Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Piala Dunia, Sihir Media, dan Kroni Capres

OLEH: SOEYANTO SOE*

Selasa, 13 Desember 2022, 08:15 WIB
Piala Dunia, Sihir Media, dan Kroni Capres
Ilustrasi/Net
TATKALA Brasil dikalahkan Kroasia dan Portugal kalah oleh Maroko, kebanyakan penonton sepak bola Piala Dunia 2022 gempar. Tak terkecuali di Indonesia. Seheboh mereka melihat kemenangan Arab Saudi atas Argentina ataupun penaklukkan Jepang terhadap tim Jerman.

Sibuk analisis sana-sini. Bahkan penonton Indonesia sampai membawa-bawa urusan takhayul, ritual, doa, ramalan, hingga kutukan. Pelaku-pelaku taruhan bubar dan menuding ini adalah ulah para bandar.

Kemungkinan "kejutan-kejutan" akan terus bermunculan di piala dunia. Pun sebenarnya kejadian-kejadian seperti itu selalu ada tetapi kita terus saja gagal berpikir rasional.

Gagal melihat fakta. Gagal melihat statistik. Sehingga kita heboh dengan menyebutnya sebagai "kejutan". Heboh karena menganggap para pemenangnya tidak layak memperoleh hasil seperti itu. Kita sebut "kejutan", kita sebut kebetulan.

Mengapa kita menganggap fenomena ini sebagai peristiwa luar biasa? Penyebabnya tanpa sadar kita sudah terhipnotis oleh realitas media. Kita menyakini bahwa Jerman, Brasil, Portugal, Argentina, Inggris, Spanyol, ataupun Prancis adalah tim-tim tangguh.

Kita terjebak dengan statistik sejarah kemenangan mereka di masa-masa lalu yang rajin disemai oleh media. Dus pula media membesar-besarkan si A, si B, atau si C sebagai pemain-pemain super bintang hanya karena pemain-pemain itu berasal dari negara-negara tersebut.

Kita lupa bahwa sepak bola adalah permainan tim. Kadang dia membutuhkan sebuah "generasi". Kelahiran sekelompok orang yang memiliki keterampilan tinggi. Sepak bola juga memerlukan kekuatan fisik, intelegensi, dan kekompakan dalam menerapkan strategi dan taktik.

Jadi sepak bola bukanlah melulu mengandalkan kemampuan individual. Kita lupa bagaimana Messi, Ronaldo, ataupun Neymar sering gagal membantu timnya untuk juara.

Media, terutama kini media sosial, telah habis-habisan menyihir pikiran kita. Persepsi kita pelan-pelan tidak lagi berpijak pada fakta obyektif tetapi pada realitas media. Sebuah realitas semu yang dibangun oleh media.

Sebuah realitas yang disuguhkan media karena dianggap itulah "realitas" yang ingin dicecap oleh khalayak. Dikejar-kejar dan disedot habis oleh penerima. Publik dan masyarakat umum terhisap oleh pusaran ini. The magic of reality sudah dikangkangi habis-habisan oleh realitas media.

Kita tidak lagi melihat bahwa kengototan juga merupakan faktor penting dalam meraih kemenangan sepak bola. Motivasi untuk menang, itulah yang seharusnya kita lihat saat "kejutan" terjadi.


Banyak tim besar, dengan nama besar dan penuh pemain bintang, terlihat loyo tanpa tenaga. Mungkin mereka menganggap tidak bakal kalah atau tidak lagi termotivasi tinggi karena sudah sering menang. Bisa saja.

Itulah kenapa dalam lini manajemen mereka terisi bukan hanya para pelatih fisik dan skill tetapi juga para psikolog yang memonitor grafik emosi dan mental.

Semua mesin manajemen ini, berbagai hal-hal scientific yang diterapkan oleh sebuah tim sepak bola modern, jarang diekspos oleh media. Tidak akan menarik bagi khalayak. Media paham sekali bahwa hanya sedikit khalayak yang memiliki daya tahan untuk mengonsumsi hal-hal berat.

Publik menyukai hal-hal instan dan gemerlap. Glorifikasi, selebriti, dan selebrasi adalah hal-hal ingin mereka nikmati. Mereka mengasosiakannya sebagai kebahagiaan mereka juga.

Meski semu, kebahagiaan ini sudah cukup untuk menjadi pelarian atas kesumpekan hidup yang mereka jalani (uses and gratifications, escapism).

Dilalah pola konsumsi ini melempengkan dalam mengonstruksi realitas media. Kita kurang awas atas fakta. Tatkala mayoritas media mengatakan bahwa si A hebat, tim B tangguh, dan komunitas C berpengaruh, semua mengamininya sebagai sebuah kebenaran absolut.

Kita malas berpikir. Kita malas menganalisis. Kita telah menjumudkan realitas media sebagai fakta. Sehingga peristiwa-peristiwa di dunia nyata, yang begitu kasat mata, sering kita terjemahkan sebagai "kejutan" jika tidak sesuai dengan realitas media. Fenomena ini juga acap terjadi di dunia politik.

Bagaimana kita "terkejut" pada kepemimpinan Jokowi. Dulu saat kampanye-kampanye awal, kita begitu romantis memandang sosok Jokowi yang begitu populis. Jokowi adalah kita. Demikian yang kita yakini.

Namun faktanya, ketika baru hitungan beberapa bulan menjabat sebagai presiden, janji-janji kampanye hanyalah sekadar lipstick politik. Tidak semua janji dapat ditepati bahkan ada banyak juga yang dilanggar.

Amboi. Barulah kita sadar bahwa populisme telah dieksploitasi menjadi gincu yang tak malu-malu untuk tampil menor. Membuat kita hore-hore bahagia pada kepingan-kepingan yang dikonstruksikan media. Kita lalai pada fakta-fakta yang harusnya kita konfirmasi.

Kini Pilpres 2024 sudah menjelang. Mesin-mesin politik sudah mulai dipanaskan. Diawali dengan lobi-lobi ketua umum partai politik. Pengerucutan-pengerucutan parpol-parpol untuk membentuk koalisi telah diikhtiarkan.

Apa pun yang dilakukan, kelak mereka akan memunculkan figur calon presiden (capres). Sudah dapat ditebak juga mereka nanti akan memperkosa persepsi publik untuk membentuk image positif capres melalui manajemen kampanye yang canggih. Yang paling diandalkan adalah gempuran-gempuran pemberitaan media.

Satu-dua capres akan menjadi media darling. Muncul terus-menerus selaksa pahlawan sulap. Dekat dengan rakyat. Bahagia bersama rakyat.

Kita akan kembali terpesona pada figur A, B, atau C. Membuncah emosi. Rakyat yang telah mabuk menjadi pendukung siap berhadaphadapan. Bagaimana tidak, semua merasa capresnyalah yang paling suci nan mulia.

Realitas media begitu membuat silap. Mimpi pada aroma madu karena kita begitu merindukan kesejahteraan. Kita tidak pernah mau melihat proses.

Kita tidak pernah mau mengonsumsi isi media yang menceritakan arti perjuangan. Kita ingin cepat-cepat kaya. Kita menjadi princess yang merindukan a knight shinning armour. Merindukan Imam Mahdi. So sweet.

Mental instan yang telah menggelepar terburai di kepala kita, memudahkan media menebar sihirnya. Kita menjadi plongo. Semua capres didandani bak pahlawan.

Semua capres melingking menyatakan bahwa dialah yang paling nasionalis. Semua capres ingin diaku heroik oleh rakyat. Realitas media tidak menunjukkan bahwa capres-capres ini sesungguhnya bukanlah figur an sich.

Namun dia merupakan wujud sebuah tim, sebuah kelompok yang ingin merebut piala kekuasaan. Sebuah tim yang ingin memenangkan pertandingan, menghajar lawan.

Pada diri capres di dalamnya ada para politisi dan donatur. Rata-rata sudah gaek. Politisi-politisi senior yang tidak mau turun panggung tetapi sudah kalah pamor. Tidak bakal jadi Presiden tetapi tetap birahi untuk mengatur kekuasaan.

Pengusaha-pengusaha tua-bangka yang sudah meraksasa dan menggurita tetapi malas melayani rakyat miskin. Para pebisnis yang lebih bergembira menyuap penguasa. Mereka bergerombol, berkroni, dengan didukung oleh para jurnalis murahan, akademisi-akademisi cetek (teknokrat), dan birokrat-birokrat penjilat.

Begitulah tim capres ini adanya. Seorang capres tidak akan dapat lepas seratus persen dari permainan semacam ini. Tugas rakyat semestinya memeriksa mereka dengan sungguh-sungguh.

Siapa-siapa mereka sebenarnya di balik tim pencapresan itu; bukan melulu fokus pada figur capres semata. Mengujinya dari berbagai perspektif.

Mengulik dan menguliti setiap kemasan yang mereka jual. Cari yang terbaik dari yang buruk-buruk ini. Telanjangi bahwa kita tahu mereka adalah elite yang sebenarnya tidak mau ikut-ikutan miskin bersama rakyat. Tidak membumi.

Kita harus lepas dari sihir realitas media. Sehingga kelak kita tidak lagi terlalu terkejut-kejut. Jangan sampai pilpres malah menjadi ajang penetapan tragedi masa depan bangsa.

Dari Piala Dunia 2022 kita semestinya bisa belajar. Dimulai dengan melihat fakta bahwa kemenangan Kroasia, Maroko, Jepang, dan Arab Saudi adalah sesuatu yang wajar.

Kemenangan hasil ramuan dari soliditas, determinasi, dan profesionalitas. Meski akhirnya kadang, ketahanan fisik dapat mengubah hasil pertandingan, kita tetap tidak boleh menyerah sampai pluit akhir. Selamat menyongsong Pilpres 2024! rmol news logo article

*Consultant Director Citra Indonesia
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA