Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Warisan Gorbachev untuk Asia Tenggara

OLEH: WILDAN FAISOL*

Selasa, 13 September 2022, 22:42 WIB
Warisan Gorbachev untuk Asia Tenggara
Mikhail Gorbachev/Net
DALAM dua minggu terakhir, publik internasional ditinggal oleh dua tokoh besar yang mewarnai hubungan internasional dalam 3-4 dekade yang lalu, yaitu Mantan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev dan Ratu Elizabeth II dari Kerajaan Inggris.

Pada tanggal 30 Agustus tahun 2022, tokoh besar era Perang Dingin Mikhail Gorbachev meninggal dunia pada umur 91. Gorbachev dikenal publik internasional sebagai pemimpin terakhir Uni Soviet sejak tahun 1985 hingga akhir eksistensi Uni Soviet pada tahun 1991.

Sosok Gorbachev kental dengan stigma reformis yang melahirkan terobosan radikal dalam mereformasi aspek ekonomi dan politik Uni Soviet (Glasnost dan Perestroika). Upaya Gorbachev dalam mereformasi Uni Soviet untuk lebih demokratis dan humanis justru membawa Uni Soviet pada keruntuhan.

Meskipun reformasi ekonomi politik tersebut justru mengakhiri eksistensi Uni Soviet, tetapi langkah-langkah gorbachev dalam aspek politik luar negeri yang mengakhiri era Perang Dingin serta berimbas kepada negara-negara Eropa Timur untuk melepaskan diri dari pengaruh pemerintahan otoriter komunisme.

Kebijakan Glasnost dan Perestroika dari Gorbachev mendorong munculnya negara-negara baru yang memisahkan diri dari Uni Soviet seperti Lithuania, Latvia, Estonia, Ukraina, Armenia, Belarus dan Moldova.

Dari sudut pandang Politbiro Komunis Uni Soviet dan tokoh-tokoh partai komunis lain dari negara-negara Eropa Timur, jelas Gorbachev dianggap sebagai pengkhianat karena upaya-upayanya untuk Uni Soviet meninggalkan nilai-nilai komunisme dengan sikap kooperatifnya pada pemimpin barat seperti Ronald Reagan, George W. Bush Sr. dan Helmut Kohl.

Salah satu momen fenomenal dari Gorbachev ketika dirinya memberikan pidato di Vladivostok pada tanggal 28 Juli 1986. Dalam pidato tersebut Gorbachev menekankan pada penciptaan perdamaian terhadap kawasan Asia Pasifik diantaranya dengan menormalisasi hubungan dengan Tiongkok dan mendorong pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Kamboja untuk mencari jalan tengah dalam mengakhiri konflik.

Selain itu Gorbachev juga menyebutkan bahwa hubungan dengan Indonesia yang semula mesra di era Soekarno kemudian memburuk pasca G30/S 1965 akan coba untuk diperbaiki kembali dan hal ini disambut hangat ketika Soeharto berkunjung ke Moscow bertemu Gorbachev pada tahun 1989. Pidato Gorbachev di Vladivostok tersebut menjadi titik balik besar dalam haluan politik luar negeri Uni Soviet.

Gorbachev dan Asia Tenggara

Rezim Mikhail Gorbachev dalam memimpin politik luar negeri Uni Soviet berusaha memperlihatkan sisi kooperatif Uni Soviet dalam menciptakan perdamaian sekaligus mengakhiri tensi Perang Dingin dengan Amerika Serikat.

Untuk pendekatannya terhadap kawasan Asia Tenggara, Gorbachev memulainya dengan membangun komunikasi dengan Le Duan pemimpin Vietnam pada pertengahan 1985 dalam rangka untuk membentuk kerjasama baru untuk bantuan ekonomi kepada Vietnam serta menegaskan kembali dukungan Uni Soviet terhadap pemerintahan-pemerintahan Komunis yang berada di kawasan Indochina (Vietnam, Laos dan Kamboja).

Dalam momen ini, Gorbachev beserta menteri luar negeri Andrey Gromyko juga turut membangun suatu ide kepada Le Duan akan harapannya dalam membangun hubungan yang damai tidak hanya bagi Uni Soviet dengan Tiongkok, tetapi juga untuk Vietnam dengan Tiongkok.

Gorbachev berusaha membangun citra positif dengan Uni Soviet dengan Tiongkok supaya dapat menurunkan tensi persaingan antara keduanya dan terlebih dapat mendorong faksi-faksi kelompok yang didukungnya untuk berhenti berkonflik (contoh: Konflik Kamboja).

Hubungan antara Uni Soviet, Tiongkok dengan negara-negara Indochina sangat kompleks diakibatkan Uni Soviet mendukung langkah Vietnam dalam invasinya ke Kamboja, sedangkan Tiongkok merespon dengan mendukung faksi komunis lainnya yaitu pemberontak Khmer Merah dari Kamboja yang dipimpin Pol Pot untuk menghadapi Vietnam.

Dalam konteks hubungan Uni Soviet dan ASEAN, Uni Soviet sangat mendukung dialog antar Vietnam dan Indonesia yang dibangun sejak 1984 ketika Jenderal Benny Moerdani berkunjung ke Vietnam. Baik bagi Indonesia atau Malaysia, pengaruh Tiongkok di Asia Tenggara lebih mengancam daripada pengaruh Uni Soviet.

Hal ini dikarenakan secara geographical proximity, letak Tiongkok lebih dekat dengan kawasan Asia Tenggara daripada Uni Soviet dan terlebih Tiongkok memiliki andil besar dalam mendanai pemberontakan Partai Komunis Indonesia dan Malaysia. Pada momen lain motivasi Indonesia membangun dialog dengan Vietnam demi dapat menarik pasukan Vietnam dari Kamboja serta memberikan harapan terkait normalisasi hubungan antara Vietnam dan Amerika Serikat.

Melihat peluang tersebut, Gorbachev mengirim wakil menteri luar negeri Mikhail Kapitsa untuk berkunjung ke Jakarta pada bulan November tahun 1985. Dalam tulisan Nazaruddin Nasution, peran Indonesia sangat diperhitungkan oleh banyak pihak termasuk Uni Soviet sebagai Interlocutor antara pihak ASEAN dan Vietnam.

Selain Indonesia, Mikhail Kapitsa juga berkunjung ke Manila pada bulan April 1986 pasca peristiwa People Power yang menumbangkan rezim Marcos. Uni Soviet dalam momen ini juga menegaskan bahwa tidak dalam mendukung faksi militer partai komunis Filipina New People Army (NPA) yang aktif beroperasi di pulau Mindanao.

Gorbachev dalam Perdamaian di Kamboja

Pendekatan Uni Soviet dalam mengembalikan hubungannya dengan Tiongkok yang digagas oleh Gorbachev akan berimbas positif juga dalam usahanya mendamaikan konflik di Kamboja antara pemberontak Khmer Merah dengan Vietnam. Dalam artikel Muthiah Alagappa, peran Uni Soviet dalam mendorong perdamaian di Kamboja dapat ditelaah dalam tiga tahapan.

Pertama, pada tahun 1987 Gorbachev semakin aktif mendorong normalisasi hubungannya dengan Tiongkok begitupun juga hubungan Vietnam dengan Tiongkok. Sedangkan Tiongkok merespon langkah Gorbachev dengan menuntut komitmen tegas Uni Soviet untuk mendorong Vietnam menarik pasukannya dari Kamboja.

Karena aspek normalisasi hubungan dengan Tiongkok merupakan tujuan utama dari politik luar negeri Asia Pasifik era Gorbachev maka Uni Soviet tidak memiliki banyak pilihan selain mendorong Vietnam untuk menarik pasukannya dari Kamboja.

Kedua, Gorbachev mendorong Uni Soviet untuk aktif terus berkonsultasi dengan Vietnam, Kamboja, Laos, dan negara anggota ASEAN (Indonesia dan Thailand) sejak periode bulan Juli tahun 1986 hingga bulan April tahun 1987 demi mencari jalan keluar solusi resolusi konflik di Kamboja.

Uni Soviet juga mendorong berbagai pertemuan-pertemuan yang melibatkan faksi-faksi yang terlibat konflik (People's Republic of Kampuchea (PRK), Democratic Kampuchea (DK), Front Uni National pour un Cambodge Independant (FUNCINPEC), dan Khmer People’s National Liberation Front (KPNLF)) di Kamboja dengan pemerintahan komunis Vietnam dan Kamboja.

Beberapa diantaranya ketika bulan Maret 1987 Menteri luar negeri Eduard Shevardnadze melakukan kunjungan ke Asia Tenggara dan Australia. Shevardnadze meneruskan aspirasi Gorbachev kepada petinggi negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand untuk meyakinkan kepada Thailand dan seluruh anggota ASEAN dalam mendorong Vietnam untuk menarik tentaranya dari Kamboja.

Ketiga, pada bulan Mei tahun 1989, Gorbachev berkunjung ke Tiongkok untuk menyepakati berbagai hal diantaranya memastikan penarikan tentara Vietnam dari Kamboja pada akhir tahun 1989 dan melibatkan PBB dalam mencari jalan keluar untuk konflik di Kamboja.

Gorbachev juga turut menempuh cara melalui keterlibatannya dalam pertemuan anggota tetap dewan keamanan PBB. Awalnya Gorbachev menerima kehadiran peran PBB dalam konflik di Kamboja meskipun pemerintahan Vietnam dan Kamboja menolak.

Ditambah dengan kondisi ekonomi Uni Soviet yang sangat menurun menjelang tahun 1990 turut berimbas pada kemampuannya menopang bantuan ekonomi dan militer kepada Vietnam.

Pada level regional, Uni Soviet juga mendukung Indonesia dalam mengadakan pertemuan-pertemuan informal (cocktail party) yang melibatkan faksi-faksi yang terlibat konflik di Kamboja termasuk Vietnam pada bulan Juli tahun 1987.

Uni Soviet berhasil melakukan beberapa pertemuan yang melibatkan Hun Sen dan Norodom Sihanouk pada bulan Desember tahun 1987 dan bulan Januari 1988. Bahkan Gorbachev juga menerima kunjungan Menteri luar negeri Indonesia Mochtar Kusumaatmadja pada bulan Februari 1988 untuk mencari jalan tengah dalam rekonsiliasi konflik di Kamboja.

Kemudian Uni Soviet meyakinkan Vietnam untuk kembali terlibat hadir dalam acara yang diselenggarakan oleh Indonesia yaitu Jakarta Informal Meeting (JIM) I pada bulan Juli Tahun 1988 dan JIM II pada bulan Februari tahun 1989.

Sejatinya, kehadiran Uni Soviet dalam percaturan politik di kawasan Asia Pasifik tidak terlalu menjadi hal yang menguntungkan. Selama era Perang Dingin berlangsung, kawasan Asia Pasifik terutama Asia Tenggara benar-benar menjadi salah satu wilayah proxy wars paling aktif antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Terlebih lagi negara-negara berhaluan komunis sepanjang Asia Timur dan Asia Tenggara saling terlibat konflik. Dalam artikel Soedjati Djiwandono, Vietnam yang mengandalkan bantuan ekonomi dan militer dari Uni Soviet tidak begitu maksimal dalam menjadi kepanjangan tangan Uni Soviet untuk di kawasan Asia Tenggara, terutama dalam konfliknya dengan Tiongkok.

Sedangkan Laos dan Kamboja dirasa lebih banyak dikendalikan oleh politik luar negeri Vietnam daripada Uni Soviet. Oleh karena itu sikap Gorbachev merupakan cerminan besar politik luar negeri Uni Soviet kala itu demi menyelesaikan berbagai permasalahan terutama di Asia Tenggara dengan mendorong Vietnam untuk menarik pasukannya dari Kamboja.

Ketika perdamaian di Kamboja sudah dapat dipastikan melalui kesepakatan damai Paris kedua pada tahun 1991, Malaysia mewakili ASEAN turut mengundang Uni Soviet yang telah menjadi Rusia beserta Tiongkok sebagai tamu dalam pertemuan tingkat menteri ASEAN ke-24.

Meskipun Gorbachev beserta bentuk negara Uni Soviet telah tidak eksis lagi ketiga momen tersebut, namun warisan dan usahanya dalam mendorong perdamaian di Asia Tenggara merupakan kontribusi yang susah untuk dibantahkan.

Gorbachev merupakan contoh baik tentang sosok pemimpin negara adidaya yang dapat berpikir realistis dalam menciptakan perdamaian salah satunya di Asia Tenggara.rmol news logo article

*Penulis adalah Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA