Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Akankah Si Kecil Laos, Teman Dekat Raksasa China, Menjadi Domino Pertama yang Jatuh di Asia Tenggara?

OLEH: VEERAMALLA ANJAIAH

Jumat, 24 Juni 2022, 16:00 WIB
Akankah Si Kecil Laos, Teman Dekat Raksasa China, Menjadi Domino Pertama yang Jatuh di Asia Tenggara?
Peta China dan Laos/Net
INVASI Rusia ke Ukraina datang pada saat terburuk bagi banyak negara miskin dan berkembang, yang belum pulih sepenuhnya dari pandemi Covid-19.

Sekarang banyak negara menghadapi kenaikan harga pangan, kenaikan harga energi atau kondisi keuangan yang lebih ketat akibat hutang yang besar.

Saat menjadi pembicara pada pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Bidang Pengendalian Internal Pemerintah tahun 2022 pada tanggal 14 Juni lalu, Presiden Indonesia Joko "Jokowi" Widodo mengatakan bahwa sekitar 60 negara mungkin runtuh secara ekonomi tahun ini. Sudah ada 40 negara yang menunjukkan sinyal jelas penurunan drastis pertumbuhan mereka.

”Yang 40 itu perkiraannya pasti. Ini ketidakpastian yang saya sebutkan tadi dan kita semua harus tahu, semua orang pasti punya rasa krisis," kata Jokowi.

Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD), sebuah badan PBB, baru-baru ini juga mengatakan bahwa 69 negara miskin, termasuk 25 dari Asia, di dunia akan dilanda krisis ekonomi yang parah di tahun ini. Mereka mungkin tidak dapat membayar utang tepat waktu, karena mereka tidak memiliki uang yang tersisa untuk membayar impor barang-barang penting seperti makanan, energi dan obat-obatan.

Sri Lanka adalah domino pertama yang jatuh di Asia. Pakistan akan segera menjadi Sri Lanka lainnya. Bagaimana dengan Asia Tenggara?

Laos atau Republik Demokratis Rakyat Laos (Lao PDR) kini menghadapi situasi serupa seperti di Sri Lanka dan Pakistan.

Apa persamaan ketiga negara ini?

Mereka adalah teman dekat China dan meminjam banyak uang dengan suku bunga yang tinggi dari ekonomi terbesar kedua di dunia. Mereka meminjam sebagian besar uang untuk pembangunan beberapa proyek infrastruktur yang secara ekonomi tidak berkelanjutan.

Bahaya Diplomasi Jebakan Utang China


Karena pertumbuhan ekonominya yang mengesankan, China telah muncul sebagai pemberi pinjaman terbesar di dunia untuk negara-negara berpenghasilan rendah.

Utang negara-negara miskin kepada kreditur Paris Club telah menurun dari 28 persen pada tahun 2006 menjadi 11 persen di 2020. China, yang bukan anggota Paris Club, gencar menawarkan pinjaman kepada negara-negara miskin dengan syarat mudah.

Akibatnya, banyak dari negara-negara ini meminjam sejumlah besar dari China melebihi kapasitas mereka untuk membayar kembali pinjaman tersebut. Negara-negara ini berutang kepada China 18 persen dari total utang mereka pada tahun 2020, lompatan besar dari hanya 2 persen pada tahun 2006.

China memiliki kelebihan uang tunai, kapasitas dan tenaga kerja. Jadi China sering menawarkan beberapa proyek infrastruktur, yang tidak berguna atau menguntungkan, kepada negara-negara berpenghasilan rendah dan negara-negara berkembang. China selalu bersikeras membawa material dan tenaga kerja sendiri untuk proyek-proyeknya di luar negeri.

China membangun pelabuhan internasional Hambantota, yang secara ekonomi tidak layak, di Sri Lanka pada tahun 2016. Sri Lanka tidak dapat membayar utangnya yang diambil untuk proyek pelabuhan dari China dan terpaksa memberikan pelabuhan tersebut ke China dengan sewa 99 tahun pada tahun 2017.

Hal yang sama terjadi di Pakistan. China telah membangun beberapa proyek infrastruktur yang tidak banyak membantu masyarakat lokal di Pakistan. Mereka kebanyakan membantu China dan perusahaan-perusahaannya. Akibatnya, China menjadi kreditur terbesar Pakistan. Negara Asia Selatan ini berada di ambang kebangkrutan akibat utangnya yang besar.

Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Indonesia adalah contoh lain bagaimana sebuah negara bisa berutang ke China tanpa banyak keuntungan. Sebagian besar kereta berkecepatan tinggi mengalami kerugian besar di China setiap tahun akibat kurangnya penumpang dan biaya perawatan yang tinggi.

Menurut banyak ekonom Indonesia, jika selesai, proyek kereta cepat ini tidak akan mencapai titik impas hingga 30-40 tahun karena jaraknya yang pendek yang hanya 142 kilometer dan biaya perawatan yang tinggi. Proyek ini akan menambah lebih banyak utang luar negeri bagi Indonesia.

Banyak ekonom menuduh China mengejar diplomasi jebakan utang. Banyak negara telah jatuh ke dalam perangkap utang China sebagai bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI).

Laos, Korban Utang China


Seperti China, Laos adalah negara komunis, yang diperintah oleh Partai Revolusi Rakyat Laos (LPRP), tanpa oposisi. LPRP memerintah Laos sejak tahun 1975.

Mari kita lihat apa yang terjadi di Laos?

Menurut situs krungsri.com, Laos mengalami defisit kembar -- defisit fiskal dan defisit transaksi berjalan -- di tengah cadangan devisa yang tipis.

Laos pernah mengalami defisit fiskal sebesar 3-4 persen dari produksi domestik bruto (PDB) per tahun dan defisit transaksi berjalan sebesar 10 persen dari PDB. Sekarang kedua defisit ini akan meningkat tajam di tahun ini.

Laos memiliki cadangan devisa senilai 1,3 miliar dolar AS pada akhir Desember 2021. Sekarang cadangan devisa kurang dari 1 miliar dolar AS, menempatkan negara dalam risiko besar.

Dengan populasi 7,8 juta orang, Laos memiliki PDB sebesar 17,49 miliar dolar AS.

Menurut Bank Dunia, utang publik dan jaminan publik Laos naik menjadi 14,5 miliar dolar AS, atau 88 persen dari PDB pada tahun 2021, naik dari 12,5 miliar dolar AS, atau 68 persen dari PDB tahun 2019.

Setengah dari total utang luar negeri Laos berasal dari China dengan suku bunga tinggi dan persyaratan mudah.

"Tingkat utang publik telah meningkat pesat sejak 2019, membahayakan stabilitas makroekonomi. Utang publik dan yang dijamin publik meningkat menjadi 88 persen dari PDB pada tahun 2021, dengan sektor energi menyumbang lebih dari 30 persen dari stok utang, sementara pangsa utang komersial telah meningkat, menambah tekanan pada manajemen likuiditas," ujar Bank Dunia dalam laporan di bulan Mei.

"Lao PDR menghadapi tantangan likuiditas dan solvabilitas akibat beban pembayaran utang yang tinggi, pengumpulan pendapatan yang buruk, pilihan pembiayaan yang terbatas dan cadangan mata uang asing yang rendah. Keberlanjutan utang terus bergantung pada hasil negosiasi bilateral dengan kreditur utama."

Sebagian besar utang dikeluarkan oleh sektor energi, karena Laos membangun lusinan bendungan pembangkit listrik tenaga air dalam upaya untuk menjadi 'baterai Asia'. Baru-baru ini, China telah membangun jalur kereta api berkecepatan tinggi senilai 6 miliar dolar AS untuk menghubungkan China dan Laos.

Karena lockdown dan pembatasan perjalanan asing saat ini di China, layanan kereta api berkecepatan tinggi ini mungkin menghadapi kerugian besar. Laos harus membayar utang 6 miliar dolar AS ini ke China tepat waktu.

Tahun ini saja, Laos harus membayar 1,59 miliar dolar AS, termasuk bunga 414 juta dolar AS, kepada para krediturnya.

Menteri Keuangan Laos Bounchom Oubonpaseuth baru-baru ini mengatakan bahwa utang publik negaranya masih dapat dikelola. Ini, menurut The Vientiane Times, kata di Majelis Nasional Laos minggu ini.

"Pemerintah dapat meyakinkan Anda bahwa manajemen berada pada tingkat keamanan yang tinggi," ungkap Bounchom.

"Kami tidak akan membiarkan negara kami tergelincir dalam kelalaian," katanya.

Mengingat situasi yang genting, sangat sulit untuk mempercayai kata-katanya.

Moody's Investor Service pada tanggal 15 Juni telah menurunkan peringkat utang negara Laos satu tingkat lebih lanjut ke peringkat non-investasi, atau wilayah "sampah", menjadi Caa3 dari Caa2.

Lembaga pemeringkat tersebut, menurut Financial Times, mengatakan bahwa risiko gagal bayar Laos akan "tetap tinggi mengingat tata kelola yang sangat lemah, beban utang yang sangat tinggi dan cakupan yang tidak memadai atas jatuh tempo utang luar negeri" oleh cadangan devisa.

Banyak orang menyalahkan pemerintah Laos atas prioritas yang salah.
 
"Alih-alih membangun basis manufaktur yang berkelanjutan, pemerintah telah berfokus pada proyek-proyek berbiaya tinggi yang didorong oleh utang. Ratusan bendungan pembangkit listrik tenaga air sedang berjalan atau sedang dibangun. Yang paling signifikan, pemerintah telah bertaruh 6 miliar dolar AS untuk jalur kereta api yang menghubungkan Vientiane ke Kunming, di China selatan, yang dibuka akhir tahun lalu," tulis David Hunt baru-baru ini di Asia Times.

Kip Terjun Bebas


Laos telah mengalami depresiasi tajam sekitar 30 persen sejak tahun lalu hingga April 2022, jelas mencerminkan kendala likuiditas eksternal.

Kip saat ini (pada tanggal 22 Juni) diperdagangkan pada 15.160 kip (LAK) menjadi 1 dolar AS, penurunan besar dari 9.285 LAK pada bulan Januari 2021.

The Laotian Times baru-baru ini melaporkan bahwa bank sentral negaranya sedang mempertimbangkan untuk melarang orang memegang mata uang asing dalam upaya untuk mengatasi krisis likuiditas.

Banyak media seperti Radio Free Asia, The Diplomat dan Crisis24 baru-baru ini melaporkan tentang antrean panjang bahan bakar, serta gangguan transportasi dan bisnis selama dua bulan terakhir.

Laos yang terkurung daratan tidak memiliki cadangan minyak dan gas dan mengimpor energi dari luar negeri.

Tapi Bounchom mengatakan bahwa pemerintah telah membuka jalur kredit untuk Perusahaan Bahan Bakar Negara Laos untuk membeli sekitar 200 juta liter bahan bakar, yang akan cukup sampai bulan Agustus mendatang.

Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi setelah bulan Agustus. Alasan utama kenaikan harga bahan bakar adalah perang di Ukraina, yang mungkin tidak akan segera berakhir.

Terlebih lagi, tingkat inflasi Laos mencapai 12,8 persen pada bulan Mei, titik tertinggi dalam 18 tahun.

Lembaga kredit Fitch Ratings, baru-baru ini, telah menurunkan prediksi pertumbuhan ekonominya untuk Laos pada tahun 2022 dari 5,7 persen menjadi hanya 2,5 persen sementara Bank Dunia memperkirakan bahwa ekonomi Laos akan tumbuh sebesar 3,8 persen.

Laos memiliki pertumbuhan ekonomi yang kuat, rata-rata lebih dari 6 persen per tahun selama 2015-2019, tetapi pertumbuhannya melambat secara signifikan akibat pandemi Covid-19. Pada tahun 2020, ekonomi Laos tumbuh sebesar 0,44 persen, turun drastis dari 5,46 persen di tahun 2019. Tahun lalu, ekonominya tumbuh sebesar 2,51 persen.

Laos sekarang menghadapi tantangan likuiditas dan solvabilitas akibat beban pembayaran utang yang tinggi, pengumpulan pendapatan yang buruk, pilihan pembiayaan yang terbatas dan cadangan mata uang yang rendah.

Sebagian besar masalah ini terkait dengan utang besar Laos ke China. Laos kecil menjadi korban diplomasi jebakan utang China. Ini adalah domino pertama di Asia Tenggara yang jatuh. Myanmar dan Kamboja mungkin akan mengikutinya, mengingat ketergantungan mereka yang besar pada China.

Indonesia harus mewaspadai bahaya diplomasi jebakan utang China dan berupaya untuk mengurangi utangnya ke China atau menghindari mengambil pinjaman baru dari Beijing. rmol news logo article

Penulis adalah seorang jurnalis senior yang berbasis di Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA