Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Wajah Baru Politik Transaksional

OLEH: A. FAHRUR ROZI*

Kamis, 02 Februari 2023, 03:33 WIB
Wajah Baru Politik Transaksional
Aksi kepala desa di depan gedung DPR RI menuntut masa jabatannya diperpanjang/Net
POLITIK transaksional menjadi bagian dari tipologi perpolitikan di Indonesia. Ia sama mengerikannya dengan politik yang hangat diperbincangkan saat ini, politik identitas. Uniknya, politik transaksional memiliki wajah baru menjelang momentum elektoral saat ini. Unik, tapi lebih mengerikan bukan?

Kita memahami politik transaksional sebagai politik balas budi, berbagi keuntungan dari suatu kemenangan politik. Ia terjadi di antara dua pihak. Bisa pemerintah dengan rakyat, parlemen dengan elit parpol, atau penguasa dengan pengusaha. Indikasinya bisa berupa money politics, oligarki, politik pragmatisme, karpet merah penanaman modal, atau juga populisme.

Wajah baru politik transaksional yang dimaksud di sini adalah kehadirannya dalam suatu fenomena barter jabatan, lebih tepatnya melanggengkan kekuasaan. Hal yang membuatnya lebih baru adalah politik ini dilakukan dengan jelas dan terbuka di ruang publik. Hal ini menunjukkan bahwa politik transaksional dalam wajah baru benar adanya. Apakah benar demikian?

Tuntutan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa (Kades) tempo lalu adalah fakta kuat adanya transaksi politik kekinian. Itu terjadi pada sejumlah Kades yang tergabung dalam Perkumpulan Aperatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Pabdesi) menuntut DPR merevisi UU 6/2014 tentang Desa agar masa jabatan yang mulanya 6 tahun menjadi 9 tahun. Dengan jelas, para Kades mengecam nasib suara partai politik yang duduk di Parlemen pada Pemilu 2024 jika mereka menolak tuntutan tersebut (Tempo, 24/1).

Jika kecaman tersebut diamini oleh para elitis partai di Parlemen, maka wajah baru politik transaksional benar-benar terjadi dalam realitas perpolitikan. Kita simulasikan, Pabsidi menggunakan suara kedaulatan sebagai kecaman untuk menghasilkan surplus kepentingan jabatan, sedangkan DPR menggunakan kuasa Parlemen untuk merevisi undang-undang demi pengamanan elektoral mendatang. Hal apa yang paling pas untuk penyebutan selain relasi kuasa untuk kelanggengan jabatan?

Stabilitas Pembangunan Desa

Tuntutan politik sejumlah Kades di depan DPR kemarin (17/01) berangkat dari persepsi sosial soal tatanan politik di pedesaan. Masyarakat desa memiliki struktur solidaritas sosial yang kuat. Spirit gotong royong, kerja sama, dan kebersamaan sangat kental terasa. Inilah bentuk kesolidan mekanik untuk kerja sosial yang disebut oleh Durkheim dalam "The Division of Labour in Society (Santoso, 2014).

Akan tetapi, solidaritas tersebut jika bersinggungan dengan konflik kepentingan dengan mudah akan menciptakan damarkasi sosial. Kontestasi politik juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat.  Perkara “coblos-menyoblos” adalah hal yang rentan melahirkan ceruk perpecahan.

Akibatnya, kecanggungan berpolitik karena bersinggungan dengan konstruksi solidaritas pedesaan bertransformasi pada kecanggungan hidup bersosial. Butuh waktu untuk lama menghilangkan kecanggungan-kecanggungan yang ada.

Sejumlah pertanyaan menarik untuk diajukan, siapa yang dapat menjamin kecanggungan sosial dapat diatasi dengan menambah masa jabatan? Apakah ada hubungan ekuivalen dari keduanya? Sehingga timbul narasi konklutif, jika masa jabatan Presiden diperpanjang (anteseden), maka kecanggungan sosial dapat dihilangkan dan stabilitas politik terbangun (konsekuen)?

Ini adalah soal persepsi sosial yang menjadi anasir politik dari sejumlah Kades. Perbaikan terhadap keretakan sosial tidak hanya menyangkut waktu, melainkan bangunan komunikasi politik seorang pemimpin (Kades) dengan warga desanya. Artinya, pendekatan patronasi ketokohan (social leader) dengan mengedepankan nilai dan moralitas pedesaan menjadi hal fundamental untuk meredam konflik sosial akibat perbedaan pilihan dalam politik. Kepemimpinan seorang Kades akan diuji di sini.

Alasan Konstitusional

Amanat konstitusi jelas menghendaki adanya pembatasan kekuasaan. Cara bernegara kita membiarkan adanya sirkulasi kekuasaan untuk memberikan akses kuasa yang sama terhadap warga negaranya (equaly not one man). Konstitusi menghendaki demikian agar publik dapat melakukan koreksi dan evaluasi dalam ritual tahunan demokrasi, yaitu Pemilu. Artinya, dalam suksesi kepemimpinan, kontrak sosial dalam konstruksi bernegara terus terjalin dalam perbincangan antara penguasa dan warga negara (Ferdian Andi, 2021).

Membatasi kekuasaan juga menghindari absolutisme dan keserakahan. Bangsa memiliki preseden traumatik dengan kekuasaan absolut. Presiden Soekarno pernah mendeklarasikan diri sebagai Presiden seumur hidup, atau Soeharto juga menggunakan organ negara sebagai alat melanggengkan kuasa. Konstitusi kita menyadari, kekuasaan yang tidak dibatasi akan jatuh pada kesewenang-wenangan. Lord Acton (1833-1902) berhasil memberikan catatan soal ini, “Power tends to corrupt, but absolut power corrupt absolutely”.

Dengan demikian, simulasi dari wajah baru politik transaksional sebenarnya mengandung titah koreksi (imperative of correction) terhadap substansi dan etika perbincangan publik. Kita berharap publik skeptis tidak terkecoh dengan alasan normatif perpanjangan masa jabatan Kades, dan DPR tidak tergiur dan jatuh dengan transaksi jabatan yang ditawarkan. Segala aspirasi harus dikaji secara objektif dengan landasan kepentingan bersama, demokratis dan konstitusional. rmol news logo article

*Penulis adalah mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA