Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Problematika Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah

OLEH: SALEH*

Senin, 23 Mei 2022, 17:29 WIB
Problematika Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah
Ilustrasi Penjabat Kepala Daerah/Net
TULISAN ini diilhami oleh diskusi evaluasi mingguan Saleh & Partners Law Office yang biasa diadakan seminggu dua kali pada Jumat tanggal 20 Mei 2022 bertempat di gedung Soho Pancoran, Jakarta Selatan, setelah sholat magrib yang diikuti oleh saya selaku Managing Partner, Senior Associate, Associates dan Junior Associates dengan tim yang berjumlah 16 orang.  

Dari evaluasi yang mengalir, saya ditugaskan untuk membuat materi yang rencananya untuk podcast dalam rangka tanggung jawab kantor untuk memberikan nilai edukasi hukum kepada masyarakat luas dengan topik yang sedang menjadi polemik di kalangan pemerhati hukum di Indonesia saat ini yang saya susun dalam kajian singkat dengan judul “Poblematika Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah.”

Sebagai lawyer yang sering sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), spontanitas saya menyetujui materi ini saya menyatakan siap menjadi teman diskusi yang akan dimoderatori oleh Muhammad Faiz Putra Putra Syanel, SH, salah satu Associate kantor yang sedang menempuh pendidikan pasca sarjana S2 Hukum Universitas Indonesia.

Oleh karena hari Sabtu dan Minggu kantor libur, pada Minggu siang saat menikmati soto ayam dan garang asem ayam kampung Mbok Giem di dekat rumah saya, ditemani istri dan kedua anak, saya teringat diminta untuk membuat materi.

Terlintas dalam benak, ‘daripada hanya di podcast youtube kantor, kenapa tidak dituangkan juga dalam bentuk tulisan singkat?’ setelah makan siang sesampainya di rumah, saya coba membuka koran Kompas terbitan hari Sabtu, 21 Mei 2022, tepatnya pada tulisan Budiman Tanurejo dengan judul “Menjaga Marwah Mahkamah”.

Inti dari tulisan itu mempertegas bahwa “Putusan MK final dan mengikat. Akan tetapi, MK tak punya kewenangan untuk mengeksekusi putusan itu. Putusan MK akan sangat tergantung pada Presiden. Presiden punya peranan penting untuk menjaga marwah Mahkamah. Jika Putusan MK tak lagi didengar, akan berakhir pula roh dari Mahkamah. Berbicara soal putusan MK bukan hanya menyangkut soal amar putusan melainkan juga pertimbangan hakim konstitusi. Dalam kenyataannya putusan MK itu dikesampingkan. Belum ada aturan pelaksanaan yang dibuat untuk mengisi kekosongan penjabat kepala daerah dengan alasan pertimbangan MK tidak masuk dalam amar putusan.”

Selain baca koran, saya coba membuka buku dan sesekali scrolling laptop. Hal pertama yang saya buka adalah putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022 yang diketok palu pada tanggal 10 Maret 202, mengenai penunjukan penjabat gubernur, bupati, dan walikota yang masa jabatannya berakhir di tahun 2022. Pengujian ini ternyata berkaitan erat dengan dua putusan lainnya, yakni Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021 dan Putusan MK Nomor 18/PUU-XX/2022.

Persoalan dari pengujian perkara Nomor 15/PUU-XX/2022 di Mahkamah Konstitusi (MK) menurut para pemohohon adalah Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 karena Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 karena telah mencederai makna dari kedaulatan rakyat.

Menurut para pemohon, pengangkatan kepala daerah secara ditunjuk dari Pejabat ASN untuk menggantikan kepala daerah yang sudah habis masa jabatannya tidak mencerminkan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) yakni kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan/tidak diskriminatif, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum dan pelayanan yang baik. Sehingga, para pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan ketentuan Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum  mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘yang ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) adalah kepala daerah terpilih dalam Pilkada terakhir sebelum tahun 2022, baik yang berakhir masa jabatan 2022 maupun 2023 untuk melanjutkan pemerintahan guna menyiapkan pemilihan kepala daerah serentak 2024’.

Permohonan yang diajukan tanggal 25 Januari 2022 tersebut pada akhirnya ditolak untuk seluruhnya oleh Mahkamah dengan alasan permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Walaupun permohoanan ditolak, terdapat pertimbangan putusan MK tersebut dengan  Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/202 tepatnya pada pertimbangan halaman 53 di mana Mahkamah menyampaikan bahwa:

“Bahwa terkait dengan pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan ‘secara demokratis’, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah. Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif. Sebab, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif.”

Dapat dipahami bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah menyarankan pemerintah untuk mempertimbangkan penerbitan Peraturan Pelaksana guna menindaklanjuti Pasal 201 UU 10/2016.

Namun, sebagaimana dikutip dari berbagai media pemerintah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) enggan mempertimbangkan penerbitan peraturan tersebut dengan alasan Mahkamah tidak mewajibkan pemerintah untuk membuat aturan turunan pengisian penjabat kepala daerah melainkan, peraturan yang dimaksud hanyalah pertimbangan oleh MK.

Hal ini diperkuat oleh pernyataan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik yang menyampaikan penunjukan penjabat kepala daerah selama ini berjalan sesuai aturan sejak tahun 2015. Adanya penunjukan penjabat kepala daerah tersebut mengharuskankan pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan dilaksanakan pada bulan November 2024, sehingga tahun 2022 dan 2023 tidak ada pemilihan kepala daerah.

Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan 2023, perlu diangkat penjabat Gubernur, Bupati, dan/atau Walikota, sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024. Artinya, kekosongan jabatan selama kurang lebih dua tahun akan diisi oleh penjabat kepala daerah.

Penjabat kepala daerah tidak dikenal dalam undang-undang, namun, hanya diatur dalam ketentuan Pasal 1 Angka 5 Permendagri 35/2013 yang mendefinisikannya sebagai: “Pejabat yang ditetapkan oleh Presiden untuk Gubernur dan Pejabat yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Bupati dan Walikota untuk melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban kepala daerah dalam kurun waktu tertentu.”

Berbeda dengan pejabat kepala daerah yang definitif tugas dan wewenangnya diberikan undang-undang, tugas dan kewenangannya sangat luas, sedangkan kewenangan penjabat kepala daerah sangat terbatas sebagaimana ketentuan pasal 132A PP No. 49 tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas PP 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,  yang melarang pejabat kepala daerah untuk melakukan mutasi pegawai, membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya, membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya dan membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.

Tanpa menerbitkan peraturan pelaksana sebagaimana diperintahkan oleh MK dalam pertimbangannya, faktanya pasca putusan tersebut Presiden melalui Mendagri pada tanggal 12 Mei 2022 telah melantik 5 penjabat Gubernur yakni untuk provinsi Banten, Kepulauan Bangka Belitung, Gorontalo, Sulawesi Barat dan Gubernur Papua Barat. Dan pada tahun 2022, akan ada 7 Gubernur, 76 Bupati, 18 Walikota dengan total 101 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya. Sedangkan pada tahun 2023, total sebanyak 170 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya.

Belum lagi mulai muncul persoalan adanya penolakan dari Gubernur Maluku Utara, Gubernur Sulawesi Tenggara ada dari Sumatera Selatan dan Riau informasinya menghubungi Gubernur Sulawesi Tenggara yang tidak akan melantik penjabat Bupati/ Walikota karena Mendagri memilih calon lain yang tidak diusulkan oleh sang Gubernur (Kompas, Senin 23 Mei 2022). Hal ini merupakan implikasi dari belum adanya Peraturan Pelaksana yang jelas mengenai mekanisme teknis penunjukan penjabat sebagaimana diamanatkan oleh pasal 201 UU 10/2016 sesuai putusan MK.

Kembali pada pernyataan Kemendagri sebelumnya dan keterkaitannya dengan pertimbangan Mahkamah pada halaman 53, bagaimana konsekuensi jika Pemerintah tetap tidak mau mengeluarkan peraturan pelaksana sebagaimana perintah Mahkamah dalam amar pertimbangannya? Jelas bahwa pertimbangan hukum MK tersebut tidak bisa dipisahkan dari amar putusannya, karena menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Secara sederhana, Pasal 48 Ayat (2) UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang diubah dengan UU 7/2020 disebutkan bahwa setiap putusan MK harus memuat tujuh elemen yakni: “kepala putusan berbunyi ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa’,  identitas pihak; ringkasan permohonan; pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan, pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan, amar putusan, dan hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.”

Hal ini dipertegas oleh Pasal 70 Peraturan MK No. 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU 24/2003 menjelaskan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. MK memang tidak memiliki kewenangan eksekutorial, yang artinya putusan MK diserahkan kepada pemerintah untuk menindaklanjutinya/mengeksekusi.

Mengingat bahwa penunjukan penjabat kepala daerah untuk gubernur ditetapkan oleh Presiden dan untuk Bupati/ Walikota ditetapkan oleh Mendagri adalah termasuk keputusan tata usaha negara, menurut ketentuan UU Peradilan Tata Usaha Negara. Yang dimaksud  Keputusan Tata Usaha Negara adalah: “Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, sehingga pihak-pihak yang merasa dirugikan atas dilantiknya penjabat kepala daerah dapat mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara sebagaimana ketentuan Pasal 53  UU tersebut, dalam kurun waktu 90 hari sejak diterimanya atau diumumkannya keputusan tata usaha negara.”

Mengingat akan ada sebanyak 271 penjabat Gubernur, Bupati, dan/atau Walikota yang akan diisi oleh penjabat kepala daerah di tahun 2022 hingga 2023, maka tidak patuhnya pemerintah terhadap putusan MK yang memberikan pertimbangan agar pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksana dari Pasal 201 UU 16/2016, dikhawatirkan akan banjir gugatan oleh mereka yang merasa dirugikan. Putusan MK bukan untuk diperdebatkan, namun untuk dilaksanakan agar pengangkatan penjabat kepala daerah tidak menjadi problematika dan dibawa ke ranah pengadilan kedepannya. rmol news logo article

*Penulis adalah Managing Partner Saleh & Partners Law Office dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA