Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Lieus Sungkharisma: Pejuang Keadilan dan Mitigasi Stigma Tionghoa

OLEH: JON A. MASLI

Rabu, 15 Februari 2023, 08:42 WIB
Lieus Sungkharisma: Pejuang Keadilan dan Mitigasi Stigma Tionghoa
Lieus Sungkharisma/Net
BEBERAPA waktu lalu, sempat kita melihat video-video viral beberapa pejabat dan tokoh nasional melayat almarhum Lieus Sungkharisma (LS) seperti Pak Prabowo, Anies Baswedan, Jusuf Hamka, Eros Djarot, Rizal Ramli, dan lain-lain.

Ada satu kesimpulan pesan yang mereka sampaikan kepada para anggota keluarga almarhum LS, bahwa mereka perlu berbangga punya ayah, engkong, asuk, saudara seperti LS, tokoh Tionghoa yang berani konsisten memberi kritik-kritik membangun dan usulan-usulan solusi yang berkeadilan kepada pemerintah.

Sosok LS beda sekali dengan stigma masyarakat Tionghoa selama ini, bahwa “orang Tionghoa itu dekat dengan penguasa dan hanya mau cuan doang”.

Di satu sisi, kita mengakui dari fakta bahwa hampir semua orang-orang Tionghoa yang sangat sukses dan super crazy rich itu perjalanan hidupnya memang demikian adanya, bahwa mereka dekat dengan penguasa dan dapat cuan yang berlimpah.

Tapi di sisi lain, bukankah mereka ini hanya segelintir dari mayoritas belasan juta masyakarat Tionghoa yang middle class, yang kebanyakan dikenal pekerja keras, punya toko, dan tekun berdagang?

Bahkan banyak juga orang-orang Tionghoa melarat di Kalbar (Kalimantan Barat), Bangka Belitung, Bagan-Siapiapi, dan pelosok-pelosok terpencil yang berpenghasilan di bawah UMP.

Apakah kita terus mengecap orang-orang Tionghoa dengan stigma tadi? Apalagi akhir-akhir ini meluap kasus-kasus mega korupsi oleh Henry Surya, Benny Cokro, Apeng Darmadi, dan lain-lain sehingga menambah lekatnya stigma negatif ini.

Lebih gawat lagi kini diisukan kelompok sembilan naga dan para pembobol BLBI yang jumlahnya puluhan super crazy rich itu yang distigmatisasi sebagai oligarki yang mengatur bangsa dan negara RI. Memang ada benarnya sih. I dare not deny it!

Sempat anak bungsu saya yang lulusan University of California at Riverside pun menanyakan asal-usul stigma negatif ini dengan debat kusir panas antara kami, saya yang  generasi senior asli Cina dan putraku, Samson, yang generasi milenial, yang ibunya/istriku Batak tulen (sepupunya Miranda Gultom). Putraku prihatin karena dia sering dibully lahir 1/2 Cina 1/2 Batak, tapi kerap dibully Cokin lho.

“Some post truth” fakta bahwa memang betul adanya stigma negatif ini sudah tumbuh, terbangun sejak dari zaman Soeharto oleh sukses sekelompok orang-orang Tionghoa yang super crazy rich tadi dan sangat sukses bisnisnya sampai sekarang.

Namun kata anakku tadi, fakta juga mengatakan bahwa bukankah ada para pejabat/penguasa yang notabene mereka adalah pejabat-pejabat dari berbagai suku etnis Indonesia yang terlibat membantu memperkaya raya para super crazy rich tadi dan cuan triliunan. Mereka juga dapat kickback/imbalan dari para super crazy rich, tapi kok mereka tidak berstigma demikian seperti yang melekat pada orang-orang Tionghoa?

"NOT FAIR, DADDY," teriak anakku.

"Padahal pejabat-pejabat penguasa ini juga tajir dan crazy rich, mereka pensiun diam-diam dengan tumpukan harta untuk beberapa turunan juga kok.

Apakah ada yang berani mengatakan atau mengstigma para pejabat/penguasa itu yang mayoritas mereka itu pribumi asli yang memuluskan praktek modus operandi bahwa orang Cina itu dekat dengan penguasa dan mau cuan doang yang dari jaman Soeharto sampai sekarang masih sami mawon.

Ini yang tokoh Tionghoa nasionalis almarhum Lieus Sungkharisma perjuangkan agar jangan karena nila setitik, rusak susu sebelangah. Jangan sampai stigma ini terus melekat lalu meledak getahnya ke mayoritas orang-orang Tionghoa lainnya yang de facto adalah middle class biasa seperti kebanyakan orang2 Indonesia umumnya.

LS almarhum berjuang berupaya menitigasi stigma ini. Hampir selama ini beliau lone star berjuang  sendirian. Sepertinya tokoh-tokoh top Tionghoa lainnya enggak wani karena berbagai pertimbangan mungkin benturan kepentingan yang sah-sah saja, terutama mereka kalau sudah nempel penguasa dan cuan kenyang.

Tapi sampai kapankah sebagai orang Tionghoa di negeri yang berazas Pancasila dan UUD 1945 dapat terus melawan stigma ini?

Namun kita sudah liat anak-anak milenial keturunan Tionghoa sudah mulai mengikuti jejak Lieus dengan pola pendekatan yang berbeda. Mereka membuat talk show dan podcast di medsos dengan mengundang para nara sumber tokoh  nasional, politikus dan penguasa. Mengkritik dengan lelucon-lelucon sehingga tidak vulgar.

Smart move boys! Belum banyak sih, yang paling berani mungkin hanya Deddy Corbuzier. Yang lain masih malu-malu kucing, unlike LS yang kritis dan berani sampai pernah masuk penjara karena vokal mengkritk kebijakan pemerintah, sehingga almarhum sempat di cap “Kadrun Cina” oleh sekelompok orang di WAG Tionghoa yang ngakunya intelek, orang berpendidikan, dan kaya, tapi miskin wawasan dan toleransi, eksklusif tidak berkaca/introspeksi bahkan ngakunya mereka beragama Kristen dan Buddha yang soleh.

Stigma negatif memang tidak mudah terhapus di dalam suatu budaya apapun. Lihat saja seperti stigma orang-orang Negro di sini yang berstigma orang yang bermasalah, penjahat, bersenjata, dan lain-lain. Memang mereka selama ini etnis miskin dan minim pendidikan, namun outstanding dalam hal olahraga.

AS negeri demokrasi yang sudah berabad-abad pun punya masalah sosial begini.

Solusinya adalah semoga orang-orang Tionghoa menyadari stigma ini dan berupaya memitigasi seperti almarhum LS. Sederhana saja "conduct yourself accordingly" dengan penuh tangggung jawab dan toleransi sebagai WNI yang de facto Tionghoa adalah komponen masyarakat majemuk BTI Indonesia.

Hidup rukun dengan WNI dari beragam etnis dan agama. Ini yang dilakonin almarhum LS puluhan tahun sebagai tokoh Tiongoa teladan ikut membangun bangsa.

Upaya ini sudah ada seperti kita lihat kepedulian kelompok usaha seperti Djarum Grup dengan kegiatan pembibit olahraga bulu tangkis. Artha Graha Peduli dengan kegiatan-kegiatan sosialnya; Sedayu  groupnya Aguan dengan Tzu Zhinya yang selalu berada di garis depan membantu orang-orang miskin dan bencana nasional.

They are doing great jobs. Tapi yang lebih penting lagi, "Hai orang-orang Tionghoa, jauhilah upaya-upaya atau ulah-ulah seperti kasus Jiwasraya, Indo Surya, Apeng Darmadi dan pembobolan BLBI gitu lho."

Pada saat yang sama, lo lo para pejabat dan politikus yang lagi berkuasa tahu diri dong. Introspeksilah kelakuan-kelakuann kalian yang merugikan masyarakat Indonesia. Lo  lho orang Tionghoa yang sudah super crazy rich dengan kekayaan puluhan turunan CIAK BE LIAW alias gak bakal abis, introspeksilah, berbuatlah proyek-proyek kemanusian menolong those our brothers and sisters yang de facto mayoritas Muslim yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.

I am sure you already know what I “mean”, you know better lah! Kita tidak mau mayoritas Tionghoa kena getah stigmanisasi itu berlanjut.

Bertaubatlah! seperti kata Kitab Wahyu 2:16. Sadarkah kita bahwa provokator-provokator peristiwa berdarah 98 itu masih “exist” berkeliaran.

(Salam dari downtown LA bersama orang-orang gereja bagi-bagi bingkisan kepada orang-orang homeless). rmol news logo article

*Penulis adalah diaspora di AS dan Corporate Advisor

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA