Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kemampuan Membayar Utang

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-ir-sugiyono-msi-5'>DR. IR. SUGIYONO, MSI</a>
OLEH: DR. IR. SUGIYONO, MSI
  • Minggu, 17 Juli 2022, 07:22 WIB
Kemampuan Membayar Utang
Aksi masa di Sri Lanka/Net
PERISTIWA gagal bayar utang pada pemerintahan Sri Lanka telah menimbulkan kekhawatiran tentang potensi kemampuan pemerintah Indonesia dalam membayar utang-utangnya.

Dana Moneter Internasional menghitung utang bruto pemerintah Sri Lanka sebesar 109 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2022.

Artinya, dari semua output sekalipun digunakan untuk membayar utang, maka total output Sri Lanka masih tidak mungkin mampu digunakan untuk membayar dengan lunas utang-utangnya.

Masih terdapat kekurangan sebesar 9 persen lagi dari PDB untuk membayar utang-utang, sekalipun pemerintah Sri Lanka telah menggunakan semua output yang diproduksi di negaranya untuk membayar kewajiban-kewajibannya.

Sungguh sulit dimengerti tentang bagaimana pengelolaan dari manajemen utang yang dilakukan oleh pemerintah Sri Lanka, sehingga terjerat pada persoalan utang yang bersifat kronis yang seperti itu, selain terbatas pada informasi tentang persoalan pembangunan infrastruktur yang dilakukan secara besar-besaran dan rumor tentang korupsi.

Utang bruto pemerintah Indonesia sebesar 42,7 persen dari PDB pada tahun 2022, dimana utang netto sebesar 39,7 persen dari PDB. Ditinjau dari sudut pandang angka, maka dibandingkan dengan persoalan utang Sri Lanka tentu sama sekali tidak sebanding dalam menilai seberapa gawat persoalan utang pemerintah Indonesia.

Tidak sama risiko dibandingkan pemerintah Sri Lanka untuk terjadi peristiwa potensi gagal bayar utang, sekalipun kritik keras dari para seniman pun datang antara lain berupa syair gali lubang untuk membayar utang. Berutang untuk mampu membayar utang. Juga fenomena keberlanjutan fiskal sudah sangat lama menjadi isu yang dipandang penting, sekalipun UU Keuangan Negara mendefinisikan ambang batas utang maksimum 60 persen dari PDB.

Akan tetapi belajar dari persoalan serangan pandemi Covid-19, dimana pemerintah sedemikian kuat mampu mengubah angka besar defisit APBN menggunakan argumentasi tentang pentingnya peran APBN dalam menanggulangi masalah pandemi Covid-19.

Atas dasar peristiwa tersebut, maka suatu hari nanti, apabila rasio utang terhadap PDB hendak melampaui ambang batas 60 persen dari PDB, masih mungkin dimunculkan argumentasi lainnya untuk menaikkan ambang batas, yang mungkin akan dikuatkan menggunakan UU yang baru.

Dengan posisi utang netto yang sebesar 39,7 persen terhadap PDB tersebut, perkiraan defisit APBN sebesar minus 3,3 persen dan defisit primer sebesar minus 0,8 persen.

Berdasarkan perilaku birokrasi yang cenderung memaksimumkan anggaran, maka penurunan defisit APBN dan defisit primer kemungkinan disebabkan karena telah disesuaikan dengan potensi dalam mendapatkan sumber-sumber pembiayaan APBN yang baru.

Dengan posisi penerimaan dan belanja APBN, serta keberadaan utang pemerintah di atas, maka percepatan pembangunan nasional maksimum dialokasikan sebesar 4 persen dari PDB tahun 2022 bersumber dari utang. rmol news logo article

Penulis adalah peneliti Indef dan pengajar Universitas Mercu Buana

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA