Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kekerasan di Pesantren dan Urgensi Kebijakan Pencegahannya

OLEH: M. RASYID RIDHA S*

Kamis, 08 September 2022, 02:31 WIB
Kekerasan di Pesantren dan Urgensi Kebijakan Pencegahannya
Ilustrasi Ponpes Gontor/Net
KASUS kekerasan di lingkungan Pondok Pesantren kembali terjadi. Kali ini, kasus tersebut terjadi di Pondok Modern Darussalam Gontor. Naasnya, kekerasan tersebut berujung pada terbunuhnya korban yang merupakan santri Pondok Modern Gontor.

Berdasarkan keterangan Kapolres Ponorogo, kejadian kekerasan bermula dari adanya perselisihan antara pelaku dengan korban mengenai kurangnya penyediaan sarana alat untuk kegiatan perkemahan. Hingga kemudian pelaku menganiaya korban (22/8), dan berujung pada meninggalnya korban. Pelaku sendiri merupakan Ketua Panitia Perkemahan Kamis Jumat (Perkajum) di Pondok Modern Gontor.

Setelah meninggalnya korban, pihak Pondok Gontor menyampaikan informasi kepada pihak keluarga jika korban meninggal karena sakit. Namun saat pihak keluarga membuka peti jenazah korban, yang terlihat justru wajah dan tubuh korban mengalami luka lebam-lebam.

Lantas selanjutnya pihak Pondok Modern Gontor malah 'menekan pihak keluarga korban secara persuasif'. Pihak Pondok saat itu tidak langsung segera melaporkan peristiwa ini ke Kepolisian dan meminta kepada pihak keluarga untuk tidak melaporkan kejadian ini.

Di sisi lain, peristiwa kekerasan yang berujung kematian seperti ini merupakan delik biasa yang artinya siapa pun berhak dan berkewajiban melaporkan peristiwa tersebut kepada pihak Kepolisian.

Adapun saat itu dalih yang digunakan oleh pihak Pondok adalah karena di internal Pondok sendiri "telah ada mekanisme internal" untuk mengatasi masalah ini, yakni pihak orang tua atau wali santri dianggap sudah membuat surat pernyataan yang berisi kesanggupan tak akan melaporkan ke kepolisian jika terjadi sebuah masalah terhadap santri di dalam Pondok Pesantren Gontor.

Sekalipun di kemudian waktu pihak Pondok Modern Gontor meralat keterangan awalnya dan meminta maaf kepada pihak keluarga dan masyarakat publik, namun keterangan awal yang cenderung manipulatif dan membohongi tersebut terlanjur telah mengecewakan banyak pihak termasuk keluarga korban dan masyarakat publik.

Siklus yang Berulang

Kejadian kekerasan di lingkungan Pondok Pesantren seperti Gontor bukanlah yang pertama kali. Sebenarnya ada banyak praktik kekerasan yang kerap terjadi di lingkungan Pesantren. Umumnya praktik tersebut berangkat dari pola bullying dan relasi patron kelompok santriwan/santriwati senior terhadap yang junior, dan bentuknya beragam: mulai dari menekan psikis, menghina, mengancam, mengambil barang, melakukan kekerasan fisik, dan sebagainya (Yani & Lestari: 2018).

Namun banyak dari kasus-kasus kekerasan di Pesantren tak serta merta langsung tersebar dan diketahui oleh publik. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini. Pertama, kondisi lingkungan Pondok Pesantren yang relatif tertutup terhadap dunia luar. Kedua, akses santriwati/santriwati terhadap saluran informasi di luar -termasuk fasilitas digital dan internet- juga cenderung dibatasi.

Ketiga, kejadian kekerasan di lingkungan Pesantren cenderung dinormalisasi dengan dalih kaderisasi senior terhadap junior ataupun penegakan kedisiplinan di lingkungan Pesantren.

Keempat, kalaupun ada kasus kekerasan serius yang terjadi di Pesantren, pihak pengelola maupun pengasuh Pesantren lebih berupaya untuk menutup-nutupi kasus tersebut, dengan alasan "menjaga marwah dan nama baik Pesantren".

Dan yang terakhir, walaupun ada santriwan/santriwati yang menjadi korban kekerasan, mereka para korban tersebut cenderung tidak menceritakannya kepada orang tua atau pengajar pesantren karena berbagai alasan. Misalnya karena merasa malu dan takut dianggap "lemah" atau "cupu", khawatir semakin ditindas oleh pelaku, serta khawatir permasalahannya akan berbuntut panjang dan menjadi lebih rumit.

Tak jarang santriwan/santriwati korban kekerasan pun akhirnya lebih memilih keluar atau tidak melanjutkan studinya di Pesantren dengan alasan "tidak betah tinggal di Pesantren" atau "merasa tidak kuat bila tinggal jauh dari orang tua".

Kehidupan santriwan/santriwati di Pesantren memang terus berjalan setiap waktu, 1x24 jam dalam sehari. Kebanyakan dari Pesantren-pesantren telah membuat sistem grup atau kelompok mentoring santriwan/santriwati yang diampu oleh seorang pengajar atau Wali untuk membimbing santriwan/santriwati.

Namun yang jelas mentor ataupun Wali santriwan/santriwati tidak selalu hadir intens sepenuh waktu mengawasi kehidupan santriwan/santriwati di masing-masing kamar asramanya. Artinya, pengawasan kehidupan santriwan/santriwati di Pesantren tak sepenuhnya dapat bekerja secara maksimal dengan cara ini, apalagi mengawasi dan mencegah potensi terjadinya kekerasan di kalangan santriwan/santriwati.

Perlunya Kebijakan Hukum Komprehensif

Sejauh ini, belum ada perangkat hukum yang holistik untuk mencegah dan menghapus praktik kekerasan di lingkungan Pesantren. Kementerian Agama RI sebagai Badan Pemerintahan yang berwenang mengawasi satuan pendidikan pesantren, hingga saat ini belum menerbitkan dan mengesahkan Peraturan Menteri yang berkaitan dengan pencegahan dan penghapusan praktik kekerasan di lingkungan Pesantren.

Untuk itu, Kementerian Agama sudah seharusnya segera menerbitkan aturan  peraturan pencegahan dan penghapusan praktik kekerasan di lingkungan Pesantren. Dengan adanya Peraturan tersebut, maka Pesantren dapat menjadikannya sebagai rujukan, dan dapat mengimplementasi aturan tersebut di lingkungannya masing-masing.

Selain itu, Pesantren-pesantren di Indonesia perlu juga untuk meningkatkan kesadaran hukum mengenai pentingnya mengadopsi dan menerapkan Undang Undang Hak Asasi Manusia maupun Undang Undang Perlindungan Anak ke dalam peraturan internal ataupun SOP (Standar Operasi Prosedur) Pesantren. Dua Undang Undang tersebut adalah dasar hukum bagi upaya perlindungan hak anak, serta mencegah adanya praktik kekerasan terhadap Santriwan/Santriwati di Pesantren yang masuk kategori anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.

Kekosongan aturan hukum dapat berarti bahwa Negara telah gagal menjamin hak rasa aman bagi peserta didik yang tinggal di lingkungan Pesantren. Dan bagi Pesantren yang tidak memiliki perangkat SOP pencegahan kekerasan yang memadai, juga berpotensi terseret pertanggungjawaban hukum pidana perlindungan anak.

Pemerintah dapat meninjau ulang izin operasional Pesantren yang tidak membuat SOP pencegahan kekerasan, mengingat akan menjadi sangat berbahaya bila suatu Pesantren menjalankan aktivitasnya namun tidak memiliki perangkat pencegahan praktik kekerasan yang memadai.

Bagaimanapun juga, perangkat-perangkat hukum pencegahan kekerasan di Pesantren sangatlah diperlukan bagi keberlangsungan pendidikan pesantren hari ini.

Dengan begitu, Pesantren dapat secara konsisten menerapkan nilai-nilai ideal dalam ajaran Agamanya dan menjadi contoh bagi masyarakat sebagai pembawa pesan perdamaian dan anti kekerasan di masyarakat.rmol news logo article


*Penulis adalah Pengacara Publik YLBHI-LBH Jakarta, Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum konsentrasi Socio-Legal Studies Universitas Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA