Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Antisipasi Pajak dalam Arus Politik Pilpres

OLEH: MUHAMAD ARAS PRABOWO*

Jumat, 05 Mei 2023, 03:28 WIB
Antisipasi Pajak dalam Arus Politik Pilpres
Muhamad Aras Prabowo/Net
TENTU kita masih ingat Pilpres 2019 lalu yang diwarnai drama sejak awal pembukaan pendaftaran Pasangan Calon (Paslon) presiden dan wakil presiden oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), begitu banyak sepekulasi politik yang bertebaran di media.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Hingga satu hari batas pendaftran Paslon, keduanya baru mengumumkan wakilnya. Joko Widodo dengan KH. Ma’rif Amin dan Prabowo dengan Sandiaga Uno. Kedua kubu menentukan wakilnya tidak lepas dari tarik-menarik kepentingan partai pengusung untuk mecapai kemenangan.

Kontekstasi politik selalu susah ditebak karena sangat dinamis, hingga yang tidak terprediksipun biasa terjadi agar kepentingan kelompok masing-masing terakomodir. Kedua kubu aduh strategi pemenangan, tidak boleh salah langkah karena akan mempengaruhi hasil akhir.

Hingga masa kampanye kedua Paslon tidak henti-hentinya mempertontonkan intrik politik kepada publik. Publikpun larut dalam suasana Pilpres yang kerap kali menimbulkan ketenggangan hingga gesekan-gesekan demi mempertahankan atau menaikkan eletabilitas Paslon.

Semua Paslon memiliki strateginya dalam meningkatkan elektabilitas dan menkounter serangan politik, bahkan sesekali harus menyerang dan membuat kontroversi melalui berbagai saluran media. Selama tidak melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan hingga metode curang seperti politik uang dan kampanye hitam.

Masa kampanye berlalu meskipun terjadi beberapa banyak intrik dan spekulasi. Pemungutan suara tanggal 17 April lalu berjalan dengan kondusif tanpa masalah yang cukup serius. Beberapa insiden merupakan bagian yang tidak terhidarkan dalam pelaksanaan Pilpres.

Misalnya keterlambatan logistik, kekurangan surat suara tertentu, keterlambatan pemungutan suara sampai dengan pemungutan suara ulang karena dinilai terjadi kesalahan prosedural menurut Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Setelah pemungutan suara, tensi Pilpres kembali memanas, puncaknya ketika berbagai lembaga survei mengunggulkan pasangan nomor 01 Joko Widodo – KH. Ma’ruf Amin versi hitung cepat. Untuk menjaga kesolidan para pendukung dan relawan, Paslon nomor 02 Prabowo–Sandi kemudian menggelar deklarasi kemenangan dengan mengklaim 62% suara untuk versi hitung cepat internal.

Rentetan deklarasi dilakukan demi meyakinkan masyarakat, termasuk para pendukung dan relawannya dengan tuding para lembaga survei tidak independen serta cenderung memihak pada Paslon 01.

Saling klaim kemenangan terjadi, masing-masing dengan data yang dianggap valid. Strategi pemenangan kembali diatur sedemikan rupa hingga Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo–Sandi nampaknya menggunakan segala cara agar klaim kemenangan bisa meraka genggam hingga proses hitung manual selesai.

Ada yang tidak lazim dalam dipertarungan Pilpres lalu, BPN Prabowo–Sandi dalam mempertahankan klaim kemenangan menuding bahwa Pilpres curang dengan dalih Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) hingga salah satu petinggi partai menyerukan kepada pendukung paslon 02 Prabowo–Sandiaga untuk tidak membayar pajak kelak.

Politisasi Pajak dalam Pilpres 2019

Seruan untuk tidak membayar pajak sebagai bentuk penolakan terhadap hasil Pemilu yang ditetapkan KPU. “Tolak bayar pajak kepada Pemerintahan hasil Pilpres 2019 yang dihasilkan oleh KPU yang tidak legitimate itu adalah hak masyarakat karena tidak mengakui Pemerintahan hasil Pilpres 2019,” ujar petinggi partai tersebut melalui siaran pers, Rabu (15/5).

Paslon yang kalah  mengajak para pendukungnya untuk tidak membayar pajak apabila Joko Widodo–KH. Ma’ruf Amin terpilih. Hal tersebut kemudian diklarifikasi oleh partainya bahwa “politisi tersebut itu cenderung pendapat pribadi, Kamis (16/5).

Menurut saya apa yang dilontarakan oleh petinggi partai itu bukan sebuah strategi yang strategi yang sehat dalam kompetisi Pilpres 2024 yang akan datang. Hal tersebut telah keluar dari batas yang telah ditentukan oleh undang-undang bahkan menentang undang-undang.

Sebab membayar pajak adalah kewajiban setiap warga negara baik orang pribadi maupun badan, seperti yang tertuang dalam pasal 23 A UUD 1945 pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara.

Kemudian diatur dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan/UUKUTp, Undang-undang No. 6/1983 dan diganti dengan Undang-undang no.16/2000. Untuk lebih jelasnya bisa dibaca dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) serta Peraturan Pelaksanaannya yang ditebitkan oleh Kemeterian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pajak, Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat.

Saya rasa setiap warga negara harus memahami dan menaati peraturan tersebut, termasuk setiap Paslon dan partai peserta Pemilu karena meraka bagian dari wajib pajak, setidak-tidaknya wajib pajak orang pribadi.

Fenomena boikot pajak dalam PIlpres atau kontekstasi politik merupakan tindakan yang akan membawa dampak negaif terhadap negara, termasuk pada stabilitas pemerintahan. Kita semua tahu bahwa anggaran operasional negara hingga sarana dan prasaran termasuk dana desa berasal dari pengutan pajak. Pada akhirnya, aksi boikot pajak akan berdampak kepada masayarakat sendiri, bahkan kepada partai.

Pajak Wujud Nasionalisme

Menurut Dr. Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in History and Politics mengemukakan empat unsur nasionalisme, yaitu: Hasrat untuk mencapai kesatuan. Hasrat untuk mencapai kemerdekaan. Hasrat untuk mencapai keaslian. Hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa.

Dari definisi itu, negara dan bangsa adalah sekelompok manusia yang: memiliki cita-cita bersama yang mengikat warga negara menjadi satu kesatuan; memiliki sejarah hidup bersama sehingga tercipta rasa senasib sepenanggungan; memiliki adat, budaya, dan kebiasaan yang sama sebagai akibat pengalaman hidup bersama; menempati suatu wilayah tertentu yang merupakan kesatuan wilayah; dan terorganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat sehingga mereka terikat dalam suatu masyarakat hukum.

Harus dipahami bahwa, uang yang dikeluarkan dalam pembayaran pajak, baik sebagai wajib pajak orang pribadi atau badan sesungguhanya akan kembali kepada masyarakat, baik dalam bentuk infrastruktur, sarana dan prasaran. Karena pajak adalah pendapatan Negara untuk pembangunan bangsa.

Sikap nasionalisme bukan hanya sekedar mempertahankan cita-cita kemerdekaan Indonesia, tapi kepatuhan dalam pembayaran pajak adalah salah satu sikap nasionalisme dalam memajukan pembangunan bangsa.

Jadi saya rasa bahwa seluruh Parpol harus memasukkan materi perpajakan dalam kurikulum kaderisasinya. Setiap kader Parpol harus belajar tentang sikap nasionalisme, dan bisa dimulai dengan taat bayar pajak. Alangkah ironisnya suatu bangsa jika memiliki pejabat atau seorang tokoh yang tidak memahami urgensi pajak terhadap keberlangsungan hidup sebuah Negara.

Indonesia saat ini membangun berbagai infrastrutur tidak ada lain kecuali bersumber dari pajak, dan tujuan dari infrastruktur adalah sebanyak-banyaknya untuk kesejahteraan bangsa negara, bahkan setiap Parpol mendapatkan suntikan dana dari APBN yang bersumber dari pajak.

Refleksi untuk Pilpres 2024

Apa yang terjadi pada Pilpres 2019 seyogyahnya menjadi refleksi untuk Pilpres mendatang. Siapapun dan dari partai manapun Paslonnya harus bersepakat dan berkomitmen untuk menciptakan Pilpres yang damai, jujur dan adil. Tidak menghalalkan segala cara untuk hasrat politiknya.

Termasuk tidak menyeret pajak dalam kepentingan politik Pilpres. Semua kontestan harus memahami bahwa antara yang menang dan yang belum mendapat amanah dari rakyat sama-sama membutuhkan pajak sebagai instrumen untuk mengelola negara.

Oleh karena itu, semua Paslon harus bersepakat untuk berkomitmen dalam meningkatkan pungutan pajak, agar APBN bisa lebih optimal dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bukan hanya itu, komitmen pengawasan perpajakan harus dibangun dengan mapan dalam bentuk Management Control System (MCS), hal tersebut seharusnya dituangkan dalam visi-misi masing-masing Paslon.

Bukankah untuk mewujudkan visi-misi perlu anggaran untuk menopangnya? Dan kurang lebih tujuh puluh persen sumber anggaran APBN Indonesia adalah perpajakan. Artinya apa? Untuk mewujudkan dan memenangkan hati rakyat pada saat mendapatkan amanah harus menuntaskan janji-janji politiknya yang tertuang dalam visi-misi. Pengelolaan pajak yang andal, akan meminimalisir jeratan utang luar negeri kepada negara. Pada akhirnya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.rmol news logo article


*Penulis adalah Ketua Program Studi Akuntansi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA