Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tentang Parodi Polisi Fashion Week

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ilham-bintang-5'>ILHAM BINTANG</a>
OLEH: ILHAM BINTANG
  • Selasa, 06 September 2022, 10:27 WIB
Tentang Parodi <i>Polisi Fashion Week</i>
Wartawan senior, Ilham Bintang/Net
JUDUL itu bukan dari saya tapi mengutip konten media sosial yang memparodikan hedonisme di lingkungan Polri. Itulah salah satu ekor dari kasus "Polisi Tembak Polisi" yang terjadi 8 Juli lalu.

Hingga dua bulan sejak kasus yang menggegerkan publik itu terjadi, motifnya masih simpang siur. Polisi tampaknya mengalami kesulitan menemukan motif utama pembunuhan Brigadir Yosua, ajudan Irjen Pol Ferdy Sambo.
 
Di awal peristiwa isu pelecehan seksual sebagai motif memang menyeruak. Dalam perkembangan  kemudian, hasil pemeriksaan polisi mengesampingkan motif itu. Menkopolhukam Mahfud MD menyebut motif perbuatan asusila namun terlalu dewasa untuk disebar ke publik.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III, Kapolri Listyo Sigit Prabowo lebih memastikan lagi. Tidak ada pelecehan. Juga tidak ada tembak-tembakan antarajudan di TKP (Tempat Kejadian Perkara) seperti dalam skenario publikasi.
 
Padahal, Pelaku utama serta para pendukung dan pelaku "obstruction of justice" telah ditindak. Ditahan dan dipecat dari jabatan fungsional di institusi pengayom masyarakat itu. Namun, belakangan, kasus berkembang semakin tidak karu-karuan.
 
Pelecehan dan pemerkosaan atas Putri Candrawathi sebagai motif pembunuhan muncul lagi. Ditimbulkan oleh Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Entah seperti apa metodologi pemeriksaan dua lembaga itu yang menganulir hasil pemeriksaan penyidik resmi polisi.
 
Padahal, publik mengikuti kerja Komnas HAM dan Komnas Perempuan pada sebulan pertama kejadian. Justru yang kita tahu mereka kesulitan mengakses tersangka para pelaku utama.

Setelah polisi hampir rampung mem berkas hasil penyidikan untuk diajukan ke pengadilan, tiba-tiba dua lembaga swadaya masyarakat itu menyalip di tikungan dengan kesimpulan sumir.
 
Disebut sumir, karena temuannya tetap saja minta didalami oleh polisi. Tidak heran jika banyak yang meragukan kerja Komnas HAM dan Komnas Perempuan tersebut. Ada netizen yang menyebut di balik itu seperti ada agenda tersembunyi untuk meringankan ancaman hukuman mati bagi para pelaku. Terutama suami-istri Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
 
Ada juga sinyalemen "temuan" Komnas HAM, menyimpan  agenda untuk mengalihkan perhatian publik dari kegaduhan kenaikan BBM yang kini memantik aksi unjuk rasa mahasiswa dan buruh di mana- mana.

Masyarakat luas memang menganggap tidak cukup alasan bagi pemerintah menaikkan harga BBM. Para pakar ekonomi dan perminyakan terheran-heran karena kenaikan terjadi saat harga minyak mentah dunia justru mengalami penurunan. Di saat pemerintah mengklaim APBN tahun ini mengalami surplus.
 
Aktivis seperti Rocky Gerung bahkan menganggap pemerintah tidak mengerti arti subsidi. Pendapat Rocky merujuk pada klaim  pemerintah untuk mengalihkan subsidi BBM untuk masyarakat tak mampu yang terdampak kenaikan BBM.

"Tidak ada istilah menyubsidi orang miskin. Konstitusi itu mengamanatkan negara wajib memelihara orang miskin," kata Rocky.
 
Tidak hanya soal "Polisi Tembak Polisi" dan kenaikan BBM yang bikin gaduh ruang publik. Urusan politik juga menimbulkan kegaduhan tersendiri. Belum mati-mati juga wacana "Presiden RI 3 Periode".

Setelah reda awal tahun, tiba-tiba minggu lalu menyeruak kembali di tengah kesulitan multidimensi masyarakat. Dihidupkan kembali oleh relawan Jokowi dan oleh Presiden Jokowi sendiri. Membuat kita merasakan kehidupan berbangsa terpuruk.
 
Memang tidak ada hal yang membuat kita terhina, selain masalah pemimpin bangsa yang memaksakan keadaan ingin terus berkuasa. Bukan hanya melanggar konstitusi, tapi klaim pemimpin merasa berhasil itu yang bikin kita seperti dihinakan. Karena seakan kita tak punya nalar dan mati rasa.
 
Mabelloh

Tapi netizen pandai menghibur diri. Setelah pernah berbulan-bulan melambungkan "Citayam Fashion Week", minggu lalu di tengah carut marut situasi bangsa, penggiat media sosial itu mulai mengintrodusir Polisi Fashion Week (PFW).
 
Jangan main-main dengan kekuatan netizen. Publik yang terhubung internet, sesuai yang pernah saya ungkap, jumlahnya sebanyak 210 juta orang, sekitar 80% populasi Indonesia. Jauh di atas jumlah pemilih Pemilu 2019 dan 2024 nanti. Sebanyak itu lah Netizen mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang.
 
Komitmennya kuat menegakkan keadilan bagi masyarakat. Itu yang bikin repot pemerintah. Tidak bisa dilarang. Tidak bisa dibubarkan seperti selama ini polisi mudah menjegal aksi unjuk rasa konvensional.

Gemuruh suara netizen mengawal kasus "Polisi Tembak Polisi" siang malam, 24 jam. Itu faktor utama yang mendorong polisi bekerja keras hingga berhasil mengungkap kasus "Polisi Tembak Polisi".
 
Parodi Hedonisme

PFW ini parodi tentang hedonisme di lingkungan Polri. Bintangnya Putri Candrawathi dan Brigjen Andi Rian Djayadi. Kebalikan dengan dua tokoh Citayam Bonge dan Jeje Slebew yang mengundang simpati dan senyum, tokoh Putri dan Andi Rian menjadi bulan-bulanan cibiran netizen.
 
Dua tokoh sentral kasus berbeda peran itu dianggap tega mempertontonkan kehidupan mewah mereka di depan publik. Putri Candrawathi adalah istri Ferdy Sambo yang bersama suaminya telah menjadi tersangka pembunuhan berencana atas Brigadir Yosua Hutabarat.

Meskipun ancamannya hukuman mati, namun Sang Istri belum ditahan karena alasan kesehatan dan memiliki seorang bayi berusia 1,5 tahun. Kondisi itu menjadi tema pokok Komnas Perempuan dan Ketua KPAI Kak Seto memperjuangkan hak istimewa bagi Putri Candrawathi.
 
Adapun Brigjen Andi Rian Djajadi adalah Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, termasuk anggota Tim Khusus bentukan Polri. Outfit pria asal Bugis itu menjadi sorotan netizen setiap kali tampil berbicara di depan publik. Mulai dari kemeja bermerk Burberry, kemudian jam tangan produk dari Panerai, hingga cincin batu safir yang ditaksir memiliki nilai lebih dari 1,2 miliar rupiah.
 
Serupa dengan outfit Putri Candrawathi yang dikenakan saat rekonstruksi di TKP. Tas mewah yang dipakainya hari itu Gucci buatan Italia yang harganya Rp 30 jutaan.

Sepintas, kamera televisi sempat juga menangkap "Walk-In Closet" di rumahnya yang luas, berbentuk huruf U, tempat menyimpan koleksi tasnya.
 
Satu tas warna orange, merk Bottega Veneta, ukuran kecil sempat di-close up. Harga tas itu sekitar Rp 50 juta. Di berbagai konten TikTok koleksi barang bermerek tersebut didampingkan dengan angka-angka perkiraan pendapatan resmi mereka yang berbanding terbalik dengan harga barang-barang bermerek itu.
 
Di masa bersekolah, Putri dan Andi kebetulan sama-sama tinggal di Makassar. Gaya parlente Andi dikenal di Makassar dengan istilah "Mabelloh" (flamboyan, arti kata bahasa Bugis). Sejak dulu Makassar mengenal fenomena pria parlente. Bahkan pakaian dalamnya pun harus selalu bermerk dan harus baru.
 
"Laki-laki harus selalu membayangkan kena musibah atau kecelakaan di jalan. Nah! Pas di rumah sakit, misalnya dalam keadaan pingsan, dokter atau perawat yang membuka pakain kita tidak sampai menutup hidung," kata pelaku.
 
Kisah dari true story pernah saya angkat dalam sebuah cerpen. Dulu. Empat puluh tahun lalu.
 
Bukan hanya lifestyle Andi dan Putri yang netizen soroti. Juga perwira tinggi polisi lainnya, yang rata-rata berpenampilan wah. Mulai dari jam tangan kelas Patek Philippe hingga mobil Lexus LX 570 seharga Rp 3,3 M. Dari mana duitnya? Tanya seorang netizen geram.  
 
Sejumlah Anggota Komisi III DPR RI juga menyoroti gaya hidup mewah personel Polri saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo  Senayan, Rabu, (24/8) lalu.
 
Anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra Habiburokhman meminta Kapolri memberi perhatian terhadap fenomena itu. Habiburokhman lah yang mendorong masyarakat berperan aktif untuk melaporkan ke pihak berwajib, jika menemukan personel Polri bergaya hidup mewah. Aturan mencegah itu sudah ada, katanya.
 
"Tinggal ditegakkan, kalau ada yang melanggar diproses saja. Ada aduan dari masyarakat, misalnya kapolres di meja ada berkotak-kotak cerutu gaya hidupnya kayak tas Hermes, herpes, apa kayak begitulah," kata Habiburokhman.
 
Sebenarnya bukan hanya polisi, ada banyak golongan pejabat publik yang terpapar gaya hidup hedonis di Tanah Air. Tahun lalu, giliran anggota DPRD Tangerang yang bikin geger lantaran menggunakan baju seragam berbahan Louis Vuitton (LV) meski setelah ditelusuri bahan LV yang dipakai, kelas KW 3.
 
Merujuk literatur, hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup manusia. Hedonisme muncul pada awal sejarah filsafat sekitar tahun 433 SM yang menjawab apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia. Diawali pertanyaan Socrates tentang apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir manusia.
 
Kodrat Alamiah
 
Aristippos Kyrene (433-355 SM) menjawab bahwa yang menjadi hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Aristippos memaparkan bahwa manusia sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan dan bila tidak mencapainya, manusia itu akan mencari sesuatu yang lain lagi. Pandangan tentang 'kesenangan' (hedonisme) ini kemudian dilanjutkan seorang filsuf Yunani lain bernama Epikuros (341-270 SM).
 
Menurut dia, tindakan manusia yang mencari kesenangan adalah kodrat alamiah. Meskipun demikian, hedonisme Epikurean lebih luas karena tidak hanya mencakup kesenangan badani saja—seperti Kaum Aristippos— melainkan kesenangan rohani juga, seperti terbebasnya jiwa dari keresahan.
 
Kapitalisme kemudian mengakomodasi itu. Memproduksi simbol- simbol sosial tingkat pencapaian hidup sesuai persepsi  para hedonis. Rumah mewah, supercar, private jet, yacht, nomor mobil khusus satu angka ditambah tiga huruf yang bebas di jalan yang beraturan genap ganjil. Serta berbagai jenis benda yang menopang gaya hidup konsumtif lainnya.
 
Itulah demokrasi! Teringat ungkapan Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan dan urusan. Dari urusan  pencalonan anak dan menantunya sebagai walikota, hingga urusan relawan berwacana Presiden 3 Periode yang direstuinya. Selalu menyebut kata demokrasi sebagai jimat atau kata kunci.

Tidak ada yang menyangkal hak demokrasi seluruh warga negara Indonesia. Namun, merupakan persoalan besar dan rumit ketika ungkapan itu digunakan pejabat publik melindungi dirinya.

Lalu menghadap-hadapkan ungkapan itu kepada rakyat yang membiayai gaji dan tunjangan-tunjangan mereka sampai ke anak dan istri. rmol news logo article
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA