Selamat Idul Fitri
Selamat Idul Fitri Mobile
Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pemekaran Propinsi Papua dan Ancamannya Dalam Perspektif Masyarakat Hukum Adat

OLEH: MARTHEN GOO

Minggu, 12 Juni 2022, 09:55 WIB
Pemekaran Propinsi Papua  dan Ancamannya Dalam Perspektif Masyarakat Hukum Adat
Koordinator Komunitas Papua Pemerhati Ketatanegaraan Indonesia (K-P2-KI) Marthen Goo.
PAPUA merupakan sebuah daerah yang suku-sukunya sudah merdeka jauh sebelum adanya sentuhan orang-orang luar baik oleh Belanda hingga Indonesia. Setiap suku saling menghormati dan menghargai batas-batas wilayah suku. Tidak ada tindakan saling intimidasi, jajahan dan lain-lainnya.

Kemerdekaan sesungguhnya sudah terjadi saat itu. Bahkan kehidupan yang makmur dan sejahtera itu membuat rakyat selalu aman dan damai. Norma adat menjadi sumber hukum yang mengantar kemakmuran karena penghormatan pada kemanusiaan dan lingkungan hidup.

Ketika masuknya Belanda, Papua mulai diajarkan mengenal dunia luar, dan Papua diajarkan juga soal teknologi. Pendekatan yang dilakukan Belanda saat itu adalah pendekatan kemanusiaan, pendekatan agama dan pendekatan kultur.

Karena orang papua saat itu memiliki kasih dan hukum adat yang memiliki nilai, maka, keberadaan Belanda tidak ditolak, apalagi Belanda membuktikan pendekatan yang sangat humanis sebagai bentuk kecintaan mereka terhadap Papua melalui pelayanan dan tidak merusak kultur dan hukum adat. Mereka melayani bukan menduduki Papua.

Hal itu kini berbeda dengan Indonesia. Indonesia merebut Papua dengan paksa, dengan kejahatan dan pelanggaran HAM, bahkan praktek-praktek pendudukung yang ingin menguasai Papua dilakukan dengan dalil NKRI. Pengiriman militer dan penduduk luar ke Papua sebagai upaya menguasai Papua.

Sementara, Papua bukan tanah kosong. Jika Belanda melakukan pendekatan kebudayaan dan kemanusiaan, Indonesia melakukan pendekatan pendudukan dan militer. Perbedaan yang jauh antara langit dan bumi membuat orang papua merasa nyaman dengan Belanda.

Mestinya, ketika Indonesia memposisikan dirinya sebagai republik dan semangat penghapusan penjahan dan kejahatan kemanusiaan, tindakan itu juga yang harus dilakukan terhadap Papua dalam rangka mengambil hati orang papua.

Jika Belanda bisa buat hal yang membuat orang papua nyaman terhadap Belanda, mestinya Indonesia jauh bisa melakukan hal-hal yang humanis dan tindakan proteksi terhadap keberadaan orang papua. Tujuan nasional harus dipraktekan. Hal-hal yang memarjinalkan orang papua dan mempercepat pemusnaan orang papua harus ditinggilkan seperti alat legal yakni pemaksaan DOB dan Otsus yang bersifat sentralistik.

Pemekaran Dalam Perspektif Masyarakat Adat Serta Ancamannya

Tentu, jika itu masyarakat adat, masyarakat yang mempertahankan dan menghormati nilai-nilai yang hidup di tengah kehidupan orang papua, mereka sadar bahwa pemekaran itu hanya tindakan (1) penghancuran masyarakat adat; (2) tindakan pendudukan; (3) penghancuran tanah adat;  dan bahkan (4) tindakan penguasaan atas eksestensi masyarakat adat.

Bahkan sebelum pemekaran saja, pelanggaran HAM masih terus terjadi, pendudukan terjadi dimana-mana, dan lebih terlihat seperti di kabupaten Induk, dampaknya terjadi marjinalisasi. Riset LIPI menegaskan aspek marjinalisasi dan pelanggaran HAM.

Atas hal itu dan dengan penuh kesadaran, sudah dipastikan bahwa masyarakat adat di Papua “Pasti Menolak Pemekaran”. Jika ada oknum-oknum menerima, dapat disimpulkan karena (1) adanya pendekatan-pendekatan tertentu; (2) adanya iming-iming; dan (3) diberikan kesadaran palsu. Masyarakat adat selalu berbicara dalam rumah adat dengan mempertimbangkan perlindungan terhadap manusia, tanah dan hutan adat sebagai satu kesatuan hidup orang Papua.

Sehingga, jika ada yang mengatasnamakan masyarakat adat dan lainnya, tentu dari aspek nilai, dan norma, sangat bertentangan, dan dapat disimpulkan, mereka dikategorikan sebagai 3 poin di atas.

Sementara, untuk mewakili masyarakat adat atau mewakili orang papua sebagai masyarakat adat, memiliki mekanisme internal yang ketat karena menyangkut keseimbangan dan kehidupan, tidak hanya manusia tapi juga alam raya yang wajib dipikiirkan, dilindungi dan diselamatkan.

Logika Pemekaran Dalam Keterwakilan


Logika kekuasaan dan anti kemanusiaan selalu menyembunyikan dirinya dibalik NKRI, pada hal, ketika bicara NKRI, ada yang namanya kebhinekaan dan penghormatan pada keaslian. Penghormatan pada keaslian itu bicara soal kehidupan penduduk asli di wilayah atau daerah tersebut.

Sehingga, Jika hendak memekarkan wilayah di Yogyakarta, yang harus ditanyakan itu penduduk Yogyakarta asli, bukan penduduk luar yang hanya cari hidup, numpang dan cari makan di Yogyakarta. Karena itu berbicara kehidupan jangka panjang penduduk asli. Sementara, penduduk datangan itu bisa juga bersifat musiman, atau mereka memiliki potensi pindah ke tempat asal mereka.

Logika yang sama juga adalah di Papua. Ketika bicara pemekaran di Papua, harus tanya orang asli papua. Bicara orang asli papua itu bicara masyarakat adat. Bicara masyarakat adat itu bicara demokrasi adat dan mekanismenya.

Sehingga, tidak semuda atas nama ini dan itu. Tindakan mengatasnamakan itu juga sebenarnya merusak tanan adat, tapi juga bagian dari tindakan penipuan publik. Walau orang papua jutaan tahun hidup di Solo atau Yogyakarta, orang papua tidak bisa mengatasnamakan daerah Solo atau daerah Yogyakarta.

Dalam logika subtantif dan atas dasar kebhinekaan, mestinya setiap pembuatan UU dan perubahan UU serta kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah juga harus melihat dan menerapkan prinsip yang sama. Apalagi ketika bicara konstitusi yang mensyarakatkan kedaulatan rakyat yang diturunkan menjadi kedaulatan rakyat di wilayah yang mengikatkan diri dengan UU.

Sehingga, demi hukum harus bekukan rencana pemekaran Propinsi dan bekukan UU Otsus Papua. DOB dan Otsus sentralistik hanya alat legalitas merusak tatanan adat di Papua.

Jika hendak mendorong kebijakan baru, UU baru, harus gelar perundingan Jakarta-Papua untuk menemukan solusi dan cara menuju solusi. Cara-cara demokratis dan cara-cara humanis harus dikedepankan. Jika Aceh bisa berunding, mestinya Papua juga bisa.

Hentikan praktek-praktek rasisme terhadap orang papua dan seluruh kehidupan di tanah Papua. Gelar perundingan sebagai sarana penyelesaian masalah di Papua untuk Papua menjadi tanah damai. rmol news logo article

Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan dan Anak Adat serta Koordinator Komunitas Papua Pemerhati Ketatanegaraan Indonesia (K-P2-KI)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA