Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Quo Vadis Unila?

OLEH: NIZWAR AFFANDI*

Kamis, 22 Desember 2022, 21:08 WIB
Quo Vadis Unila?
Nizwar Affandi/RMOL
HASIL pemilihan rektor Unila tahap pertama sudah selesai dan foto-foto hasil votingnya juga beredar luas.

Bagi saya hasil itu menunjukkan tiga hal, yaitu:

Pertama, para guru besar yang menjadi pejabat struktural memimpin Unila bersama Rektor terdahulu tampaknya sama sekali tidak merasa memiliki “beban moral” yang cukup dapat membuat mereka merasa malu untuk mencalonkan diri memimpin Unila.

Kedua, 37 dari 47 anggota senat Unila (78,72 persen) masih tetap memilih nama-nama yang selama empat bulan terakhir sering disebut dalam pusaran kasus PMB Unila, baik dalam persidangan, BAP tersangka dan saksi, maupun dalam pemberitaan media.

Ketiga, hanya ada 10 anggota senat (21,18 persen) yang berani memilih nama-nama di luar pusaran kasus yang menjadi skandal terburuk sepanjang umur Unila berdiri.

Tiga fakta dari peristiwa pemilihan itu memberikan pesan yang sangat kuat kepada saya, publik dan Mendikbud bahwa Senat Unila seperti ingin menunjukkan “kebebalan” sikapnya sekaligus membuat pernyataan paling telanjang bahwa mereka “anti perubahan” alias “pro status-quo”.

Sikap bebal itu patut diduga disebabkan oleh salah satu, salah dua atau salah tiga dari tiga hal, yaitu:

Pertama, sebagian besar anggota Senat Unila bisa jadi selama ini memang bagian dari praktek PMB berbayar bawah tangan sehingga mereka merasa sama-sama terancam dengan pengungkapan kasus yang dilakukan oleh KPK, ada perasaan senasib sepenanggungan dan kebersamaan dalam pusaran kasus yang menjadi skandal nasional itu.

Kedua, sebagian besar anggota Senat Unila mungkin memang menganggap praktek PMB berbayar bawah tangan di era sebelumnya itu sebagai sebuah “kelaziman yang wajar dan dapat dimaklumi” sehingga mereka merasa tidak perlu repot-repot memilih calon yang relatif bersih dan tidak tercemar dengan kasus yang telah menyebabkan banyak negara dan lembaga donor menunda bahkan membatalkan bantuan dan kerjasama mereka dengan Unila itu.

Ketiga, sebagian besar anggota Senat Unila patut diduga memang memiliki bakat menjadi politisi pragmatis yang begitu teguh memegang prinsip “siapa dapat apa, seberapa, kapan, dan bagaimana?” sehingga di hari-hari mendekati pemilihan tersiar kabar tentang “karantina” yang dilakukan oleh salah seorang dan atau dua orang kandidat terhadap anggota senat.

Apapun itu, pada momentum seperti inilah Mas Menteri Nadiem harus menunjukkan bahwa kewenangan suara 35 persen yang diberikan undang-undang memang dimaksudkan untuk menguatkan peran strategis Mendikbud dalam menjaga proses rekrutmen Rektor agar menghasilkan pilihan yang terbaik.

Saya sarankan Mas Menteri Nadiem untuk tidak sungkan meniru contoh yang sudah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dalam menentukan nama-nama calon Penjabat Kepala Daerah yang akan diajukan ke Tim Penilai Akhir (TPA) yang dipimpin oleh Presiden, secara resmi dimintakan rekam jejaknya ke KPK dan BIN agar potensi penyimpangan berupa perilaku koruptif maupun keyakinan ideologis dapat diidentifikasi lebih dini.

Sementara menunggu keputusan itu, semoga para alumni Unila, pemimpin-pemimpin mahasiswa, teman-teman media dan seluruh masyarakat Lampung setidaknya tetap terus bersedia berdoa agar Unila bisa segera bangkit dengan kepemimpinan yang baru, yang lebih menjiwai Tri Dharma Perguruan Tinggi sampai ke dalam sumsum tulangnya yang paling dalam.

Wallahualam bishowab. rmol news logo article

*Penulis adalah Alumni FISIP Universitas Lampung

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA