Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jokowi Peringatan Terakhir bagi Republik

OLEH: FURQAN JURDI*

Senin, 12 Desember 2022, 08:21 WIB
Jokowi Peringatan Terakhir bagi Republik
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo/Net
APAKAH Republik Indonesia dalam bahaya? Pertanyaan ini secara sekilas akan dinilai sebagai lelucon kaum pesimistik yang tidak percaya pada kekuatan republik yang besar ini. Selama bertahun-tahun kita selalu percaya republik modern memiliki daya tahan untuk menghadapi berbagai ancaman keruntuhan, tetapi tidak ada jaminan, republik itu kebal dengan bahaya.
 
Bentuk pemerintahan, apa pun namanya, demokrasi parlementer atau republik modern tidak akan bertahan secara institusional dalam pelembagaan demokrasi maupun konstitusi, dia hanya bisa bertahan apabila elite politik dan masyarakat memiliki komitmen yang benar dalam menjalankannya.
 
Seperti kata James Wilson, republik dibangun dengan kumpulan kesadaran sosial atau moral yang alami. "seorang pria yang mampu mengelola urusannya sendiri, dan bertanggung jawab atas perilakunya terhadap orang lain, itu tidak hanya menyatukan masyarakat tetapi juga membuat pemerintahan republik yang demokratis”. Tanpa itu, republik bisa runtuh dan punah kapan pun dan dalam situasi apa pun.
 
Apa yang menjadi dasar argumentasi saya untuk membicarakan akhir dari republik ini? Kita memiliki sejarah yang cukup untuk mengatakan berakhirnya pemerintahan republik dan berakhirnya demokrasi konstitusional. Pada masa Soekarno, Indonesia mengalami krisis demokrasi dan berakhirnya pemerintahan republik setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia diasuh oleh otoritarian.
 
Badan Konstituante hasil Pemilu 1955 dibubarkan diganti dengan MPR bentukan Soekarno. Tidak ada demokrasi, tidak ada pemilihan, Presiden adalah penguasa tunggal dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup.

Beruntung bangsa ini, pergolakan politik tahun 1965 membuka kembali kebuntuan sistem republik yang Panjang itu. Sementara dalam sistem republik, kepala negara dan kepala pemerintahan, serta anggota legislatif wajib dipilih.
 
Tatkala pemerintahan Soekarno berakhir, rezim Soeharto mulai melembagakan Kembali demokrasi dengan membuka kompetisi politik. Pemilu dilaksanakan secara periodik, tetapi itu hanya seremonial saja. Hanya dua partai yang diperbolehkan yaitu PDIP dan PPP, sementara utusan golongan (Golkar) lebih banyak diangkat oleh presiden dan mereka mayoritas anggota MPR. Pemilihan Presiden dilaksanakan menurut UUD, yaitu melalui MPR, tetapi itu hanya seremonial saja, Soeharto menjabat hingga 32 tahun.
 
Dua contoh di atas memperlihatkan bahwa kita memiliki rekam jejak, yang secara potensial dapat mengakhiri republik. Kedua rezim itu, sama-sama menginginkan kekuasaan yang lama dan tidak memiliki komitmen demokrasi. Bahkan mereka melanggar konstitusi secara terbuka.
 
Kearifan dan keteladanan hilang dari pemimpin pertama dan pemimpin kedua republik ini. Mereka tidak belajar dari George Washington, presiden pertama Amerika Serikat. Ketika dia diusulkan untuk menjabat presiden yang ketiga kalinya, Washington menolak, karena itu tidak dibenarkan untuk berkuasa terlalu lama.

Begitu juga Ketika Thomas Jefferson menjadi Presiden, konstitusi Amerika tidak membatasi periode masa jabatan, Jefferson lebih baik pulang kampung daripada dibujuk untuk menjadi presiden ketiga kalinya.
 
Keteladanan yang dipraktikkan oleh para pendiri negara Amerika yang membuat negara besar itu dapat maju. Tidak ada perebutan kekuasaan, tidak ketamakan elite. Sejarah tergantung aktor, kalau aktornya benar maka sejarah akan menjadi kearifan.
 
Belajar dari Sejarah
 
Republik Tiongkok runtuh dan digantikan oleh pemerintahan komunis. Tiongkok adalah Negara yang pada awalnya dipimpin oleh kaisar dengan sistem pemerintahan monarki absolut.

Setelah berhasil menggulingkan kekaisaran Dinasti Qing pada tahun 1912 melalui Revolusi Xinhai mengakhiri 2000 tahun pemerintahan kekaisaran, para pemimpin reformasi Tiongkok membentuk sebuah negara dengan sistem pemerintahan republik.
 
Tetapi peristiwa politik dan perang saudara mengakhiri republik Tiongkok. Ketika terjadi perang  antara partai komunis Tiongkok dan partai nasionalis (Kuomintang) pada tahun 1949 Tiongkok pecah, maka partai komunis menguasai sebagian besar daratan Tiongkok, dan partai nasionalis hanya bertahan di Taiwan.

Republik Tiongkok pun berakhir dan dimulainya pemerintahan Komunis dipimpin oleh partai tunggal. Itulah cara republik Tiongkok berakhir.
 
Ada cara yang tidak populer, tetapi pasti meruntuhkan republik. Republik Weimar adalah republik parlementer yang berdiri 1918 dan berakhir 1933 ditangan demagog terbesar dalam sejarah. Jauh dari anggapan semua orang, bahwa konstitusi Wimar telah menjadi landasan Hitler untuk mengakhiri republik.
 
Ketika krisis yang melanda Weimar Tahun 1920-an para elite-elite politik mulai berpikir untuk membentuk sistem pemerintahan presidensial, mereka kecewa dengan sistem parlementer yang tidak bisa mengatasi krisis.
 
Paul von Hindenburg pada 16 Juli 1930 mulai memainkan perannya sebagai presiden dalam sistem presidensial dengan mulai pemberlakuan pasal 48 Konstitusi Weimar. Pasal 48 itu adalah memberikan kekuasaan kepada presiden untuk menyatakan kondisi darurat (state of exception).

Pada 1930 secara terus menerus Hindenburg mengeluarkan 5 (lima) dekrit darurat (state of emergency) yang disahkan. Pada tahun 1932 sebanyak 66 keputusan darurat yang dianggap perlu. Cukup jelas, pada tahun 1932 Jerman telah berhenti beroperasi dalam arti sebagai demokrasi parlementer.
 
Perubahan besar-besaran terhadap aturan main dilakukan pada tahun-tahun itu. Puluhan undang-undang dibuat untuk menghadapi krisis ekonomi, pengangguran dan berbagai persoalan lainnya menumpuk. Namun tidak ada Langkah yang efektif sedikit pun untuk mengatasi keadaan.

Kabinet jatuh bangun, dan berbagai persaingan politik para elit terjadi kian tajam, mereka tidak bisa menemukan solusi dari kebuntuan nasional.
 
Di saat itu Hitler tampil Kembali dengan wajah baru. Dia tidak lagi menggunakan kekuatan militer untuk melakukan pemberontakan. Dia telah menekankan niatnya menggunakan kekerasan dan bekerja melawan republik dengan cara yang sah, demokratis dan konstitusional, sehingga meningkatkan daya tarik nasionalis dan legitimasi politiknya.

Pada bulan Januari 1932, Wilhelm Groener memberitahu sesama pemimpin tentara bahwa Hitler adalah 'individu yang sederhana, sopan, dan memiliki niat baik.
 
Penerimaan terhadap Hitler semakin histeris. Terbukti pada Pemilihan paruh pertama tahun 1930, Partai Nazi memperoleh keuntungan elektoral yang signifikan dalam pemilihan regional, dan mendapatkan kursi 107 di Reichstag.

Perolehan suara Partai Nazi meningkat pada pemilihan Juli 1932 dengan perolehan suara 230 kursi. Meskipun memperoleh dukungan yang mayoritas 319 kursi dari total 608 kursi Reichstag, Hitler tidak diberi jalan untuk menjadi Kanselir Jerman hingga diadakan pemilihan Ulang Reichstag pada September 1932.

Pada pemilihan Reichstag September Suara Nazi menurun menjadi 196 kursi dari 230 kursi. Meskipun demikian Hitler dan Nazi tetap menjadi pemenang.
 
Dalam ketumpuan politik, Kabinet Von Papen tidak bisa dibentuk dan digantikan Von Schleicher. Upaya Schleicher untuk memecah-belah Nazi gagal, karena Hitler adalah tokoh sentralnya. Pada awal Januari 1933, menjadi sangat jelas bahwa baik von Schleicher maupun von Papen tidak dapat membentuk pemerintahan yang efektif tanpa Hitler yang didukung oleh mayoritas rakyat.

Tampaknya semua kemungkinan jalan alternatif telah dieksplorasi, tapi tidak berhasil. Jalan Hitler untuk menjadi Kanselir semakin kuat.
 
Namun, hambatanya adalah Presiden Hindenburg yang tidak mau melihat Hitler menginjakkan kakinya di Gedung Reichstag. Tetapi sulit untuk membuat keputusan Darurat untuk membubarkan Parlemen.

Dalam kondisi dilema itu Von Papen dan Hindenburg melihat Hitler sebagai kelinci percobaan yang bisa mereka kendalikan. Dalam serangkaian untuk menemukan kebuntuan itu, pada 28 Januari 1933 von Schleicher mengundurkan diri. Mereka akhirnya setuju untuk menunjuk Hitler sebagai Kanselir dan Republik Weimar secara brutal digantikan oleh Reich Ketiga.
 
Dalam banyak hal, republik selalu berakhir secara tragis. Sejarah Republik Romawi Kuno adalah contoh yang paling dekat dengan keadaan kita sekarang ini. Kenapa sebuah republik yang berumur 500 tahun itu bisa runtuh?

Di luar dugaan, bahwa Republik Romawi itu berakhir dengan tragis. Faktor penyebabnya cukup mengejutkan, salah satunya adalah ketika republik kuno itu mulai memberlakukan pemilihan langsung dalam berbagai badan-badan pemerintahannya.
 
Pasti semua orang tidak percaya bahwa pemilihan langsung menjadi faktor penting runtuhnya republik pertama dalam sejarah itu. Sebuah Tesis yang cukup bagus mengelaborasi itu. Electoral Abuse in the Late Roman Republic (University of South Florida, 2008) yang ditulis oleh Howard Troxler merangkai peristiwa naas yang menimpa negara besar kuno itu.
 
Menurut Troxler, keruntuhan republik tidak jauh dari peristiwa-peristiwa politik dan suksesi politik. Para kandidat, apakah itu konsul, senat, Comitia Centuriata maupun Comitia Tributa, Dewan Pleb dan magistrate, tidak memiliki komitmen mempertahankan republik, yang terjadi hanyalah perebutan kekuasaan yang ekstrem.
 
Pemilihan langsung memang sudah ditakdirkan dengan kelemahan-kelemahan yang tidak bisa disepelekan. Itulah kenapa Amerika Serikat sebagai negara moyang demokrasi itu tidak pernah melaksanakan pemilihan langsung untuk memilih presidennya.

Pendiri Amerika sadar, primordialisme dan mayoritarianisme pasti akan menjadi alat ukur untuk kemenangan. Akan lahir perebutan kekuasaan yang terbuka dan cenderung melibatkan massa marah yang anarkis.
 
Dalam sejarah pemilihan langsung, orang-orang kaya lah yang menjadi penentu kandidat yang menang atau tidak. Di Romawi ada nama Marcus Licinius Crassus, seorang oligark yang sangat kaya dengan memimpin pasukan dalam jumlah yang besar. Dia mampu memainkan peran sebagai oligarki panglima untuk mencapai jabatan penting, yaitu konsul.
 
Crassus bersama-sama dengan Julius Caesar dan Pompeius Agung membentuk persekutuan politik yang disebut Triumvirat Pertama. Mereka bertiga kemudian mendominasi sistem politik Romawi.

Uang dan pasukan militer telah mengantarkan mereka menjadi penguasa Romawi. Sementara itu komitmen terhadap aturan main pemilihan semakin menurun, dan membiasakan diri menunda pemilu dan melanggar konstitusi.
 
Jokowi Peringatan untuk Republik
 
Sebuah republic yang akan runtuh. Tidak ada yang abadi kecuali Tuhan dan kearifan manusia. Republic yang berhasil adalah republik yang memiliki komitmen yang kuat terhadap demokrasi dan konstitusi. Para elite politik memegang teguh komitmen itu.
 
Belakangan ini, komitmen terhadap demokrasi dan aturan main konstitusi mulai dilanggar bahkan Amerika Serikat Ketika terpilihnya Donald Trump disebut oleh Daniel Ziblatt dan Steven Levitsky sebagai lonceng kematian demokrasi.

Terbaru kita lihat, China meskipun bukan negara demokrasi, tetapi dalam pemilihanmereka tertib untuk memilih presiden dua kali masa jabatan. Namun ketentuan itu diubah oleh Xi Jin Ping yang memungkinkan dia berkuasa seumur hidup.
 
Fenomena yang sama terjadi di Turki, Erdogan semakin memiliki kekuasaan besar setelah kudeta gagal oposisi dan melakukan perubahan penting memungkinkan dirinya untuk menjabat dalam waktu yang lama. Indonesia hendak mengikuti jalan itu.

Ketika wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan wacana tiga periode dilempar ke publik, saya menangkap bahwa kita sedang menuju pada pemerintahan totaliter. Karena tidak ada orang yang mampu menyangkal ketentuan konstitusi kecuali mereka yang berpikir tiran.
 
Ketentuan pasal 7 UUD Negara Republik Indonesia Jelas mengatakan Presiden dan wakil presiden memegang masa jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih Kembali dalam masa jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan.

Dengan ketentuan sejelas ini, masa jabatan lima tahun, artinya tidak bisa diperpanjang. Dan sesudahnya dapat dipilih Kembali untuk satu kali masa jabatan, artinya hanya dua periode. Tidak ada tafsiran apa pun membolehkan untuk memperpanjang maupun menambah periode masa jabatan Presiden dan wakil Presiden.
 
Wacana ini terus bergulir dengan mengupayakan perubahan aturan main konstitusi. Menteri-Menteri Kabinet Jokowi bersuara untuk menunda Pemilu. Ketua-ketua umum Partai Politik berbicara hal yang sama. Padahal partai politik seharusnya menjadi penjaga gerbang pertama bagi sebuah republik.

Di tengah gencarnya isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden itu, justru beberapa partai yang belum memiliki Menteri dalam Kabinet ditarik masuk oleh Jokowi, seperti Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Zulkifli Hasan. Dia salah satu ketua umum partai yang menyuarakan penundaan pemilu tersebut.
 
Belakangan, muncul Pimpinan Lembaga Negara menganjurkan Presiden mengeluarkan Dekrit untuk Kembali ke UUD 1945 dan dengan dekrit itu presiden mendapatkan kompensasi masa jabatan dengan ditambah dua tahun.

Kemudian Ketua MPR RI mulai membangkitkan wacana menuju pada penjadwalan ulang pemilu (menunda pemilu). kebangkitan elit politik yang mentolerir penundaan pemilu ini menjadi poin pertama menuju keruntuhan republik.
 
Penundaan pemilu, berjalan beriringan dengan penyalahgunaan Undang-Undang. Contoh konkrit yang dapat kita lihat adalah pengangkatan Penjabat (“Pj”) kepala daerah. Penundaan Pemilihan kepala daerah dengan alasan untuk persiapan Pilkada serentak tidak bisa dilihat sepele.
 
Pemberian kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk mengangkat Penjabat kepala daerah adalah bentuk pemerintahan sentralistik. Dimana kepala daerah yang tunjuk memiliki kewenangan yang sama dengan Kepala daerah yang dipilih secara definitif dengan catatan keputusan-keputusan penting itu disetujui oleh Menteri Dalam Negeri.
 
Padahal seorang penjabat tidak boleh mengambil keputusan strategis apapun mengenai daerah yang dipimpinnya sampai ada Kepala Daerah definitif. Asas otonomi daerah juga tidak memberikan hak kepada Menteri untuk ikut campur terlalu jauh mengenai persoalan di daerah.
 
Penyalahgunaan aturan secara terbuka dilakukan di hadapan masyarakat luas, terjadi dalam semua bidang. Contohnya pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto dari jabatannya tanpa penjelasan yang jelas, hanya karena diusulkan oleh DPR, maka DPR bisa menarik kembali usulannya tersebut.

Sayangnya Jokowi mengamini pemberhentian Aswanto yang cacat prosedur itu dengan melantik penggantinya. Independensi pengadilan dipreteli, hakim dibayangi dengan ancaman.
 
Persis seperti apa yang terjadi di masa Romawi akhir, dimana kebiasaan untuk menunda pemilu dilakukan, dan terus diulangi berkali-kali; mengubah aturan main pemilu dengan melanggarnya.

Lex annalis (sebuah Undang-undang yang membatasi umur) dan cursus honorum (aturan tentang jenjang untuk jabatan publik) dilanggar semua semua pada masa Pemerintahan Sulla; Jabatan magistrate (hakim) dari tahun 56-52 SM kosong akibat perkelahian elite, sehingga pemilihan dibatalkan.
 
Dalam politik kepemiluan, uang dan kekayaan menjadi penggerak utama, dengan peraturan-peraturan yang tidak adil. Para pemegang otoritas melakukan Tindakan-tindakan saling menghalangi, menyangkal legitimasi lawan dan bahkan menggunakan kekerasan dan perang saudara.

Terlihat Ketika Cicero ahli hukum yang hebat di zaman itu tersingkir akibat berlakunya undang-undang Leges Clodie menggantikan obnuntiatio.

Caludius adalah seorang bangsawan yang menjabat komite plebeian, padahal jabatan itu dilarang untuknya, merevisi Lex Aelia et Fufia (obnuntiatio) itu untuk menghalangi cicero.
 
Kecurangan pemilu dan mengatur pemilihan dari awal adalah karakter rusaknya republik. Indonesia memiliki sistem pemilihan yang tidak bisa bebas dari kecurangan itu. Bahkan sistem pemilu Indonesia menjadi lelucon seorang pria tua yang diketahui bernama Dr. G T Ng Ketika membandingkan pemilu di dunia.

“Negara mana di dunia yang paling efektif sistem pemilihannya? Di Somalia, memerlukan waktu antara 20-30 hari sampai hasilnya baru diketahui. Di Amerika, hanya beberapa jam setelah pemilihan sudah diketahui. Di Indonesia, mereka sudah tahu hasilnya sebelum pemilihan.” Kata Pria itu disambut tawa olok-olok dari audiensnya.
 
Sistem pemilu yang ditertawakan itu adalah sistem pemilu yang curang. Pemilu yang tidak jujur dan tidak adil. Kompetisi politik dipenuhi dengan intrik, saling berebut suara pemilih dengan cara-cara suap, serangan fajar dan dalam bentuk yang lebih kasar yaitu menyabotase hasil perhitungan suara melalui kaki-tangan yang bekerja di Lembaga pemilihan.
 
Ditambah lagi dengan kerja-kerja Lembaga-lembaga survei yang bekerja dengan donor-donor politik dari kandidat tertentu. Saya tidak mengatakan ini kebohongan statistik atau berbohong dengan statistik. Tetapi kenyataan bahwa statistik lembaga survei diragukan kebenarannya.
 
Kenyataan bahwa pemilu kita sudah dipenuhi dengan berbagai persoalan yang mendasar, yaitu minimnya independensi, akuntabilitas, integritas. Belakangan kita tahu, Komisioner KPU Wahyu Setiawan ditangkap karena menerima suap dalam kasus pemilu itu.

DKPP juga pernah memutuskan bahwa Komisioner KPU (periode 2017-2022) terbukti melakukan intervensi terkait perubahan perolehan suara di Salah satu daerah pemilihan di Kalimantan yang dilakukan dalam sejumlah tahapan.
 
Ketika kenyataan ini sudah mulai menyengat, maka semua kompetitor dan pendukungnya akan berupaya melakukan kecurangan-kecurangan dari awal.

Kalau kecurangan sudah mulai dilembagakan, baik oleh kompetitor maupun wasit (penyelenggara) maka inilah bencana selanjutnya, ketegangan antara massa pendukung: bisa menghasilkan kecurigaan, saling mengumpat, dan bahkan konflik horizontal yang keras. Kalau ini terjadi kita menuju pada akhir republik.
 
Tahun 2019, untuk pertama kalinya pemilihan umum menjadi tragedi. Kematian 800 lebih orang yang sampai hari ini belum diketahui apa penyebabnya.

Di Antara pendukung calon, pertengkaran terjadi secara tajam, umpatan, fitnah, hoax, propaganda menyebar dalam wajah yang menyeramkan. Ketika massa sudah mulai menegang, elite-elite romawi mulai membiasakan penundaan pemilu. Apakah alasan yang sama akan kita lakukan untuk 2024?
 
Semua peristiwa-peristiwa itu memberikan lonceng bagi kita, bahwa republik tidak baik-baik saja. Kita harus menemukan cara yang terbaik untuk proses politik dan demokrasi kita.

Namun harapan itu hampir saja membuat saya pesimis, sebab partai politik sebagai penjaga gerbang demokrasi, mereka sendiri yang menerobos gerbang itu dengan cara-cara yang tidak demokratis. Beberapa regulasi dibuat oleh Pemerintah dan DPR memperlihatkan bahwa partai politik kita tidak memiliki komitmen demokrasi.
 
Elite partai politik patut kita salahkan, karena mereka adalah pemegang mandat kedaulatan rakyat itu melalui wakil-wakilnya di Parlemen. Kalau partai politik tidak bisa menjaga gerbang pertahanan bagi republik dan demokrasi, maka ini menjadi dosa besar partai politik.

Terima atau tidak, partai politik juga telah merusak independensi Lembaga-lembaga negara, seperti Independensi Badan Pemeriksa Keuangan, sekarang sudah diisi oleh politik.
 
Sekarang ini Lembaga independen seperti Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia ingin dipreteli dengan mengubah ketentuan larangan bagi anggota partai memegang jabatan di institusi tersebut.

Partai politik harus sadar bahwa tidak semua sumber kekuasaan itu menjadi instrumen politik, sisakanlah untuk rakyat menikmati itu dari pengelolaan yang profesional.
 
Kesimpulan
 
Republik Indonesia adalah ikrar bangsa ini, hasil perjuangan dan jerih payah para pendiri bangsa dan kita semua sebagai penerusnya harus mempertahankan dengan komitmen yang jujur. Tidak ada negara dengan kekuatan sejarah apa pun kalau tidak memiliki komitmen, maka sejarah akan berakhir.
 
Karena itu saya berkesimpulan, bahwa sebuah republik itu berakhir dengan persoalan. Lima persoalan itu adalah sebagai berikut: pertama, menyalahgunakan Undang-undang dan peraturan lainnya untuk memperluas kekuasaan; kedua, gagal menyelenggarakan pemilu atau membiasakan diri menunda pemilu, dengan menganggap orang lain tidak memiliki kemampuan kecuali dirinya sendiri; ketiga, tidak memiliki komitmen terhadap penegakan konstitusi, keempat, korupsi, penyuapan, kecurangan, kekerasan dan pemaksaan memandu pemilu, kelima; menyangkal legitimasi lawan dengan menggunakan kekerasan dan geng. Keenam, merubah aturan main konstitusi dan membiasakan melanggarnya.
 
Dari keenam kriteria menuju akhir dari sebuah republik itu, kini telah dan sedang dipraktikkan oleh Indonesia. Sebagai peringatan (bukan pesimis) saya ingin mengingatkan bahwa kita diambang keruntuhan republik.

Kalau tidak segera diperbaiki, kita akan terjerembab pada kesalahan yang berulang keluar dari mulut tiran masuk mulut oligarki plus pemerintahan totalitarian atau rezim otoriter. Di ujung republik, tirani, oligarki dan kleptokrasi akan berjaya. rmol news logo article

*Ketua Komunitas Pemuda Madani dan Pegiat Hukum Tata Negara
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA