Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

MK Telah Menjadi Mahkamah Keluarga Oligarki, Bagaimana Meluruskannya?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/achmad-nur-hidayat-5'>ACHMAD NUR HIDAYAT</a>
OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT
  • Senin, 11 Juli 2022, 17:19 WIB
MK Telah Menjadi Mahkamah Keluarga Oligarki, Bagaimana Meluruskannya?
Pakar kebijakan publik, Achmad Nur Hidayat/Net
MK telah menolak gugatan yang diajukan Partai Gelora kemarin (7/7). Penolakan MK tersebut seputar keinginan Partai Gelora memisahkan antara Pemilu Legistlatif dan Pemilu Presiden yang dilakukan serentak di tahun yang sama namun dilakukan beda hari atau bulan.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Ternyata MK mementahkan segala argumentasi hukum dan memilih tetap pada pendiriannya bahwa kata "serentak" itu dilakukan pada waktu, hari, bulan, dan tahun yang sama.

"Belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda bagi Mahkamah untuk menggeser pendiriannya isu pokok yang berkaitan dengan frasa serentak, sehingga norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat 1 UU 7/2017 haruslah tetap dinyatakan konstitusional," ujar hakim konstitusi Saldi Isra.

Argumentasi Partai Gelora adalah pemilu serentak kemarin 2019 telah menelan korban jiwa hampir 1000 orang baik panitia KPPS di level TPS maupun para saksi dan pemantau pemilu.

Pemilihan serentak terlalu menghabiskan banyak energi, menimbulkan kelelahan akut bagi penyelenggara KPPS di level TPS.

Bila Pemilu 2024 tidak mengambil pelajaran maka kejadian kelelahan akut akan dialami petugas KPPS sebagaimana pemilu 2019. Korban jiwa pun tidak dapat dihindari dan MK harus bertanggung jawab nanti.

Partai Gelora juga melalui Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Anis Matta mengatakan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang diajukan Partai Gelora mengenai keserentakan pemilu, meskipun putusan tersebut dinilai membingungkan.

Partai Gelora tengah mempelajari kemungkinan untuk mengajukan kembali gugatan pemisahan pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) ke MK dalam waktu dekat.  

Menurut Anis Matta, penolakan MK atas gugatan tersebut prematur dan membingungkan. "Ini sangat merugikan kami sebagai partai politik dan rakyat sebagai pemilik suara," katanya.

Gugatan yang diajukan Partai Gelora, lanjut Anis Matta, pada prinsipnya ingin memastikan presiden yang dicalonkan berdasarkan pada suara rakyat yang mewakili pikiran dan perasaan hari ini, bukan yang kedaluwarsa.

"Gugatan ini juga bisa menjadi alternatif atas gugatan presidential threshold 0 persen,” ujar Anis Matta

Selain Gelora, DPD RI DAN Partai PBB juga diputuskan gugatannya tidak diterima MK. Gugatan DPD dan PBB terkait pasal 222 UU Pemilu dimana Presidential Threshold 20 persen membuat demokrasi terancam dengan munculnya oligarki kekuasaan.

Yusril, Ketua Umum Partai PBB menyebut MK adalah bukan lagi “the guardian of constitution”, melainkan telah berubah menjadi “the guardian of oligarchy”.

La Nyalla, Ketua DPD RI mengatakan saya akan memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan negara ini ke tangan rakyat, sebagai pemilik sah negara ini. Tidak boleh kita biarkan negara ini dikuasai oleh oligarki.

Sikap yang dinyatakan Anis Matta, Yusril dan La Nyalla ini menarik. MK telah menjadi alat kekuasaan perpanjangan oligarki untuk menghalang-halangi warga negara mendapatkan hak konstitusinya untuk dipilih sebagai presiden dan wakil presiden.

MK telah berada diluar jalur konstitusi dengan menjadi kepanjangan tangan oligarki baik politik maupun ekonomi.

Cara untuk meluruskannya adalah dengan mengingatkan kembali kepada 9 hakim MK untuk tetap mengikuti konstitusi dan menjauhi oligarki. Publik harus bangkit untuk ingatkan para hakim MK tersebut. rmol news logo article

Penulis adalah pakar kebijakan publik

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA