknanya antara ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3.

Penerapan hukum sedemikian mengakibatkan ketidakpastian hukum bahkan ketidakadilan bagi pencari keadilan. Begitu pula dalam hal mencatat ada-tidaknya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Dalam UU Perbendaharaan Negara, telah ditetapkan bahwa, hanya Lembaga Badan Pemeriksa Keuangan Negara (BPK) yang dibentuk berdasarkan UU 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BPK berwenang menghitungnya, akan tetapi dalam praktik, aparatur hukum, kejaksaan dapat meminta laporan hasil pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dibentuk berdasarkan UU 9/2021.

Kedudukan BPK lebih tinggi dari BPKP karena dibentuk berdasarkan UUD 45. Dalam praktik sering terjadi jika berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK, tidak ditemukan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, penyidik kejaksaan atau KPK akan meminta   LHP BPKP.

Dan, praktik peradilan temuan-temuan BPKP dapat dijadikan pertimbangan majelis hakim. Begitu pula di dalam UU Anti-Pencucian Uang, Nomor 8 tahun 2010; telah ditetapkan bahwa transaksi keuangan yang mencurigakan adalah dilarang untuk dibuka kepada publik, akan tetapi masih ada pejabat pemerintah yang mengumumkan transaksi keuangan mencurigakan (suspicious transaction) kepada publik dan tidak ada sanksi yang diberikan.

Dalam hal kasus RA, seorang pegawai pajak eselon III, hal tersebut terjadi tanpa ada kekhawatiran dijatuhi sanksi. Selain masalah kewenangan menemukan ada-tidaknya unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Masalah pembuktian beban terbalik berbeda dengan tindak pidana tipikor. Pasal 69 UU TPPU menyatakan, untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, dan tidak ada penjelasannya di dalam UU TPPU.

Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 2 UU TPPU yang menyatakan bahwa, hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari dua puluh tiga jenis tindak pidana, maka dipastikan tindak pidana pencucian uang harus memiliki kejahatan asal (predicate offence).

Berdasarkan sistem hukum civil law, termasuk Indonesia, kejahatan asal tersebut harus dibuktikan terlebih dulu. Tetapi masih ada keganjilan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 69. Maksud dan tujuan pembentukan Pasal 69 UU TPPU harus dihubungkan dengan Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU.

Ketiga pasal tersebut sejatinya menuju ke arah beban pembuktian terbalik (reversal of burden of proof) yang diatur pada Pasal 77 dan Pasal 78 UU 8/2010.

Pasal 77 menyatakan, untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.

Pasal 78 (1) dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

(2) Terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.

Ketentuan ketiga pasal tersebut di atas harus dimaknai bahwa tujuan kelancaran penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan, beban pembuktian suatu perkara lazim dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum, di dalam UU TPPU, beralih kepada terdakwa.

Pengalihan beban pembuktian kepada terdakwa bukan perkara yang mudah tetapi rentan terhadap penyalahgunaan oleh aparat hukum dan sulit dinafikan, juga rentan terhadap perlindungan hak asasi seseorang yang didakwa tindak pidana pencucian uang.

Penelusuran tempus delicti, uang yang diduga hasil tindak pidana dapat berlaku surut sampai pada tempus ketika seseorang dalam jabatan dinas lain.

Contoh kasus Dirlantas Polda Metro Jaya, Soesilo, di mana KPK telah melakukan penelusuran asset (assets tracing) sejak terdakwa menjabat sebagai ditserse di kota pekalongan jauh sebelum yang bersangkutan menjabat sebagai Direktur Lalu Lintas Polda Metro.

Sampai saat ini belum ada upaya pemerintah untuk meninjau kembali tiga ketentuan UU TPPU tersebut (Pasal 69, Pasal 77, dan Pasal 78) untuk direvisi dan dibuatkan hukum acara beban pembuktian terbalik.

Dilema hukum terakhir yang akan muncul adalah pemberlakuan RUU Perampasan Aset tindak pidana (UU PA) yang akan datang; di samping UU Anti-Pencucian Uang dan UU Antikorupsi.

Dalam hal telah dilaksanakan perampasan aset tindak pidana, dalam UU PA ditegaskan bahwa Lembaga Pengelola Aset rampasan adalah Kejaksaan Agung. Sedangkan di dalam UU TPPU telah ditentukan PPATK.

Keadaan dilematis hukum tersebut memerlukan sinkronisasi pembahasan kelak dalam RUU PA. Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana penerapan hukum UU Antikorupsi dan UU Anti-Pencucian uang terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi?

Korporasi yang dimaksud adalah korporasi yang telah diakui sebagai subjek hukum pada 1976 di Belanda dan khususnya di Indonesia dengan UU 1/2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).

Penerapan kedua UU tersebut terhadap Korporasi khususnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sering dilematis.

Hal ini disebabkan, pertama, BUMN tetap saja milik negara sebesar 51% sahamnya sehingga dapat dikatakan anggaran negara untuk membiayai satu BUMN cukup besar dan sering memperoleh proyek infrastruktur dengan nilai yang mencapai triliunan atau paling sedikit Rp 500 M.

Jika BUMN tidak dikelola secara manajerial dan profesional dapat dipastikan akan terjadi korupsi karena dana BUMN adalah dana negara; di situlah letak dilematisnya.

Saat ini yang telah terjadi adalah 50% dari BUMN yang ada telah menderita kerugian besar. rmol news logo article

*Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA