Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Meneguhkan Fikih Ramah Difabel

OLEH: M.NOOR HARISUDIN*

Kamis, 11 Agustus 2022, 00:16 WIB
Meneguhkan Fikih Ramah Difabel
Gurubesar UIN KH Achmad Shiddiq Jember, Prof. M. Noor Harisudin/RMOL
SEJATINYA, Fikih atau hukum Islam memiliki keberpihakan terhadap difabel. Terma Difabel sendiri lebih familiar digunakan daripada terma orang yang berkebutuhan khusus (individual with special needs). Sayang, keberpihakan ini tidak banyak didiseminasikan dengan baik pada masyarakat Indonesia sehingga praktik beragama Islam masih belum sepenuhnya ramah terhadap difabel.

Sarana prasarana publik juga belum mendukung dan apalagi klik dengan para penyandang disabilitas (nama lain difabel) di negeri ini. Tak heran jika difabel masih dianggap sebagai ‘masyarakat yang berbeda’ dari lazimnya masyarakat Indonesia.    

Padahal, fikih punya keberpihakan terhadap difabel. Dalam buku Huquq Dzawil Ihtiyajat al-Khassah fis Syariaha al-Islamiyah (2010 M), Muhammad bin Mahmud Hawa menjelaskan panjang lebar keberpihakan Fiqh yang ramah difabel.

Muhammad bin Mahmud Hawa misalnya menyebut difabel dengan ‘dzawil ihtiyajat al-khassah’. Yaitu orang-orang yang berkebutuhan khusus. Dalam istilah Arab, kata ini juga merujuk pada beberapa terma yang digunakan seperti kata al-Mu’awwaqun, al-Ajazah, al-Mushabun, al-Mahdudun, dan Ghairul Adiyin. (Muhammad: 2010, 20)

Dalam pandangan Muhammad bin Mahmud Hawa, bahwa difabel adalah  manusia yang dijumpai memiliki satu atau beberapa kekurangan baik berupa fisik badan maupun akalnya dari pada umumnya manusia.

Definisi yang lain menyebut difabel sebagai seorang yang memliki cacat sejak lahir atau baru baik berupa fisik, akal, dan saraf yang menjadikannya tidak dapat melaksanakan kewajiban yang khusus dan menyebabkan implikasi terhadap hukum syar’i yang berlaku khusus.

Dua definisi di atas, hemat saya, telah menggambarkan siapa yang termasuk Difabel atau penyandang Disabilitas. Definisi ini juga tidak jauh berbeda dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam ketentuan umum Undang-undang ini, disebutkan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Difabel sesungguhnya termasuk dalam kategori  apa yang disebut al-Qur’an sebagai orang-orang yang lemah (ad-dluafa). Dalam hal ini, Allah Swt berfirman: “Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka Berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, (QS. At-Taubah: 91).

Senada dengan ini, Allah Swt. juga menyebut kalangan Difabel ini dengan sebuatn Ulud Dlarar:”. Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'dlarar dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar”, (QS. An-Nisa: 95).

Ketika bertemu dengan ahlul bala’ (nama lain difabel),  Rasulullah Saw. menganjurkan pada kita untuk mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat sehat dari segala musibah dan memberikan anugerah atas kebanyakan manusia lain yang diciptakan”. Dalam fikih, kita juga dianjurkan melakukan sujud syukur ketika bertemu dengan ahlul bala, bukan untuk merendahkan dan menghinanya, melainkan mensyukuri atas nikmat kesempurnaan fisik yang diberikan Tuhan pada kita.

Berbagai istilah digunakan al-Qur’an dan al-Hadits. Meski tidak ada terma khusus Difabel, namun semua ayat al-Qur;an dan hadits ini menunjuk pada objek yang sama tentang Difabel. Sifat yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits ini semua juga melekat dalam terma difabel.

Secara umum, difabel dibedakan menjadi dua, yaitu Pertama, orang-orang yang berkebutuhan khusus berkaitan dengan fisik seperti tuna netra, tuna rungu, tuna wicara dan sebagainya.

Kedua, orang-orang yang berkebutuhan khusus berkaitan dengan akalnya seperti lambat belajar, gila dan sebagainya. Pada dua domain yang beda, para ulama fiqh memberikan perhatian dan hukum yang khusus berlaku untuk mereka.

Hukum yang berlaku bagi masyarakat difabel adalah hukum rukhsah atau dispensasi. Meski aneka dispensasi ini berbeda, tentu juga sesuai dengan kebutuhan tersebut. Misalnya gugurnya kewajiban bagi orang yang gila karena hilangnya akal.

Dalam konteks kesengajaan orang gila dalam melakukan pembunuhan, maka karena dispenasi ini, perbuatannya dianggap kekhilafan (khata’). Sengajanya orang gila adalah tidak sengaja.    

Sementara tuna netra  yang tidak  bisa melihat arah kiblat diberikan keringanan untuk sholat kearah mana saja dan tidak perlu mengulang sholatnya kembali. Orang yang tuna netra juga gugur kewajiban hajinya jika tidak memperoleh orang yang membantu penuntun yang diberi ujrah atau upah yang ia mampui (Muhammad: 2020, 119 dan 120).

Demikian juga, orang yang cacat lumpuh, baik sejak lahir atau karena kecelakaan. Orang ini diberi keringanan karena tidak dapat berdiri dalam sholat, yaitu sholat dalam keadaan duduk. Jika masih tidak mampu, ia boleh sholat dalam keadaan tidur miring. Jika masih tidak mampu, ia boleh sholat dengan hanya memberi isyarah saja.

Tidak hanya itu. Bagi yang berkebutuhan khusus berupa tuna wicara (tidak bisa berbicara), semua akad yang dia lakukan tetap dianggap sah menurut hukum Islam, meski dilakukan melalui tulisan atau isyarah yang dapat dipahami orang lain. Tentu masih banyak lagi keringanan yang diberikan untuk saudara kita yang difabel.

Adalah tugas pemerintah khususnya dan kita semua pada umumnya untuk mendorong agar fasilitas publik negeri ini didasarkan pada fikih yang ramah difabel di atas.

Fikih Ramah Difabel dikuatkan pondasinya dengan nusush as-syariah (nas-nas syariah) dan maqashid syariah (tujuan syariah) yang menjadikan Undang Undang 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas menjadi kuat dan kokoh untuk diterapkan secepatnya di negeri ini. Semoga. Wallahu’alam.rmol news logo article

*Penulis adalah Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember dan Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA