Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Analisis Politik Hukum Penyelenggaraan Pemilu 2019 di Indonesia dan Urgensi Penerapan E-Voting

OLEH: PRIHATIN KUSDINI*

Kamis, 28 Juli 2022, 22:16 WIB
Analisis Politik Hukum Penyelenggaraan Pemilu 2019 di Indonesia dan Urgensi Penerapan E-Voting
Ilustrasi Pemilihan Umum 2024/RMOL
Pendahuluan

PESTA demokrasi Pancasila pasca pemilihan presiden dan pemilihan legislatif yang sudah berlangsung meninggalkan banyak problema karena pemilihannya dilakukan secara serentak, hingga membebani penyelenggara, peserta, dan pemilih.

Terkait dengan tata kelola pendistribusian logistik yang terjadi pada Pemilu 2019 ketiadaan kertas bagi pemilih yang berpindah, kekisruhan yang terjadi karena DPT (daftar pemilih tetap) dan penggunaan kartu tanda penduduk yang informasinya yang tidak utuh.

Selanjutnya saat penghitungan suara yang salah input hingga Bawaslu menyurati KPU untuk melibatkan verifikator sebelum data benar-benar diinput.

Apakah alternatif lain yang sempat diwacanakan untuk E-voting dalam pelaksanaan Pemilu masih perlu pemikiran dan pengkajian yang lebih mendalam, mengingat Indonesia negara yang begitu luas dan sebagian besar penduduk berada di pedesaan perlu kajian lebih mendasar karena dalam pelaksanaan menggunakan aplikasi internet.

Menurut Jhon Austin “perintah yang dibuat oleh pribadi-pribadi tertentu  atau badan badan tertentu, ada yang disebut dengan hukum, yang dipersenjatai dengan sanksi sanksi, dengan membebankan tugas tugas tertentu, sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dengan demikian, maka terhadap perintah oleh seorang pemangku otoritas, selama perintah tersebut syah secara hukum dan dilakukan sesuai dengan dan tidak melampaui kewenangannya yang diberikan hukum, sehingga karenanya disebut sebagai perintah hukum”.

Pelaksanaan Pemilu yang luber dan jurdil adalah amanah konstitusi UUD 1945 Pemilu merupakan sarana penunjang dalam mewujudkan sistem ketatanegaraan secara demokratis.

Pemilu pada hakikatnya merupakan proses ketika rakyat sebagai pemegang kedaulatan memberikan mandat kepada para calon pemimpin untuk menjadi pemimpinnya. Dalam negara demokrasi, Pemilu adalah salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi.

John Locke menyatakan bahwa terbentuknya suatu negara didasarkan pada asas pactum unionis dan pactum subjectionis. Pactum unionis adalah perjanjian antara individu untuk membentuk negara, sedangkan pactun subjectionis adalah perjanjian antara individu dan negara yang dibentuk.

Perjanjian tersebut menentukan bahwa individu memberikan mandatnya pada negara atau pemerintah, mandat rakyat diberikan agar pemerintah mendapat kekuasaan dalam mengelola negara berdasarkan konstitusi yang ditetapkan dalam pactum subjectionis.

Pemilu adalah bagian sejarah panjang dari sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia dalam menyerahkan kedaulatannya untuk memilih pemimpin yang dikehendakinya, KPU dalam menjalankan tugas bersama Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu).

Landasan hukumnya adalah Undang-undang 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-undang 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dan Undang-undang 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah perlu disatukan dan disederhanakan menjadi satu undang-undang sebagai landasan hukum bagi pemilihan umum secara serentak yakni UU 07/2017 tentang Pemilu.

Pelaksanaan Demokrasi Pancasila Pasca Pemilu 2019

Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pelaksanaan Pemilu berdasarkan landasan fundamental kehidupan bernegara yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kerakyatan Yang dipimpin oleh Hikmat Kebijak sanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Dalam proses pemilihan KPU dan Bawaslu, peran serta rakyat terlibat melalui perwakilannya mulai dari organisasi massa, LSM, hingga DPR RI sebagai pintu akhir dari perjuangan KPU dan Bawaslu. Lalu dilantik dan disumpah berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing.

KPU sebagai penyelenggara dan Bawaslu sebagai pengawas dan sekaligus memutuskan sengketa dalam menjalankan tugasnya harus bersikap adil, menjunjung tinggi persatuan Indonesia.

Dalam melaksanakan tugasnya, KPU dan Bawaslu harus memiliki karakter kerakyatan, hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan dan bertindak adil dalam melaksanakan tugas.

Kedaulatan yang tertinggi berada di tangan rakyat, karena rakyat sebagai penentu pimpinannya. Pada kenyataan dalam pelaksanaan Pemilu tahun 2019, menyisakan banyak problematika yang diawali Daftar Pemilih Tetap (DPT) hingga Parpol peserta Pemilu harus melaporkan hasil temuan DPT bermasalah invalid, manipulatif, dan ganda di 5 provinsi di Jawa, antara lain:

Rekap invalid di Jawa totalnya 18.831.149, dengan rincian Jawa Timur 5.372.181, Jawa Tengah 3.831.465, Jawa Barat 7.186.845, Banten 1.419.512, DKI Jakarta 1.021.146.

Rekap data ganda 5 Provinsi di Jawa 6.169.895. Rinciannya Jawa Timur 2.271.844, Jawa tengah 1.904.310, Jawa Barat 1.863.304, Banten 388.330, DKI Jakarta 130.437.

Data tidak wajar berkode khusus ada 17.553.708. Rinciannya Misteri DPT bertanggal lahir 01/07 ada 9.817.003, misteri DPT bertanggal lahir 3/12 ada 5.377.401, dan misteri DPT bertanggal lahir 01/01 ada 2.359.304.

File data tidak wajar usia 90 tahun ke atas ada 304.782, dan file data tidak wajar usia di bawah 17 tahun ke bawah ada 2047.

Temuan DPT bermasalah di Jawa yakni manipulasi Kartu Keluarga (KK). Dalam satu KK biasanya pemilih berisi antara 2 sampai dengan 8 orang atau lebih.

Pada DPT 2 Desember ditemukan dalam 1 KK berisi 10,440 bahkan 1800 pemilih. Contoh temuan di Banyuwangi, satu KK berisi 440 pemilih No KK 3510110309080042 Kebon Rejo.

Keseluruhan data didapat dari lampiran berita acara yang ditujukan ke KPU RI hari Jumat (1/3/2019) yang dipaparkan kembali dalam acara advokasi pemenangan Pilpres oleh Deden F Radjab, SE, mantan KPUD.

Selanjutnya Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu tahun 2019 ditetapkan pada bulan September 2018 sebesar 185.732.093 dengan jumlah TPS 805,075 dan DPT perbaikan kedua ditetapkan tanggal 15 Desember 2018.

Pemilih dalam negeri terdata 190.770329 orang, terdiri dari pemilih laki-laki 95.368.749 orang dan pemilih perempuan 95.401.580 orang. Tersebar di 514 kabupaten/kota dan 201 kecamatan, 83.405 kelurahan/desa.

Jumlah TPS yang disediakan sejumlah 809.500 TPS, dibandingkan dengan DPT tahun 2014 185.826.024 orang. Berarti penambahan penduduk usia pemilih dalam lima tahun tidak sebanyak dibandingkan dengan statistik Pemilu sebelumnya tahun 1999 jumlah DPT 117.815.053 orang.

Pendistribusian Logistik Pemilu

Pendistribusi logistik Pemilu berbagai daerah di Indonesia melaporkan berbagai masalah, mulai dari kurangnya kertas suara dan logistik pendukung yang tidak lengkap.

Kemudian penyelenggara daerah secara serentak menyiapkan kebutuhan logistik dan berkordinasi dengan ekspedisi untuk mempercepat pengiriman.

Mapping daerah khusus yang jadi prioritas sebagai Ketua KPU Kalbar karena kondisi geografis melintasi sungai besar darah terpencil menjadi prioritas, dan Ketua KPU Kabupaten Jayapura kekurangan kertas suara dan kotak suara.

Dalam pelaksanan Pemilu, tidak semua masyarakat paham apa yang akan dilaksanakan sekalipun sudah terdaftar dalam DPT. Pemilu yang digelar serentak calon presiden dan wakil presiden yang harus dipilih, ada calon anggota legislatif DPR RI, DPRD tingkat I, DPRD tingkat II dan DPD RI yang harus dipilih. Ini merupakan kendala.

KPU harus mencermati secara detail setiap hal yang menjadi hambatan an berkordinasi dengan Bawaslu. Dalam pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara, Bawaslu adalah institusi yang mengawasi pelaksanaan pemungutan dan perhitungan suara. Sinergisitas kedua lembaga sangat penting.

Potensi Kecurangan dalam Pemilu 2019

Potensi kecurangan DPT yang tidak akurat dan akuntabel, form C6 milik orang lain yang digunakan, politik uang untuk memenangkan caleg dan parpol tertentu, pemalsuan dokumen KTP-EI atau suket, penyalahgunaan surat suara yang tidak terpakai, distribusi kotak suara yang isinya bisa ditukar di tengah jalan karena menggunakan kardus, penyelenggara yang tdak netral, TPS siluman, kekerasan dan intimidasi netralitas PNS dan Penyelenggra Pemilu.

Sejarah mengajarkan proses pemilihan tidak dilaksanakan secara jujur, adalah pelanggaran terhadap kehendak rakyat di mana kedaulatan itu di tangannya sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945. Dan sanksi pidana perhitungan suara UU 7/2017 tentang Pemilu.

Apakah E-voting sebagai Alternatif Antikecurangan

E-voting adalah alternatif Pemilu yang dipercaya, yang memudahkan akses pemilihan umum. Selain memudahkan akan memangkas biaya yang biasa digunakan untuk mencetak surat suara dan pendistribusiannya, E-voting ada tiga jenis, antara lain optical scanning, direct recording dan internet voting.

Yang paling sering digunakan adalah optical scanning dengan menggunakan balot (kertas suara) yang diberikan tanda oleh pemilihnya. Kertas tersebut dimasukkan ke dalam mesin scan untuk dihitung secara digital sehingga suara lebih cepat keluar.

Sistem kedua dan ketiga internet voting tidak lagi menggunakan kertas. Semua proses pemilihan dilakukan secara digital.

Berdasarkan pengalaman dari negara-negara yang menggunakan E-voting, Kanada pada Pemilu 2012 diserang hacker, namun tetap tidak mundur.

Terakhir pemilihan tahun 2017, Belanda sistem E-voting sempat diterapkan mulai tahun 1990. Pada tahun 2007 muncul sebuah kelompokaksi yang dikenal dengan “We do not trust voting computers". Mereka menolak E-voting yang menurutnya berisiko.

Kelompok tersebut membuktikan argumen dengan meretas sistem E-voting Belanda. Sejak saat itu, kembali pada sistem konvensional.

Negara Jerman melakukan percobaan tahun 2005. Pada tahun 2009 Pengadilan Tinggi di Jerman memutuskan bahwa E-voting tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Pengadilan Jerman mengataka “E-voting rentan terhadap manipulasi dan penipuan yang sulit dideteksi".

Pada tahun 2005, terbit sebuah petisi untuk menolak sistem tersebut yang ditandatangani 45.000 orang. Pelaksanaan E-voting Indonesia tidak mungkin bisa dilaksanakan mengingat luas wilayah yang harus menggunakan askses internet dan harus didukung skill dan fasilitas perangkat yang disiapkan, dan masalah cyber security.

Yang kita ketahui, E-voting diakses dengan IP (Internet Protocol) publik rawan diretas karena semua orang bisa mengakses. E-voting bertentangan dengan demokrasi Pancasila pada sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpim oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, yang memiliki tiga karakter nasional kerakyatan, hikmat kebijaksanaan, dan permusyawaratan.

Kesimpulan dan Saran

Pelaksanaan Pemilu di Indonesia berdasarkan demokrasi Pancasila yang belum dilaksanakan secara benar, karena banyak penyimpangan yang dilakukan. Mulai dari Daftar Pemili Tetap (DPT), sanksi atas pelanggaran berdasarkan UU 7/2017 tentang Pemilu.

E-voting tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara.

Pengujian teori kedaulatan rakyat oleh John Locke menyatakan bahwa terbentuknya suatu negara didasarkan pada asas pactum unionis dan pactum subjectionis.

Pactum unionis adalah perjanjian antara individu untuk membentuk negara. Sedangkan pactun subjectionis adalah perjanjian antara individu dan negara yang dibentuk.

Perjanjian tersebut menentukan bahwa individu memberikan mandatnya pada negara atau pemerintah. Mandat rakyat diberikan agar pemerintah mendapat kekuasaan dalam mengelola negara berdasarkan konstitusi yang ditetapkan dalam pactum subjectionis, sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945.

Namun dalam pelaksanaan masih banyak kendala, kedaulatan rakyat tidak sepenuhnya diberikan sesuai amanah konstitusi Indonesia sebagai negara demokrasi Pancasila.

Teori sebagai pisau analisis menurut Jhon Austin “perintah yang dibuat oleh pribadi-pribadi tertentu atau badan-badan tertentu, ada yang disebut dengan hukum, yang dipersenjatai dengan sanksi-sanksi, dengan membebankan tugas tugas tertentu, sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dengan demikian, maka terhadap perintah oleh seorang pemangku otoritas, selama perintah tersebut sah secara hukum dan dilakukan sesuai dengan dan tidak melampaui kewenangannya yang diberikan hukum, sehingga karenanya disebut sebagai perintah hukum”.

Pelaksanaan sanksi hukum bagi yang melanggar belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan UU 7/2017 tentang Pemilu. rmol news logo article

*Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta; Ketua Bidang Kajian Hukum dan Perundang-undangan Perkumpulan Penasihat dan Konsultan Hukum Indonesia (Perhakhi)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA