Itulah ending drama 'baku-tembak polisi',
berdurasi sebulan, sejak Jumat, 8 Juli 2022 sampai Bharada E (Richard
Eliezer Pudihang Lumiu) minta perlingkan LPSK, Senin, 8 Agustus 2022.
Ternyata,
pengumuman awal Polri: 'baku-tembak', diduga tidak benar. Jika
pengakuan Bharada E itu kelak terbukti benar, maka yang terjadi adalah
pembantaian terhadap Brigadir Nofriansah Yosua Hutabarat. Atas perintah
siapa? Motifnya apa?
Timsus bentukan Kapolri Jenderal Listyo
Sigit Prabowo melakukan gelar perkara kasus ini, Selasa (9/8) hari ini.
Kadiv Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo kepada pers, Selasa (9/8)
mengatakan:
"
Insyaallah hasilnya diumumkan sore nanti oleh Bapak Kapolri."
Sementara,
Bharada E minta perlindungan LPSK, pastinya ia merasa terancam. Kapolri
Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah menyatakan, ada 25 polisi
diperiksa, karena menutupi kasus ini.
Tim kuasa hukum Bharada E,
Burhanuddin dan Deolipa Yumara tiba di Kantor LPSK, Jakarta Timur,
Senin, 8 Agustus 2022, pukul 13.10 WIB.
Deolipa kepada pers,
mengatakan: "Kami datang ke LPSK dengan, bahwasanya kami akan mengajukan
permohonan perlindungan hukum Bharada E."
Dilanjut: "Untuk
membuka dan membuat terang, siapa pelaku utama. Bharada E dengan hati
yang matang, mengungkapkan kesiapan sebagai
justice
collaborator (JC). Atas persetujuan Bharada E kami mengajukan
permohonan perlindungan saksi."
Setelah bicara itu mereka masuk kantor LPSK.
Permohonan
itu, dipastikan diterima LPSK. Bahkan, sehari sebelumnya, Juru Bicara
LPSK, Rully Novian mengatakan ke pers, pihak LPSK berencana akan
mendatangi ruang tahanan Bharada E di Bareskrim Polri.
Rully:
"Kita berencana ketemu penyidik dulu. Lalu, kita akan minta juga ketemu
Bharada E di saat bersamaan, setelah kita bertemu dengan penyidik. Untuk
menawari Bharada E jadi JC."
Ternyata, tim pengacara Bharada E yang mendatangi Kantor LPSK.
Sikap LPSK yang berniat mendatangi Bharada E, selaras dengan permintaan Presiden Jokowi.
Bahwa
sudah tiga kali Presiden Jokowi berkata ke publik, agar kasus ini
diungkap terang-benderang. Jangan ditutupi. Karena ini menyangkut
kepercayaan publik terhadap Polri, juga terhadap pemerintah. Dan, belum
pernah terjadi, Presiden RI bicara tiga kali untuk kasus yang sama.
Begitu
alot dan lama, proses pengungkapan kasus ini. Membuat nurani masyarakat
berpihak ke posisi Brigadir Yosua. Meski belum diketahui pasti, apa
kesalahan Yosua.
Kalau masyarakat berpihak ke Yosua (ini uniknya)
masyarakat akhirnya berpihak ke Bharada E. Yang sudah mengawali
pengungkapan kasus ini. Walaupun ia sekaligus juga mengawali penembakan
terhadap Yosua (seperti pengakuannya).
Kasus ini perkara hukum
yang unik. Belum pernah terjadi sebelumnya. Memang, setiap perkara hukum
punya keunikan. Tapi keunikan-keunikan yang nyaris seragam. Sedangkan
kasus ini beda dari yang ada.
Justice Collaborator (JC) adalah
saksi, yang bisa juga pelaku kejahatan. Jika pelaku kejahatan bertindak
jadi JC, syaratnya adalah, mengakui kesalahannya. Dengan begitu, berarti
ada pelaku lain yang sulit diungkap, tanpa kesaksian BC.
Tersangka,
atau setelah diadili jadi terdakwa, jika menjadi BC, maka mendapatkan
hadiah pengurangan masa hukuman. Sebagai imbalan buat kesaksiannya.
JC
didukung Peraturan Bersama yang ditandatangani Menkumham, Jaksa Agung,
Kapolri, KPK dan Ketua LPSK tentang perlindungan terhadap tiga pihak:
Pelapor kejahatan,
whistle blower, dan
justice collaborator.
Peraturan itu diadopsi
dari 37 UNCAC 2003, yaitu Pasal 26 United Nations Convention Against
Transnasional Organized Crime 2000. Itu diratifikasi dengan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 2009.
Kriteria untuk menjadi JC
tercantum dalam SEMA No. 4 tahun 2011 pada Angka (9a) dan (b) dan
keterangan dari Kementerian Hukum dan HAM, yaitu digunakan dalam
mengungkap tindak pidana yang luar biasa atau terorganisir.
Kasus
ini, meski jadi drama heboh di masyarakat, belum tentu digolongkan
'luar biasa'. Juga, walaupun di kasus ini ada 25 polisi dinyatakan
menghambat penyidikan, belum tentu masuk katagori 'teroganisir'.
Penentunya adalah Menkum HAM, Jaksa Agung, Kapolri, dan LPSK.
Tapi dengan sikap LPSK berniat mendatangi Bharada E di tahanan Bareskrim, berarti menganggap kasus ini luar biasa.
JC
awalnya (1950-an) digunakan untuk mengungkap korupsi mafia di Amerika.
Kemudian berkembang, diterapkan di berbagai jenis kejahatan. Ditiru
seluruh dunia.
Peneliti mafia, Mary Jane Schneider, dalam
karyanya "
Fifty Years of Mafia Corruption and Anti-mafia
Reform", menyebutkan, mafia adalah organisasi bawah tanah yang
muncul di Amerika di awal abad ke-19. Para pelakunya orang Italia.
Istilah
yang digunakan mafioso (anggota mafia) yang terkenal waktu itu
(1950-an) adalah '
intreccio'. Artinya, lilitan rambut
yang dikepang. Saling belit-membelit.
Intreccio,
moto mafia. Para mafioso berhubungan erat dengan pejabat pemerintah
yang korup. Saling belit-membelit. Membentuk kepangan.
Alhasil,
tidak ada saksi untuk kejahatan mafia. Penjahat
ber-
intreccio dengan pejabat yang korup. Siapa berani
bersaksi, pasti dibunuh.
Akibatnya, pemerintah Amerika kesulitan membongkar kejahatan mafia. Kewalahan parah. Bahkan kemudian pasrah.
Di
puncak kesulitan itulah muncul ide JC. Para mafioso yang belum
ditangkap polisi, tidak mungkin mau bersaksi. Risikonya nyawa.
Tapi,
setelah ada mafioso yang ditangkap, untuk kesalahan sepele, ia diberi
opsi jadi JC. Kalau tidak mau, hukumannya sengaja diperberat. Kalau mau,
hukumannya diringankan dan nyawanya dilindungi pemerintah.
Mafia kemudian ditumpas di sana.
JC akhirnya masuk United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime 2000.
Kasus
Yosua, di kalangan purnawirawan perwira tinggi Polri, sudah dikalkulasi
sejak awal, setelah kejadian 8 Juli 2022. Sebab, purnawirawan punya
koneksi ke polisi aktif, sehingga mereka tahu permasalahan sebenarnya.
Sejak
awal, purnawirawan berkomentar ke pers, mempertanyakan sosok Bharada E.
Yang awalnya tidak pernah muncul ke publik. Purnawirawan berkata:
"Apakah Bharada E benar-benar ada?"
Akhirnya Bharada E mendatangi
Kantor Komnas HAM. Dikawal ketat. Sampai diledek purnawirawan: "Bharada
dikawal lebih ketat daripada jenderal". Tidak mungkin Bharada E
diwawancarai wartawan.
Ternyata benar. Di situlah kunci perkara ini.
Purnawirawan juga berpesan, begini: "Jangan sampai Bharada E salah makan, atau bunuh diri di dalam sel tahanan."
Penulis adalah Wartawan Senior
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: