Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Giandra dan Museum Multatuli

OLEH: YOSEF SAMPURNA NGGARANG*

Kamis, 22 Desember 2022, 08:30 WIB
Giandra dan Museum Multatuli
Museum Multatuli/Dok Pribadi
ALUN-ALUN Rangkasbitung di bagian timur Sabtu (17/12) siang itu ramai, ada festival Kopi Lebak yang sedang berlangsung dengan kemeriahan panggung musik. Pohon-pohon yang rimbun di sekitar alun-alun menjadi tempat teduh bagi pejalan kaki yang mengunjungi stand-stand pameran kopi. 

Stand kopi sekadar kami lihat, sebab kami sudah belanja oleh-oleh di destinasi pertama yang kami datangi di Gua Maria Rangkas yang berjarak kurang lebih 3 kilometer dari alun-alun.

Destinasi kedua yang kami tuju adalah Museum Multatuli. Museum yang secara resmi dibuka untuk publik Febuari 2018 ini, menempati bangunan bekas Wedana Rangkasbitung yang telah digunakan sejak tahun 1923, dengan demikian bangunan ini salah satu bangunan bersejarah dan bagian dari peradaban Rangkasbitung, Lebak.

Di pintu masuk terdapat properti yang sangat antik semacam gapura yang terbuat dari Bambu  bertuliskan ”Selamat Datang di Museum Multatuli.” Gapura ini dalam dugaan kami adalah jejak pameran angklung yang baru selesesai beberapa hari yang lalu.

Kami melangkah ke dalam, menuju pintu masuk ruang museum. Sayang kami kurang beruntung, pintu tertutup, kami membaca tulisan “istrahat” pada papan putih kecil yang menggantung. Sejenak kami pun melihat jam, memang jam istrahat, lalu ke samping gedung tertuju pada foto wajah laki-laki berkumis yang di papan besar dengan kutipan kata-kata penuh makna.

“Sikap setengah hati tidak menghasilkan apa-apa. Setengah baik berarti tidak baik. Setengah benar berarti tidak benar.” Eduar Dowes Dekker. “Ini ungkapan atas dasar perasaan yang dia alami sendiri, lalu ia jadikan manifestasi dalam pergerakan perjuangan melawan kolonialisme?” tanya Felicia.

Ia benar, itu sebuah manifestasi. Sebuah ungkapan penegasan dan itu membuat Eduar Dowes Dekker tetap “hidup” hingga kapan pun. Kataku sambil mata tertuju ke patung besar Eduar Douwes Deker yang sedang duduk membaca buku.

Sepasang kekasih senyum –berswa foto depan patung. Aku ikut tersenyum melihat ekspresi cinta kedua sejoli ini.

Di belakang mereka, ada dua bocah berdiri, satu bocah tangannya bersandar di meja depan gambar foto tatakan buku, satunya asyik bermain dekat meja. Ia menoleh lalu melangkah menghampiri Ibunya. Giandra dan Hanin nama kedua bocah itu. Langkah Giandra menghampiri sang ibu, ternyata ia mau mengajukan pertanyaan atas apa yang barusan dia lihat.

"Ibu, Multatuli atau Eduar Douwes Dekker itu suka baca?" Iya, kata sang Ibu. "Dia suka menulis?" Ia. "Ibu, apakah aku nanti bisa menulis seperti Dia?" "Giandra bisa menulis, syaratnya harus rajin membaca," jawab ibu.

Mata dan telinga kami tertuju kepada bocah Gindra yang baru “menghujani” pertanyaan kepada ibunya. Kami surprais dan kagum atas pertanyaan bocah kelas satu Sekolah Dasar (SD) ini.

Giandra mengajukan pertanyaan terlihat begitu serius, tangannya sandar ke paha sang ibu. "Ibu, apa itu Multatuli, bagaimana ceritanya? Dia orang mana?". Ibu membuka handphone, search kata "Multa Tuli."

"Ok, dengarkan Gindra dan Hanin, ibu baca dari Wikipedia: Eduard Douwes Dekker, atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli, adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar, novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda. Ia kelahiran: 2 Maret 1820, Amsterdam, Belanda. Meninggal: 19 Februari 1887, Ingelheim am Rhein, Jerman."

"Oh, dia kelahiran Belanda?" Respons Gindra atas penjelasan Ibu.

Giandra dan Hanin kembali berdiri melihat lagi foto tatakan buku di dinding, ia lebih serius melihat buku-buku itu.

Ketika kami serius menyimak pertanyaan dan melihat gerak-gerik dua bocah itu, Ibunya menyapa kami dengan pertanyaan. “Mas, datang darimana?” Kami datang dari Jakarta, jawabku. “Oh, jalan-jalan ya!”

Kami pun menanyakan ke Ibu Giandra darimana mereka berasal?

“Kami datang dari Kota Serang, bawa kedua anak untuk jalan-jalan untuk perkenalkan wisata sejarah dan memperkenalkan ke mereka soal kolonialisme. Nah, ayah mereka tidak bisa ikut sedang kerja sebagai buruh pabrik.”

Lanjutnya, ”sengaja saya bawa ke museum ini supaya mereka tahu sejarah bangsa Indonesia, kalau ilmu yang lain, mereka bisa dapat dari teman-temannya nanti.”

Semakin kagum atas penjelasan si ibu; wawasan kami bertambah. Sang ibu rupanya sedang merencanakan masa depan untuk kedua anaknya dengan memberikan bekal membaca buku tata masa lalu (sejarah) – jelajah museum Multatuli.

Sebagaimana harapan,misi dari sejarawan, Kurator Boni Triyana di awal berdirinya museum Multatuli, "Museum Multatuli jangan sekadar proyek. Harus betul-betul menjadi pusat pembelajaran dan peradaban warga Lebak dan Indonesia,” (Republika.co 2016).

Harapan dan misi Boni pelan-pelan terjawab, diwakili  sang ibu dan Giandra yang mengajak anaknya untuk mempelajari pengetahuan sejarah sejak kecil. Kelak Giandra dan adeknya Hanin menjadi obor penerang untuk generasinya.

Patung Multatuli, foto tatakan buku di luar bangunan museum di bawah pohon rindang itu, tidak lagi sekadar patung atau benda. Ia kini hidup oleh karena  Giandra bisa  melahirkan pertanyaan dan motivasi  untuk bisa menulis.

Kelak ia bisa melahirkan sejuta imajinasi tentang Rangkas, Banten dan Indonesia. kehadiran mereka dengan pertanyaan tadi dianggap sudah mengambil bagian untuk merawat dan membangun peradaban bangsa.

Meskipun kedatangan kami, Ibu dan kedua anaknya belum tercatat sebagai pengunjung museum, karena jam istrahat. Tapi, ”hujan” pertanyaan bocah Giandara dan penjelasan si ibu di atas  nilainya lebih dari sekadar dicatat sebagai pengunjung.

Pertanyaan Giandra adalah pertanyaan mewakili generasinya, juga sebuah catatan untuk museum Multatuli, bahwa museum ini adalah tempat merayakan rindu, tempat menjenguk masa lalu, tempat “membakar” hati nurani dan pikiran, tempat merajut imajinasi dan tempat tumbuhnya generasi yang merawat peradaban bangsa. Dengan demikan Rangkas, Lebak adalah museum hidup. rmol news logo article

*Sekretaris Jenderal Pergerakan Kedaulatan Rakyat
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA