Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Din Syamsuddin Mengajak Dunia Menuju Peradaban Baru

OLEH: FURQAN JURDI*

Sabtu, 29 Oktober 2022, 21:55 WIB
Din Syamsuddin Mengajak Dunia Menuju Peradaban Baru
Ketua Umum Muhammadiyah 2005-2015, Prof Din Syamsuddin/Net
PIDATO Ketua Umum Muhammadiyah 2005-2015, Prof Din Syamsuddin sekaligus Ketua Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) di Roma, cukup menarik bagi saya untuk dikaji dari perspektif peradaban, kemanusiaan, dan kebudayaan masyarakat dunia.

Din Syamsuddin mengajak dunia untuk menuju peradaban baru. Di saat dunia sedang menghadapi keguncangan yang cukup serius saat Covid-19 dan pascanya, Prof Din mengajak masyarakat dunia untuk optimisme menghadapi zaman yang terus berkembang. Bahwa pandemi bukan hambatan tetapi peluang untuk menciptakan peradaban dunia Baru (new word civilization).

Banyak kebiasaan yang berubah, dan dunia mengarah pada lompatan-lompatan peradaban dan kebudayaan yang cukup cepat, disertai dengan perkembangan tekhnologi dan informasi. Dinamika kemanusiaan yang selama ini berkembang secara gradual mulai mengalami lompatan-lompatan serius.

Ingsutan menuju masyarakat informasi dan digital sudah mencapai tahap yang maju, tapi ikatan-ikatan mutual cenderung kurang permanen, kurang enganged antara kelompok masyarakat.

Saat covid kita melihat sebuah masyarakat yang terkunci dalam bilik-bilik individual mereka, dan mengenal dunia luar dalam ruang-ruang digital. Dalam situasi itu ikatan-ikatan mutual cenderung hanya bersifat sementara dan tidak permanen.

Meskipun Covid telah membatasi berbagai aktivitas manusia, namun, dengan kesadaran individu itu juga masyarakat diselamatkan dari sebaran pandemi. Kerjasama untuk tidak bersama dalam bentuk fisik ini mampu menghindari laju pandemi.

Tetapi perubahan-perubahan akibat Covid-19 ini begitu dramatis, di sejumlah negara mengalami pelbagai perubahan kebiasaan dan diikuti oleh krisis dibidang sosial dan ekonomi, sehingga tidak berlebihan kalau ini adalah sebuah era yang disebutkan oleh Francis Fukuyama (1999) sebagai "The Great Distuption".

Di saat dunia mengalami kegoncangan besar, agama menjadi salah satu tempat untuk kembali. Agama sebagai seruan moral, memiliki posisi penting ditengah masyarakat yang sedang menghadapi krisis mutidimensi.

Dalam ajakan untuk kembali pada agama, Prof Din Syamsuddin mengutip Al-Quran Surah Ar-Rum ayat 41. Ayat itu merupakan peringatan sekaligus refleksi kemanusiaan atas pelbagai krisis dan bencana yang menimpa umat Manusia. Mulai dari krisis kohesi sosial, krisis iklim, krisis ekonomi dan krisis lainnya yang mengarah pada kehancuran total.

Agama sebagai bagian penting bagi kehidupan manusia, memiliki tempat yang strategis untuk menghindari kehancuran itu. Karena itu dialog antarumat beragama dalam mendakwahkan peradaban dan kemanusiaan menjadi penting.

Menghindari polariasasi dan sentimen keagamaan yang menyebabkan perpecahan dan pertikaian apalagi kriminalisasi agama tertentu harus diakhiri. Semua sudah tidak relevan lagi dalam dunia yang sudah maju saat ini.

Prof. Din Syamsuddin dalam Konferensi Internasional Komunitas Sant’ Egidio, sebuah komunitas katolik yang didedikasikan untuk pelayanan kemanusiaan yang didirikan di Roma 1968 itu, memberikan penekanan tentang pentingnya kerjasama agama untuk membimbing umat dan masyarakat dunia.

Dalam Pidato tanggal 25 Oktober 2022 yang membahas "Living Together: Lessons from the Pandemic" (Hidup Bersama: Pelajaran dari Pandemi). Prof Din mengajak masyarakat dunia untuk membangun harmoni dalam bingkai persaudaraan dan kemanusiaan antar umat beragama.

Bahwa pesan-pesan moral yang terkandung dalam kitab suci, khususnya Al-Quran, mengajak manusia untuk ta'awun, kerjasama untuk kebaikan bersama dan melarang ta'awun dalam keburukan dan perpecahan.

Kerusakan yang muncul dalam kehidupan masyarakat dunia disebabkan karena peradaban dan kemanusiaan berjalan tanpa panduan moral, khususnya panduan agama secara universal.

Menyebarnya keburukan dan meluasnya penyakit serta dicabutnya keberkahan adalah peringatan Allah atas hilangnya nilai-nilai moral yang memandu jalanya peradaban. Peringatan itu berfungsi agar manusia melakulan refleksi atas diri dan lingkungan mereka agar "mereka kembali".

Kata "mereka kembali" dalam surah Ar-Rum ayat 41 itu ditafsirkan sebagai jalan kembali secara bersama, bukan jalan mundur. Kembali yang dimaksud adalah sadar (bertaubat) pada perbuatan mereka yang menyebabkan datangnya bencana dan azab itu.

"Kembali" bukanlah mencari jalan baru dengan menempuh jalan yang belum kita kenal sama sekali. Tetapi "kembali" Yaitu, melewati jalan yang telah dikenal, tapi meninggalkan segala keburukan yang pernah dilakukan selama ini.

Pertanyaannya Sekarang, What to be Done?

Din Syamsuddin dalam Konferensi tahunan itu yang mengangkat tema The Cry for Peace/Il Grido della Pace (Jeritan untuk Perdamaian) itu,  mengajak pula umat antar agama untuk membangun solidaritas kemanusiaan dan kolaborasi antarumat beragama.

Solidaritas kemanusiaan harus terbangun antara umat manusia berdasarkan pada rasa saling percaya antara sesama manusia dengan menumbuhkan sikap saling menghormati, saling menjaga dan bertanggung jawab satu sama lain.

Selain solidaritas, perlu membangun kolaborasi antar umat beragama. Kolaborasi lintas agama, Kata Prof Din, tidak berarti mencampuradukkan keyakinan agama-agama, tapi kolaborasi mengambil bentuk kerja sama kemanusiaan.

Solidaritas maupun kolaborasi inilah yang disebut Prof. Din sebagai peradaban baru, yaitu peradaban masa depan dalam bentuk yang plural. Peradaban plural yang dimaksud adalah peradaban manusia itu sendiri.

Peradaban yang telah terbentang dari Sumeria kuno hingga Mesir dan peradaban klasik, dari meso Amerika hingga peradaban Islam, Kristen dan perdaban Asia, Afrika dan peradaban Hindu, hingga dalam bentuk-bentuknya yang singular. 

Semua peradaban itu diejewantahkan dalam term-term yang saling keterkaitan satu sama lain. Untuk mempertahankan capaian itu, maka kolaborasi antarkebudayaan dan peradaban dalam bentuknya yang singular harus dibangun.

Kegagalan membangun kolaborasi ini menyebkan perjalanan sejarah peradaban bangkit dan jatuh. Penyebabnya tidak ada harmonisasi dan kolaborasi kebudayaan.

Terjadi ketidakharmonisan secara singular yang menyebabkan runtuhnya peradaban. Hal itu disebabkan dua hal yaitu perang dan otoriter atau diktator, dan atau totaliter.

Pada abad 21 ini kemungkinan menuju perang Dunia III semakin nyata setelah invansi Rusia ke Ukraina. Namun yang perlu diwaspadai adalah penggunaan senjata moderen yang bisa berdampak pada manusia dan kemanusiaan.

Kita perlu belajar, bahwa perang telah membuat derita kemanusiaan yang cukup mendalam. Sepanjang perang dunia I dan II, umat manusia mengalami pesimisme untuk menuju masa depan.

Sebelum itu pesimisme juga terjadi ketika Eropa mengalami zaman Kegelapan yang panjang. Dari 300-1400 Masehi eropa mengalami zaman Kegelapan (the dark age).

Begitu juga pasca perang salib, kita melihat peradaban singular bangkit dan runtuh akibat akibat invansi dan kediktatoran. Seperti yang dikatakan Nietzche dalam "Senjakala Berhala dan Anti Krist", penyebab utama hancurnya peradaban dan kultur Moor disebabkan karena prajurit bayaran menginjak-injak capaian peradaban itu, tanpa mereka tau, itulah keberkahan bagi manusia.

Dalam abad 21 masehi, fenomena diktator, otoriter dan semacamnya telah berakhir, meskipun belum sepenuhnya. Tetapi penggunaan senjata, seperti nuklir, senjata biologis dan lainnya masih menjadi ancaman terhadap peradaban dan kemanusiaan.

Karena itu kolaborasi dan solidaritas harus dibangun sebagai jalan menuju peradaban baru, yaitu peradaban tanpa pertumpahan darah dan korban jiwa.

Peradaban yang dibangun dengan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan, sehingga capaian-capaian sains dan teknologi yang maju dan berkemajuan tidak berbalik menjadi bencana kemanusiaan. rmol news logo article

*Ketua Komunitas Pemuda Madani
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA