Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mencari Jalan Hukum untuk Mengadili Penista Agama di Luar Negeri

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/maneger-nasution-5'>MANEGER NASUTION</a>
OLEH: MANEGER NASUTION
  • Jumat, 03 Februari 2023, 02:21 WIB
Mencari Jalan Hukum untuk Mengadili Penista Agama di Luar Negeri
Maneger Nasution/Net
PENISTAAN agama adalah salah satu tindak pidana kejahatan penghinaan dan merendahkan suatu agama. Penistaan agama adalah masalah sensitif dalam dunia kemanusiaan universal. Hampir semua negara-bangsa di dunia ini menerapkan hukum penodaan agama. Di Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Asia, dan Afrika para pelaku penodaan agama dihukum berat. Sebab itu bagian dari kedaulatan bangsa.

Untuk itu, dibutuhkan kehati-hatian dan kecerdasan menjaga lisan dan laku dalam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Tidak boleh dengan alasan kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak boleh mencederai ketertiban umum, apalagi memasuki ranah penistaan agama.

Dengan demikian, UU Penistaan Agama masih relevan. Kalau UU Penistaan Agama dicabut, maka semua orang akan bebas menistakan agama. Sehingga akan terjadi konflik horizontal di Negara Indonesia. Artinya, sama saja dengan membuka kotak pandora untuk memusnahkan Bangsa Indonesia. Maka Indonesia bisa hancur dari dalam. Pasal penodaan agama adalah untuk menjaga harmonisasi hidup antar manusia di republik ini. Pasal penodaan agama juga sangat penting untuk menjaga masing-masing manusia agar bebas melaksanakan ibadah menurut agamanya. Hal tersebut merupakan amanat Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Tindak pidana penistaan Agama di Indonesia telah di atur baik dalam pasal 156 KUHP maupun peraturan khusus terkait tindak pidana bidang penistaan Agama. Tujuannya agar kasus penistaan agama tidak terjadi di Indonesia karena adanya regulasi khusus terkait penistaan agama diharapkan dapat melindungi kepentingan umat bergama.

Menengok UU Penistaan Agama di Berbagai Negara

Menurut analisa lembaga riset Pew Research Center pada 2014 lalu, sekitar 26 persen atau seperempat negara di dunia memiliki hukum/kebijakan anti-penistaan agama. Sementara itu, satu dari 10 negara di dunia (13 persen) memiliki hukum yang melarang kemurtadan/penyesatan. Indonesia merupakan satu diantara 50 negara di dunia yang masih menerapkan hukum dan kebijakan anti-penistaan agama.

Berdasarkan laporan The Law Library of Congress dari Global Legal Research Center, hukum penistaan agama, tidak hanya diterapkan di negara-negara berpenduduk mayoritas Musim. Tetapi banyak negara lain khusunya hukum di negara Barat juga mempertahankan UU tersebut. Beberapa dari negara Barat bahkan memberlakukannya dalam beberapa tahun terakhir (laporan yang dipublikasikan Januari 2017).

Hukum penistaan agama umum diterapkan di negara Timur Tengah, di mana sekitar 18 dari 20 negara di kawasan menghukum penista agama. Di Iran dan Saudi Arabia, misalnya. Kedua negara itu memberlakukan hukuman mati bagi penista nilai-nilai, tokoh-tokoh agama, hingga pemimpin negaranya.

Meski Al Quran tak secara eksplisit menyebutkan hukuman duniawi terhadap penista agama, sistem hukum Saudi menerapkan sanksi penjara, denda, hukuman cambuk, hingga hukuman mati terhadap pelanggaran ini sesuai dengan keputusan raja dan fatwa yang dikeluarkan Council of Senior Religious Scholars.

Di benua Afrika, sejumlah negara seperti Aljazair, Mesir, Maroko, Tunisa, dan Sudan baru menerapkan hukuman ini dalam beberapa tahun terakhir. Mesir dan Maroko baru menerapkan hukum penistaan agama pada 2016. Kedua negara menerapkan hukuman penjara maksimal 3-5 tahun bagi pelaku penghinaan dan denda material.

Di kawasan Asia Selatan, hukum penistaan agama diterapkan di Afghanistan dan Pakistan. Di Afghanistan, penista agama dianggap sebagai yang murtad dan dipandang sebagai tindakan hudud, tindakan kriminal yang ditetapkan hukuman tetap. Seseorang yang divonis bersalah atas kasus kemurtadan di negara itu bisa diganjar hukuman eksekusi.

Selain Indonesia, negara seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Myanmar memiliki UU terkait penistaan agama. Brunei baru-baru ini mengundangkan pasal pidana terkait pelanggaran terhadap agama mencakup penghujatan, kemurtadan, dan pernyataan yang mengklaim diri sendiri sebagai tuhan. Jika kedapatan bersalah, pelaku penghujatan agama bisa dikenai hukuman mati hingga sanksi bui makzimal 30 tahun. Malaysia menerapkan hukuman yang sama bagi para penghina agama hingga lima tahun penjara.

Sementara negara-negara lain seperti Jepang, Laos, Filipina, Singapura, Selandia baru, dan Thailand juga memiliki instrumen hukum yang mengatur tindakan penghinaan agama.

Di Eropa Barat, banyak negara menerapkan hukum penghinaan agama. Di Denmark, penistaan agama merupakan tindakan kriminal. Pasal 140 Undang Undang Pidana Denmark, "siapa saja yang menertawakan atau menghina dogma/pemujaan terhadap keberadaan komunitas agama yang sah secara hukum akan dikenakan denda dan hukuman penjara maksimal empat bulan". Aturan ini telah diterapkan Copenhagen sejak 1930 dan masih diterapkan secara aktif hingga sekarang.

Jerman pun memiliki undang-undang serupa seperti tercantum dalam pasal 166 KUHP-nya, menetapkan "siapa saja yang secara publik mencemarkan nama baik agama atau ideologi orang lain dan mengancam kedamaian publik akan dihukum maksimal 3 tahun atau denda materi".

Sementara itu, menurut KUHP Kanada, memfitnah dan menghujat Tuhan adalah pelanggaran yang bisa dikenai sanksi hingga dua tahun penjara.

UU Penistaan Agama Di Mata Pegiat HAM

Pengaturan mengenai tindak pidana penodaan agama di Indonesia sudah ada ketika Indonesia dijajah Belanda pada jaman dahulu kala. Saat ini pasal penodaan agama tersebut diatur dalam pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mana sebelumnya adalah pasal 4 Undang Undang 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Eksistensi pasal ini dimaksudkan untuk melindungi kerukunan umat beragama di Indonesia.

Namun, pegiat HAM menilai ternyata dalam beberapa kasur besar tentang penodaan agama yang pernah terjadi di Indonesia, penerapan pasal tersebut ternyata dapat bertentangan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Bagi mereka, keberlakuan pasal tersebut dapat dikatakan sebagai pasal yang tidak jelas atau tidak memenuhi unsur lex certa.
 
Tidak Mudah Menangkap Penista Agama di Luar Negeri

Upaya Polri untuk bisa menangkap dan membawa para tersangka kasus penistaan agama yang sudah bermukim atau lari ke luar negeri adalah hal yang tidak mudah.

Sebut saja, Paul Zhang yang mengaku sebagai Nabi ke-26, yang disebut-sebut berada di Jerman. Kedua, Syaifudin Ibrahim yang meminta Kemenag menghapus 300 ayat Al Quran karena mengandung unsur kekerasan, yang dikabarkan tengah berada di Amerika Serikat.

Keduanya, hingga saat ini masih berkeliaran bebas dan Polri belum bisa menangkap dan membawa keduanya ke Indonesia.

Upaya yang bisa dilakukan Polri, jika mereka sudah menjadi tersangka adalah mengusulkan kepada pihak Interpol, agar mengeluarkan Red Notice, yang memungkinkan aparat kepolisian di negara manapun, untuk menangkap mereka dan mengekstradisikannya ke Indonesia.

Namun, penerbitan Red Notice oleh Interpol, juga masih menjadi kendala tersendiri. Sebagian besar kasus-kasus penistaan agama, bukan dianggap sebagai kasus pidana oleh negara-negara lain, sehingga jarang pihak Interpol mau mengeluarkan Red Notice untuk kasus-kasus jenis ini.

Daftar Penista Agama yang Belum Ditangkap karena di Luar Negeri

1. Pendeta Saifuddin Ibrahim alias Abraham Ben Moses

Saifuddin Ibrahim atau yang dikenal dengan Abraham Ben Moses atau Abraham Moses yang pernah terjerat kasus penodaan agama, kembali berulah. Pria yang kini menjadi pendeta itu kembali membuat kegaduhan, kali ini dengan meminta Menteri Agama Gus Yaqut menghapus 300 ayat Al Quran yang dinilainya memicu hidup intoleran.

Atas pernyataannya tersebut, seseorang bernama Rieke Vera Routinsulu melaporkan Saifuddin ke Bareskrim Polri dengan laporan polisi Nomor: LP/B/0133/III/2022/SPKT Bareskrim Polri tanggal 18 Maret 2022. Pendeta Saifuddin Ibrahim ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan agama dan ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Penetapannya sebagai tersangka dikeluarkan Dirtipidsiber Bareskrim Polri pada Selasa (30/3).

Tak hanya dihukum dengan pasal berlapis, ia juga diminta untuk membayar denda hingga Rp 1 miliar. Namun ia belum bisa ditangkap karena saat ini berada di luar negeri, diduga sedang berada di Amerika Serikat.

2. Jozeph Paul Zhang

Pada 2021, seorang pria Jozeph Paul Zhang (nama asli Shindy Paul Soerjomoeljono) viral di media sosial setelah mengaku sebagai Nabi ke-26. Hal tersebut ia sampaikan dalam akun YouTubenya yang ia beri judul 'Puasa Lalim Islam'. Dalam video tersebut, ia banyak membicarakan serta menyinggung kebiasaan yang dilakukan oleh umat Islam, seperti puasa, kondisi Muslim di Eropa, hingga menantang sejumlah pihak yang bisa melaporkannya ke polisi atas dugaan penistaan agama akan mendapat uang Rp 1 juta.

Pernyataan Jozeph tersebut yang kemudian viral di media sosial. Hingga seorang warga bernama Husin Alwi melaporkannya ke Bareskrim Polri. Laporan tersebut teregister dengan nomor LP/B/0253/IV/2021/BARESKRIM tertanggal 17 April 2021. Pelaporan Jozeph atas dugaan penistaan agama.

Ia kemudian resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan agama dan dijerat Pasal 28 ayat 2 Undang Undang ITE tentang ujaran kebencian, dan Pasal 156 Huruf A tentang penodaan agama.

Menurut informasi, Jozeph telah meninggalkan Indonesia pada 11 Januari 2018. Hal itu diketahui dari data Kantor Imigrasi Kelas I Soekarno Hatta. Polri telah menerbitkan status Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap Jozeph yang diduga berada di Jerman.

Simpulan

1.Penistaan agama merupakan pelanggaran norma-norma kemanusiaan universal, perbuatan tercela yang dapat merusak kerukunan antarumat beragama. Oleh karena itu, hendaknya setiap orang untuk menghindari perbuatan tersebut. Islam telah melarang perilaku tersebut (QS. Al An’am ayat 108).
 
2.Penyebab terjadinya tindakan penistaan agama karena beberapa faktor. Faktor internal, yang memperngaruhi: kebencian, iri, sombong, munafiq, ketidaktahuan/kebodohan, taqlid, lemahnya iman dan akal. Sedangkan faktor eksternal, yang mendorong: ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, penyimpangan ajaran yang terjadi di masyarakat, ketidakadilan media massa, dan lemahnya penegakan hukum.

3.Dampak yang terjadi bagi penista agama pada dirinya: murtad, terhapus semua amal kebaikannya, mendapatkan murka dari Allah. Sedangkan dampak pada lingkungan: merusak nilai-nilai agama, menimbulkan konflik antarumat beragama, merusak kehormatan agama, mengancam persatuan dan kedaulatan bangsa.

4.Dalam ketentuan sanksi bagi penista agama, para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang menghina Allah dan Rasulullah maka ia dikenakan hukuman mati, baik ia seorang Muslim ataupun kafir harbi. Sedangkan dalam kafir dzimmi ada perbedaan hukum. Mayoritas ulama sepakat untuk dijatuhi hukuman mati, sedangkan kalangan Hanafiyyah dikenakan ta’zir.

5.Dalam hukum positif, tindak pidana penistaan agama di Indonesia telah diatur baik dalam Pasal 156 KUHP maupun dalam peraturan khusus terkait tindak pidana penistaan agama di Indonesia adalah untuk melindungi kepentingan umat beragama dan kedaulatan bangsa. Wallahu a'lam. rmol news logo article

Penulis adalah Wakil Ketua LPSK RI Periode 2019-2024

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA