Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kegamangan Masyarakat atas UU Pokok Agraria

OLEH: BAKHRUL AMAL*

Selasa, 02 Agustus 2022, 22:34 WIB
Kegamangan Masyarakat atas UU Pokok Agraria
Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta, Bakhrul Amal/RMOL
PERMASALAHAN mengenai pertanahan di Indonesia seolah tiada habisnya. Dari hari ke hari selalu saja muncul hal ihwal terkait kekeliruan yang dilakukan baik oleh penegak hukum, praktisi, dan masyarakat dalam memahami persoalan pertanahan. Jika tak terlalu hiperbola maka dapatlah dikatakan bahwa untuk saat ini semua sistem hukum yang disebutkan oleh Friedman, dari mulai substansi, struktur hingga kultur, di bidang pertanahan sedang keropos.

Baru-baru ini permasalahan yang timbul di bidang pertanahan adalah terkait kegamangan sebagian masyarakat dalam memahami semangat lahirnya Undang Undang Pokok Agraria (UUPA).

Kegamangan itu bahkan terkadang dipertontonkan dengan terang benderang, terkesan gagah-gagahan. Pemilik SHM, laksana hidup di negara liberal, membangun tembok menutupi jalan umum yang dipergunakan untuk lalu lalang aktivitas warga.

Kejadian di Kelurahan Pisangan Timur, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur, bukanlah yang pertama. Fakta masih adanya pemahaman demikian menunjukan usia 61 tahun UUPA ternyata barulah sebatas angka. Usia itu belum sampai pada tahap pengkhayatan.

Fungsi Sosial

Semangat UU pertanahan kita, untuk pengingat, bukanlah semangat liberal. Semangat dimana hak atas tanah itu mutlak tanpa bisa dipengaruhi oleh keadaan apapun. Sederhananya semua yang tertulis dalam Data Fisik dan Data Yuridis sertifikat tanah adalah final. Final dalam artian dapat sesuka hatinya, semau gue. Bukan begitu.

Semangat pertanahan kita juga tak menganut konsep kepemilikan bersama. Kepemilikan yang kemudian, mengikuti gaya sosialis, negara menjadi tuan tanahnya. Negaralah yang mengelola tanah dengan secara tidak langsung maka tidak dikenal kepemilikan individu. Atau Warga Negara itu laksana mengontrak.

Semangat hukum pertanahan kita, dengan menggunakan konsep hierarkis peraturan perundang-undangan, selaras dengan Konstitusi dan Pancasila. UU Pertanahan kita itu bernuansa prismatik. Artinya UU Pertanahan kita mengakui kepemilikan individu tur menghargai kepentingan bersama.

Hal itu tercermin dalam Pasal 6 UUPA. Pasal 6 UUPA menyebutkan bahwa semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Fungsi sosial adalah fungsi yang jikalau ternyata ada yang kepentingan sosial yang patut diutamakan maka harus, dalam batas wajar, mengutamakan kepentingan tersebut ketimbang kepentingan individu.

Contoh Fungsi Sosial

Contoh  pertama dari fungsi sosial adalah terkait  misbruik van recht atau penyalahgunaan keadaan. Keadaan penyalahgunaan keadaan ini pernah masyhur di jaman Belanda. Kala itu, tepatnya 2 Mei 1885, terdapat gugatan tentang "cerobong asap palsu".

Cerobong itu oleh penggugat dianggap mengganggu pandangan pemilik rumah di belakang rumah bercerobong. Pengadilan Colmar lantas memenangkan penggugat dan meminta pemilik cerobong asap untuk meruntuhkan cerobong tersebut.

Ada dua kategori penyalahgunaan keadaan itu dinilai melanggar kepatutan, yakni (1) apabila perbuatan tersebut sangat merugikan orang lain tanpa adanya suatu kepentingan yang layak, dan (2) perbuatan tersebut diketahui tidak berguna atau menimbulkan bahaya bagi orang lain.

Contoh selanjutnya dari fungsi sosial, atau kedua, terdapat dalam BUKU II Bagian VI KUHPerdata mengenai pengabdian pekarangan (servituut). Pasal 674  KUHPerdata menjelaskan bahwa pengabdian pekarangan adalah suatu beban yang diletakkan atas sebidang pekarangan seseorang untuk digunakan dan demi manfaat pekarangan milik orang lain.

Keadaan dalam contoh yang kedua adalah semisal kita membutuhkan bawah tanah milik orang lain untuk memasukkan pipa saluran air umum. Pipa saluran air itu tentu melewati pekarangan orang lain, yang sudah pasti tidak hanya satu tetapi banyak pekarangan, dengan tujuan agar nantinya air dapat dialirkan menuju kali/sungai. Dalam keadaan yang wajar itu maka pemilik tanah itu wajib untuk mengabdikan pekarangannya.

Terkait Jalan Warga

Dengan penjelasan tersebut artinya kewajiban pemegang SHM untuk memberikan akses jalan umum bagi kepentingan sosial adalah wajib. Dan itu sesuai dengan MvT (Memorie van Toelichting) mengenai "fungsi sosial" dalam UUPA yang menyebutkan bahwa tanah perseorangan, dalam penjelasannya, tidak boleh dipergunakan dengan kemungkinan menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara.

Apabila terdapat pelanggaran yang diketahui semena-mena, tidak sesuai dengan peta desa atau RTRW maka pelanggaran itu dapat dikatakan Perbuatan Melawan Hukum. Dimana nantinya pengadilanlah melalui putusannya yang akan memerintahkan Pemegang SHM itu agar memperhatikan fungsi sosial tanah.

Penutup
 
Kementrian ATR/BPN sudah waktunya untuk menggencarkan kembali hal-hal mendasar dalam UUPA ini. Tujuannya adalah agar tidak muncul kekeliruan dalam semua sistem hukum ketika memahami persoalan pertanahan. Persoalan yang justru mengubur rasa percaya masyarakat terhadap hukum.

Padahal sejatinya hukum itu, bagi Charles Rich, diperlukan untuk melihat masalah dengan jelas (to see issues clearly), untuk memberikan bimbingan (to guide them), dan untuk memperkuat niat baik dari kesejahteraan sosial (to strengthen theirgood intentions).rmol news logo article
*Penulis adalah Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA