Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menimbang Tiga Skenario Menyudahi Perang Rusia-Ukraina

OLEH: INDRA KUSUMAWARDHANA*

Sabtu, 28 Mei 2022, 19:20 WIB
Menimbang Tiga Skenario Menyudahi Perang Rusia-Ukraina
Puing-puing bangunan yang hancur akibat perang di Ukraina/Getty Images
TIGA bulan berlalu sejak keputusan Vladimir Putin menyerang Ukraina, belum ada tanda-tanda perang akan berakhir. Pertempuran masih berlangsung sengit di sejumlah wilayah di Ukraina. Menurut catatan Dewan HAM PBB (OHCHR), jumlah korban jiwa dari kalangan sipil telah melampauai 1.900 jiwa.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Padahal, para pakar politik internasional sejak awal memprediksi perang akan berlangsung singkat karena misi Rusia hanya berfokus pada dua wilayah di Ukraina timur yang berafiliasi ke Rusia yaitu Donetsk dan Luhansk.

Di tengah kecamuk perang, masyarakat internasional berpikir bagaimana cara menyudahi perang tersebut agar perdamaian tercipta di Ukraina. Sayangnya, organ internasional seperti PBB gagal memainkan peran sebagai penjaga perdamaian karena DK PBB tidak pernah mencapai konsensus akibat selalu diveto Rusia. Alhasil, menyandarkan penyelesaian perang Ukraina-Rusia kepada PBB hanyalah sebuah upaya yang sia-sia.

Lantas apa saja solusi perdamaian di Ukraina?

Tulisan ini menyodorkan tiga skenario upaya penyelesaian perang Ukraina-Rusia. Tentu skenario ini hanyalah hipotesis yang bisa efektif namun bisa juga tidak. Efektifitas setiap solusi perdamaian senantiasa tergantung pada konteks politik tertentu. Jadi tidak bisa dipukul rata antara satu kasus dan kasus lainnya.

Skenario 1: Ukraina mengalah

Skenario perdamaian pertama yang paling mungkin adalah Ukraina harus mengambil keputusan mengalah terhadap tuntutan Rusia. Artinya, Ukraina harus bersedia memenuhi syarat gencatan senjata dari Rusia yakni Ukraina harus menjadi negara netral.

Sejak awal, Putin menegaskan alasan Rusia menyerang Ukraina adalah mencegah agar Ukraina tidak jatuh ke dalam lingkaran kekuasaan Barat, dalam hal ini NATO. Menurut Putin, masuknya Ukraina ke dalam pakta pertahanan warisan Perang Dingin itu adalah “garis merah” yang tidak bisa dinegosiasikan. Jika itu dilanggar hampir pasti Rusia akan merespons dengan kekuatan senjata. Dan Putin menepati janjinya.
 
Tujuan dari “operasi militer” (terminologi resmi yang dipakai Kremlin) di Ukraina bukan menduduki negara itu sebagaimana AS menduduki Afganistan dan Irak, melainkan memaksa pemerintah Ukraina di bawah Presiden Volodymyr Zelensky untuk tidak melanjutkan rencananya bergabung dengan NATO dan menjadi negara sekutu Barat. Rusia meminta Ukraina berstatus sebagai “zona penyangga” (buffer zone) yang berfungsi menyekat agar tidak terjadi benturan fisik antara Rusia dan negara-negara Eropa di sebelah Barat yang sudah masuk lingkaran konsentris kekuasaan Barat (Polandia, Rumania, Lithuania, Latvia, Estonia) dimana negara-negara itu dulunya adalah bagian dari Uni Soviet.

Sebagai informasi, Rumania dan Polandia telah digunakan AS sebagai pangkalan rudal. Apabila Ukraina bergabung dengan NATO, maka potensi benturan antara Rusia dan sekutu-sekutu Barat di Eropa Timur semakin besar.

Masalahnya, mengalah bukan sebuah pilihan bagi kebanyakan negara dalam suasana konflik internasional. Tidak ada satupun negara yang ingin kalah dalam perang. Sekalipun rasional, mengalah adalah kebijakan yang dapat menurunkan wibawa dan harga diri suatu bangsa. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang ingin dicap pengecut dan lemah ketika diinvasi negara lain. Kalah perang masih terhormat. Tetapi mengalah sungguh memalukan.

Sebaliknya, pemerintah akan berupaya mempertahankan sejengkal wilayahnya sampai tetes darah penghabisan. Heroisme ini dikobarkan Zelensky melalui video dengan mengatakan, “Kami tidak akan meletakkan senjata dan tetap akan membela negara kami. Karena senjata kami adalah kebenaran kami.”

Skenario 2: Pergantian rezim di Rusia

Solusi alternatif untuk menghentikan perang Ukraina-Rusia adalah dengan pergantian rezim di Rusia. Ini berarti menggulingkan pemerintahan Vladimir Putin yang terkenal sentralistis dan solid. Ide ini sempat muncul di kalangan elit Washington bahwa dengan menjatuhkan sanksi ekonomi yang keras kepada Rusia akan memicu kemarahan publik Rusia yang akan menuntut rezim Vladimir Putin mundur atau mereka akan mengambil alih kekuasaannya.

Ide yang sama dikemukakan tokoh oposisi yang juga aktivis anti-korupsi Rusia Vladimir Ashurkov. Ia mengatakan seperti dikutip dari harian The Independent (19 Maret 2022), perang Rusia ke Ukraina tidak populer dan kebijakan itu dapat menjadi bumerang bagi kekuasaan Putin. Ia memprediksi perang ini akan menjadi pintu masuk bagi perubahan demokratis di negara itu paling tidak dalam lima tahun mendatang.

Pandangan Barat dan kubu oposisi Rusia tentang pergantian rezim sebagai jalan penyelesaian perang terdengar masuk akal. Namun, Barat tampaknya salah menilai kultur politik Rusia. Sebagai negara semi-demokrasi, Rusia tidak memberi ruang bagi kaum oposisi. Vladmir Ashurkov sendiri dicap pembangkang politik oleh Kremlin dan mendapatkan suaka politik di Inggris. Sementara oposisi terkemuka Rusia, Alexei Navalny, mendekam di penjara sebagai tahanan politik.

Di samping itu, klaim bahwa sanksi akan memicu huru-hara dan bisa menjadi awal bagi pergantian rezim tidak terjadi. Mayoritas publik Rusia justru mendukung kebijakan Putin menginvasi Ukraina.

Menurut survei Levada Center yang berbasis di Rusia, pada saat Kremlin mengumumkan operasi militer ke Ukraina, 69 persen masyarakat Rusia mendukung sementara 39 persen lainnya menolak. Seminggu setelah serangan pertama, hasil jajak pendapat masih menunjukkan tingginya dukungan masyarakat Rusia (58 persen) dibanding yang menolak (23 persen) (Washington Post, 2022).

Skenario 3: Mediasi pihak ketiga

Di antara kedua skenario di atas, skenario ketiga tampaknya yang paling prospektif untuk mencapai gencatan senjata. Keterlibatan pihak ketiga sebagai mediator konflik sangat diperlukan sebagaimana peran Uni Eropa menengahi konflik Rusia-Georgia dalam “Perang Lima Hari” tahun 2008.

Pada waktu itu, Rusia yang dipimpin Presiden Dmitry Medvedev bersedia berunding dengan dimediasi oleh Presiden Perancis Nicholas Sarkozy. Perancis yang saat itu mendapatkan giliran presidensi Uni Eropa, berhasil memainkan perannya sebagai “honest broker” konflik Rusia-Georgia sampai tercapai gencatan senjata.

Meskipun berbeda konteks, konflik Rusia-Georgia tahun 2008 dan konflik Rusia-Ukraina 2022 memiliki kesamaan yaitu sama-sama dipicu kekhawatiran Rusia terhadap masuknya negara-negara itu ke dalam orbit Barat melalui NATO. Kedua negara juga sama-sama bekas pecahan Uni Soviet.

Israel sempat digadang-gadang muncul sebagai mediator. Perdana Menteri Israel Naftali Bennett melakukan panggilan telepon secara “back-to-back” dengan Vladimir Putin dan Volodymyr Zelensky pada 15 Maret 2022. Topik pembicaraan berpusat pada bagaimana mencapai gencatan senjata dan pembukaan akses bantuan kemanusiaan.

Selain Israel, Turki juga sempat mencoba memainkan peran sebagai mediator. Presiden Turki Recep Tayip Erdogan pada 16 Maret 2022 mengirim Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu ke Moskow dan Kyiv untuk mengupayakan perdamaian. Posisi Turki cukup jelas yakni di satu sisi mendukung Ukraina tetapi di sisi lain menentang sanksi kepada Rusia. Sebelumnya, Turki telah menjadi tuan rumah pertemuan tingkat tinggi antara delegasi Rusia dan Ukraina di Antalya namun tidak menghasilkan keputusan berarti.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia sejatinya memiliki peran tradisional sebagai mediator konflik-konflik internasional. Dengan demikian, Indonesia memiliki pengalaman dan kredibilitas dalam upaya penciptaan perdamaian. Prinsip politik luar negeri “bebas-aktif” juga memberi keuntungan bagi Indonesia untuk memainkan peran itu. Untuk menjadi mediator, netralitas adalah faktor penting.

Masalahnya adalah, pemerintah Indonesia saat ini terkesan enggan melibatkan diri dalam konflik Rusia-Ukraina. Indonesia tidak mau melangkah lebih jauh dan konkret selain menyampaikan pernyataan yang tidak jelas dan voting di PBB. Indonesia tampaknya mempertimbangkan dengan serius ancaman Rusia terhadap negara-negara yang ikut campur.

Faktor lain yang membuat Indonesia sulit berperan sebagai mediator adalah kedekatan Indonesia dan kedua pihak bertikai, khususnya Rusia. Saat ini Indonesia tidak terlalu dekat hubungannya dengan Rusia. Presiden Jokowi juga kurang dekat secara personal dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Berbeda dengan Nicholas Sarkozy yang secara personal cukup dekat dengan Putin.

Dari segi ekonomi, Rusia bahkan tidak masuk 10 besar mitra dagang terbesar Indonesia. Indonesia juga telah membatalkan kontrak pembelian pesawat tempur Sukhoi Su-35 senilai US$ 1.14 milyar karena berpaling ke Perancis dan AS. Dengan rekam jejak ini, Indonesia tampaknya bakal sulit menjadi penengah konflik Rusia-Ukraina. rmol news logo article

*Penulis adalah dosen di Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Pertamina

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA