Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Membangun Wibawa Hukum

OLEH: BAKHRUL AMAL*

Selasa, 31 Januari 2023, 18:57 WIB
Membangun Wibawa Hukum
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said, Bakhrul Amal/RMOL
RASA-rasanya insan hukum di Indonesia perlu menabur bunga duka. Betapa tidak, secara tersirat maupun tersurat, kondisi struktur hukum di Indonesia saat ini seperti sedang terjun bebas. Satu per satu, baik Kejaksan, Kepolisian, ataupun juga Mahkamah Agung - dengan permasalahan yang dihadapinya- sedang kehilangan kepercayaan di hati masyarakat. Kondisi ini tentunya dapat berpengaruh pula terhadap ketertiban hukum di masyarakat.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Asumsi itu amat berdasar karena cita-cita ketertiban hukum, menurut Friedman, tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya apabila tiga sistem hukum tak berada dalam kondisi yang baik. Tiga sistem itu meliputi substansi, struktur, dan kultur hukum.


Kondisi Hukum dalam Tinjauan Teori Generasi

Untuk mengetahui ada pada fase apa kondisi hukum kita saat ini maka kita bisa menggunakan teori generasi untuk menganalisisnya. Dalam teori generasi, seperti dijelaskan oleh Strauss-Howe dalam bukunya Generations and The Fourth Turning, siklus sejarah itu berulang dalam empat putaran.

Yang pertama "high" yaitu periode munculnya rasa percaya diri tinggi di saat tatanan baru berhasil tumbuh menggantikan tatanan yang lama. Fase ini jika dikaitkan dengan perkembangan hukum di Indonesia adalah ketika unifikasi hukum diberlakukan di awal kemerdekaan.

Sentimen terhadap kompeni membuat semua aturan bekas kompeni dianggap tak berlaku lagi. Terlebih aturan yang menyengsarakan Warga Negara Indonesia.

Fase berikutnya adalah fase "awekening". Dimana munculnya masa proses eksplorasi spiritual yang berakibat pada pemberontakan melawan kemapanan tatanan di era "high". Pada perkembangan hukum di Indonesia fase ini bisa kita temukan di era pasca reformasi. Dimana saat itu hak asasi manusia mulai dimasukan di dalam UUD dan Indonesia mendeklarasikan dirinya sebagai negara hukum.

Pada momen-momen selanjutnya muncul banyak terobosan hukum yang mengedepankan proses mengembalikan penyelesaian perkara kepada para pihak (mediasi, diversi, restorative justice dan sebagainya).

Kemudian datanglah fase "unraveling" . Pada masa ini keadaan semakin bermasalah. Masalah itu ditandai dengan keberhasilan narasi individualisme meruntuhkan institusi dalam tatanan "high" maupun "awakening". Inilah fase hukum yang hampir terjadi pada saat ini.

Fase dimana institusi hukum, yang berfungsi sebab karakteristik formal dan prosedural hukum, diminta dikembalikan secara utuh pada individu atau masyarakat. Masyarakat menilai bahwa, dengan diawali rasa ketidakpercayaannya lagi terhadap institusi penegak hukum, mereka dapat menentukan keadilannya sendiri.

Jika fase "unraveling" gagal di atasi, atau dijawab dengan penyelesaian yang baik, maka dapat dipastikan keadaan hukum di Indonesia lambat laun akan jatuh pada fase terakhir, atau fase "crisis". Fase "crisis" menurut Strauss-Howe seringkali melibatkan perang atau revolusi yang disertai dengan hilangnya kepercayaan yang mendalam pada institusi. Fase terakhir ini nantinya akan membentuk tatanan baru kembali. Dan roda sejarah berulang ke fase awal, atau ke fase "high".  

Membangun Hukum Berwibawa

Ronald Dworkin, dalam magnum opusnya Law's Empire, memberikan tawaran yang laik untuk dipertimbangkan sebagai upaya kita menghindari fase "unraveling" hukum. Solusi yang ditawarkan itu adalah membangun hukum sebagai integritas, hukum yang memancarkan cahaya kewibawaan.

Cara membangun hukum yang berwibawa, menurut Dworkin, dilakukan dengan interpretasi konstruktif yang melibatkan komitmen dua lembaga. Dua lembaga itu adalah lembaga legislatif dan yudikatif.

Lembaga legislatif dalam pembentukan undang-undang harus memperhatikan nilai moral yang hidup di masyarakat. Aturan hukum yang dibuat mesti koheren dengan moral. Setiap kata, kalimat, dalam RUU harus mampu membuat masyarakat merasakan dua cita rasa, yakni cita rasa hukum itu sendiri dan cita rasa moral.

Sementara itu yudikatif, atau disimbolkan dengan hakim, harus mampu memperluas interpretasinya terhadap hukum. Hukum tidak bisa dinterpretasikan terbatas hanya pada sekedar teks, baik sebelum dan sesudah hukum itu dibentuk, an sich. Akan tetapi hukum yang hidup dimasyarakat juga harus dianggap sebagai bagian ekspresi dan rasa hormat masyarakat yang perlu dipertimbangkan juga.

Hakim juga harus mampu keluar dari pengambilan pertimbangan berdasarkan rasio kognitif. Atau komunikasi yang terlalu textbook, akademis, dan sulit dipahami awam. Mereka, sebab yang dihadapi olehnya adalah masyarakat dengan adat dan budaya yang bermacam-macam, harus mampu memulai pola pertimbangannya dengan rasio komunikatif.

Rasio yang oleh Habermas digambarkan dengan sikap berupaya satu sama lainnya saling memahami seperti memahaminya seorang penerjemah dan yang diterjemahkan.

Penutup

Saat ini seluruh sumber informasi dapat diperoleh tak terbatas pada ruang dan waktu, termasuk informasi tentang apa itu keadilan dan kepantasan. Artinya informasi akan keadilan dan kepantasan itu tidak bisa lagi ditutupi atas nama hukum. Tidak bisa lagi melakukan "lying by way of the truth" atau berbohong melalui kebenaran. Seperti mengatakan "menurut hukumnya begitu kok", "saya melakukannya atas dasar hukum", "hukum adalah keadilan".

Sebab penilaian bahwa hukum itu baik dan benar tidak dilihat dari apakah pembentukannya sesuai prosedur yang berlaku atau tidak. Bukan pula karena hukum itu menjadi dasar keputusan yang dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan. Tetapi hukum itu baik karena hukum itu memang mengandung nilai keadilan dan kepantasan, justice and fairness.rmol news logo article

*Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA