Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mayat Gembur Kinyis-kinyis di Kalideres

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/djono-w-oesman-5'>DJONO W OESMAN</a>
OLEH: DJONO W OESMAN
  • Rabu, 23 November 2022, 08:42 WIB
Mayat Gembur Kinyis-kinyis di Kalideres
Rumah temuan empat orang sekeluarga meninggal di Kalideres, Jakarta Barat/RMOL
MAYAT sekeluarga di Kalideres, kian misterius. Pada 13 Mei 2022 salah satunya sudah meninggal, dibiarkan dalam rumah. Petugas koperasi masuk kamar dalam gelap, pegang tubuh korban, gembur. Setelah disenter.
 
Sontak, petugas pria itu belingsatan kabur. Sebab, tubuh Margaretha sudah jadi jenazah. Ini disampaikan Direktur Reserse Kriminal Umum, Polda Metro Jaya. Kombes Hengki Haryadi kepada pers, begini:

Jumat 13 Mei 2022 malam, tiga petugas koperasi simpan pinjam mendatangi rumah di Kalideres, untuk konfirmasi kepemilikan sertifikat rumah, yang hendak digadaikan. Disambut Budyanto (69), adik tuan rumah Rudyanto (71).

Petugas disuruh masuk. Para petugas pun masuk. Di dalam ada Dian (40) anak Rudyanto-Margaretha. Rumah kondisi gelap, karena listrik diputus, belum bayar.

Karena sertifikat atas nama Margaretha (68) salah satu petugas minta bertemu langsung Margaretha. Buat konfirmasi. Lalu, Budyanto dan Dian menyilakan petugas masuk kamar Margaretha.

Dian mengatakan ke petugas: "Jangan disenter, ya Bang. Karena ibu saya peka terhadap sinar."

Petugas manggut-manggut, masuk kamar. Dalam gelap dan bau busuk, petugas maksa masuk. Kamar remang-remang pantulan lilin di luar. Ada orang tidur di tempat tidur. Terlentang. Didekati petugas. Dipegang-pegang, dibangunkan:

"Bu... maaf... apakah benar, ini sertifikat rumah Ibu?"

Tak ada reaksi. Diulangi, tetap saja. Petugas curiga, karena tubuh Margaretha terasa gembur, lembek kinyis-kinyis. Penasaran, ia nekat menyalakan senter HP. Byaaar...

Langsung, petugas teriak takbir: "..... Allahu Akbaaaar... ini mayat."

Wus... Petugas lari. Ke ruamg tamu. Menuju dua temannya yang menunggu. Teriakan itu mengagetkan dua petugas yang menunggu. Kaget, heran, takut, kepo. Mereka ikutan lari juga. Keluar rumah.

Eh, Budyanto mengejar mereka, ngintil keluar rumah, sambil memanggil:

"Bang... tolong, sini... Saya mau bicara."

Para petugas berhenti di pintu pagar halaman. Mereka menoleh ke Rudyanto. Yang bicara, pelan:

"Bang... tolong jangan bilang siapa-siapa, ya. Jangan lapor polisi atau Pak RT."

Para petugas manggut-manggut. Asal, ya... ya... ya... Cepat keluar dengan wajah bingung, ngeri. Mereka tak pernah balik ke situ lagi.

Kombes Hengki: "Petugas koperasi memang tidak pernah lapor polisi. Sampai kami selidiki, lalu kami temui mereka. Minta keterangan. Begitulah pengakuan mereka."

Petugas koperasi berani masuk rumah, sebab disambut ramah Budyanto. Saat petugas baru masuk, sempat bertanya, kok bau tidak enak, ya... Dijawab Budyanto: "Memang, got mampet belum diperbaiki."

Apalagi, di dalam Dian menyambut petugas dengan ramah. Menceritakan, Margaretha sedang sakit. Cuma terbaring di tempat tidur. Tapi, tiap hari Dian mengaku, memandikan Margaretha, dan menyisir rambut, yang dikatakan selalu rontok.

Kombes Hengki: "Pernyataan Dian ke petugas, Margaretha tiap hari diberi minum susu, sambil menyisir rambutnya yang terus rontok semua."

Tim Polda Metro Jaya terus menyelidiki kematian empat orang sekeluarga itu. Dua hal yang diselidiki: Penyebab kematian dan motif.

Dari hasil pemeriksaan forensik disebutkan, tidak ada tanda kekerasan. Mereka meninggal akibat tidak ada makanan di lambung semua jenazah. Tapi bukan berarti mereka mati kelaparan akibat tidak bisa beli makanan. Tidak mungkin.

Pada 20 Januari 2022 Budyanto menjual mobil keluarga itu, Honda Brio baru, ke showroom mobil bekas di Jakarta Barat seharga Rp 160 juta. Sebulan kemudian mereka menjual rumah yang mereka tempati, seharga Rp 1,2 miliar, tapi tidak laku.

Kemudian, sertifikat rumah digadaikan Rp 600 juta ke koperasi simpan pinjam, yang petugasnya gibras-gibras itu.

Sangat aneh. Mereka hidup serumah dengan orang yang sudah mati. Berbulan-bulan. Kemudian mereka juga mati satu demi satu. Belum jelas urutan kematian.

Seumpama di antara mereka ada yang hidup, pasti disidik polisi. Mengapa membiarkan anggota keluarga mati, tidak dikubur?

Kasus itu mirip dengan yang terjadi di Amerika, baru-baru ini. Waktunya kurang-lebih bersamaan dengan kematian sekeluarga di Kalideres itu.

Dikutip dari Associated Press, 24 Agustus 2022, berjudul: "Police: Daughter Lived With Mother’s Dead Body for Months", kejadian di Desa Petaluma, California, Amerika Serikat (AS).

Itu diungkap polisi di sana. Bermula 23 Agustus 2022. Seorang warga menelpon kantor polisi, melaporkan bahwa di rumah tetangga tampak puluhan paket menumpuk di depan pintu rumah yang selalu tertutup.

Polisi langsung mendatangi alamt dimaksud. Benar. Di depan rumah menumpuk sekitar 30 paket, bergeletakan. Polisi mengetuk rumah, tidak ada jawaban. Berkali-kali.

Polisi mencium bau busuk, maka mendobrak pintu rumah.

Ternyata di dalam rumah ada seorang perempuan usia 35, duduk menangis di dekat perempuan usia 60-an yang tidur di sofa ruang tamu. Polisi kaget melihat mereka. Ditanya, mengapa tidak membuka pintu? Perempuan itu hanya menangis.

Perempuan muda itu mengatakan, perempuan di sofa itu adalah ibunya. Meninggal akibat stroke sejak April 2021. Berarti sudah setahun empat bulan mayat ada di situ.

Ditanya lain-lain, perempuan itu hanya menangis. Seperti kurang waras. Polisi segera mengontak ambulance, lalu jenazah diangkut ke RS di Kabupaten Sonoma. Diperiksa forensik, disimpulkan, bukan akibat pembunuhan.

Si wanita muda tidak bisa dimintai keterangan, karena selalu menangis. Maka, dirawat di di lembaga kesehatan jiwa setempat.

Di Indonesia, hal mirip itu biasa terjadi di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Jenazah berada di rumah, ditempatkan di peti mati terbuka, yang dihuni banyak anggota keluarga, sudah biasa,

Dikutip dari BBC, 18 April 2017, berjudul: "Living with the dead", liputan Depth News oleh Reporter Sahar Zand, digambarkan, orang mati ditempatkan di peti mati terbuka di ruang tamu, adalah biasa.

Reporter mendatangi rumah keluarga Paulo Cirinda. Di situ tinggal puteri Paulo bernama Lisa, juga suami dan anak-anak, atau cucu Paulo. Sedangkan, Paulo sudah meninggal 2005 (12 tahun sebelumnya). Jenazahnya ditidurkan di peti mati terbuka, ditempatkan di sudut ruang tamu.

Saat liputan berlangsung, kebetulan di rumah Lisa (dipanggil Mamak Lisa) kedatangan tetangga pria yang mengantarkan reporter BBC.  Sang tetangga menyapa Lisa dengan enteng:

"Selamat siang... bagaimana keadaan bapakmu, Mamak Lisa?"

"Ow... Bapak masih sakit."

Kemudian Lisa bicara ke arah peti mati Paulo: "Bapak, kami kedatangan beberapa tamu, mau menemui Bapak. Semoga tidak membuat Bapak marah,"

Lalu, reporter dibolehkan mendekati peti mati yang terbuka. Digambarkan, jenazah berpakaian adat setempat. Bagian dalam peti mati dihiasi kain warna-warni. Kondisi jenazah sudah kering seperti kayu. Tapi tidak bau.

Jenazah itu berkacamata hitam, sangat berdebu. Samarsamar tampak, mata jenazah terbuka. Kulit wajah keriput, coklat seperti kulit pohon. Ada pori-pori besar, atau lubang-lubang kecil.

Kata Mamak Lisa, mayat tidak rusak karena diberi ramuan daun yang tumbuh di sana. Warga biasa menggunakan daun itu untuk merawat jenazah, sehingga awet dan tidak bau. Semacam balsem tradisional.

Tiga cucu Paulo, atau anak-anak Lisa, berlarian keluar-masuk rumah. Kadang, anak-anak usia 5 sampai 10 tahun itu mendekati peti mati sang kakek. Bahkan, salah seorang anak bertanya ke Lisa:

"Mengapa kakek selalu tidur?"

Nak lain menimpali: "Ayo... kakek bangun. Ayo kita makan."

Lisa menyahut: "Ssst... berhenti mengganggu kakek. Ia sedang tidur. Kalian akan membuatnya marah."

Kemudian anak-anak pergi, berlarian lagi ke arah halaman rumah. Tampak, begitu biasa. Lisa dan keluarga menganggap Paulo masih hidup. Menurut Lisa, Paulo akan dimakamkan kalau keluarga sudah punya cukup uang. Untuk beli kerbau dan babi, disembelih, dagingnya dibagikan ke warga.

Pemakaman di sana, umumnya menghabiskan biaya sekitar Rp 10 sampai 100 juta. Jadi, orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan menabung untuk persiapan biaya mati.

Tapi, Lisa mengatakan, tidak semua warga di sana begitu. Hanya sekitar 20 persen yang memegang teguh adat seperti itu. Sebagian besar lainnya, sudah dikubur seperti biasa.

Sekeluarga di Kalideres, bukan dari Tana Toraja. Pada Februari 2022, menurut tetangga, mereka merayakan Hari Raya Imlek.

Tapi, karena kasus ini yang pertama bagi Polda Metro Jaya, maka masih diusut penyebab dan motif kematian. Siapa tahu, ada unsur tindak pidana. rmol news logo article

Penulis adalah Wartawan Senior
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA