Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kerentanan Indonesia Dalam Geopolitik Perang Dingin 2.0

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-syahganda-nainggolan-5'>DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN</a>
OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN
  • Rabu, 27 April 2022, 15:35 WIB
Kerentanan Indonesia Dalam Geopolitik Perang Dingin 2.0
Direktur Sabang Merauke Institute, Syahganda Nainggolan/Net
PERANG dingin (Cold War) jilid dua sudah berlangsung. Khususnya sejak invasi Rusia terhadap Ukraina secara besar-besaran pada 24 Februari lalu.

Sejarawan Yuval Noah Harari menganggap invasi itu dilakukan Rusia terhadap negara berdaulat. Rusia tidak bisa mengklaim Ukraina adalah "Greater Russia". Bahkan, menurutnya, Kyiv, Ibukota Ukraina, sudah lebih maju ratusan tahun lalu dibanding Moskow, Ibukota Rusia.

Di sisi lain, Profesor John Mearsheimer, Universitas Chicago, dalam ceramahnya (Universitas Chicago, 2015) dan wawancaranya (New Yorker, 2022) mengatakan bahwa invasi Rusia terhadap Ukraina adalah sebuah konsekuensi dari Amerika yang mengekspor demokrasi ke Ukraina dan negara eks Soviet serta Eropa Timur, serta konsekuensi ekspansi Uni Eropa dan NATO ke sana.

Sejak Bucharest Declaration, 2008, di mana NATO mengundang Ukraina dan Georgia masuk ke NATO, Putin sudah memberikan "warning" akan melakukan serangan ke negara-negara tetangganya tersebut.

Karena Putin, menurutnya, menganggap kehadiran pangkalan militer asing di negara tetangga merupakan ancaman bagi Rusia. Pandangan Mearsheimer ini dikenal dalam teori realistik (Realist Theory) pada ilmu politik internasional. Menurutnya, ini adalah kegagalan Amerika.

Dua jenis pandangan di atas berlangsung dalam tataran ide. Namun, dalam tataran praktis, perang Rusia-Ukraina telah memakan korban ribuan jiwa dan jutaan orang kehilangan tempat tinggal. Begitu pula perlombaan anggaran untuk senjata saat ini semakin meningkat.

Berbagai negara maju telah menaikkan anggaran pertahanan, bahkan ada yang dua kali lipat. Di sisi lainnya perang dingin ini telah menaikkan harga energi dan pangan, menciptakan inflasi, dan perasaan "insecurity" ke berbagai wilayah dunia.

Persoalan "insecurity" yang meluas ini terbentuk karena Rusia memiliki poros bersama China, yang menjadi opposite Amerika dan barat. Untuk perasaan "insecurity" ini, terkait Indonesia, dan Asean tentunya, saat ini selain meningkatnya adu gertak di wilayah Laut China Selatan, antara China versus Amerika, telah berkembang pula di negara-negara Pasifik.

Soal Pasifik ini, terkait ditandatanganinya fakta militer antara Solomon Island dan China, sebuah perjanjian yang bocor ke media sebulan lalu, memuat rencana China membangun pangkalan militer.

Amerika dan Australia sudah mengeluarkan ancaman militer ke wilayah pasifik jika perjanjian itu direalisasikan. Laut Cina Selatan dan Pasifik merupakan wilayah luar terdekat dari Indonesia.

Indonesia, sebagai negara terbesar di Asean –salah satu pusat pertumbuhan ekonomi dan industri dunia beberapa dekade belakangan ini– telah terombang-ambing dalam bersikap atas situasi perang dingin dunia saat ini.

Pada saat tekanan politik untuk bersikap, misalnya terkait kehadiran Rusia dalam pertemuan G-20, Indonesia memilih netral. Netralitas dalam situasi perang dingin masa lalu (Barat vs Soviet) dengan politik bebas-aktif dapat diterima akal sehat, karena negara-negara yang baru merdeka masih sibuk dengan tema kemerdekaannya "an sich".

Itu pun hanya sebatas jargon, sebab faktanya Indonesia sendiri masuk pada perangkap pemihakan atau kolaborasi, baik dengan Soviet dan China di era Sukarno, maupun dengan Amerika di era Suharto.

Saat ini, perang dingin 2.0 tentu berbeda, karena wilayah hidup manusia tidak saja di dunia nyata, namun juga dunia maya dan digital. Rusia misalnya mempunyai kemampuan disinformasi (Russia Disinformation Operation) di dunia maya, yang memanipulasi seolah-olah Rusia bersama tentara Islam Chechnya sedang melakukan "Perang Salib" atau perang melawan Yahudi di Ukraina saat ini.

Operasi "cuci otak" seperti ini misalnya, berlangsung masif di dunia maya. Agar orang-orang Islam Indonesia melihat barat sebagai musuh. Padahal pada saat bersamaan, Rusia dan China adalah pendukung rezim Jokowi, yang terasa kejam terhadap Islam dan pemimpin-pemimpinnya.

Kelemahan Indonesia saat ini, terlebih-lebih lagi paska pandemi Covid-19, adalah ketergantungan pada utang. Untuk mendapatkan utang dan restrukturisasi utang serta bunganya yang menggunung, kita perlu "mengemis" pada negara besar yang berkonflik.

Struktur utang sendiri saat ini mayoritas pada negara blok barat. China tidak mungkin mengambil alih utang kita dan merestrukturisasinya dari barat. Ini adalah pilihan sulit.

Sedikit saja kemarahan Amerika pada Indonesia, terkait sikap netralitasnya saat ini, dapat mengakibatkan ketersinggungan. Hal ini sensitif pada kegoncangan ekonomi kita secara total. Misalnya, ancaman terhadap stabilitas nilai tukar dolar, yang sangat tergantung Amerika.

Dalam pertemuan G-20 sektor keuangan dan perbankan beberapa hari lalu di Washington DC, Janet Yellen, Menteri Keuangan Amerika, sudah menunjukkan kekesalannya pada Sri Mulyani atau Indonesia terkait sikap netralitas kita saat ini.

Sri Mulyani sebelumnya mengatakan bahwa urusan G-20 bukanlah urusan politik. Yellen balik mengatakan bahwa tidak ada urusan bisnis normal secara global terkait Rusia saat ini. Tentu saja situasi saat ini sangat mencekam atau "vulnerable" dalam jangka yang sangat pendek. Mengapa sangat pendek?

Pertama, Amerika sudah menunjukkan ketidak senangannya pada Indonesia dengan merilis berbagai masalah pelanggaran HAM dan kehancuran demokrasi, pada website resmi pemerintah Amerika (https://www.state.gov/wp-content/uploads/2022/03/3136152_INDONESIA-2021-HUMAN-RIGHTS-REPORT.pdf). Rilis ini dikeluarkan tahun ini untuk memotret kejadian tahun 2020 dan 2021.

Pelanggaran HAM mencakup antara lain unlawfull killing terhadap 6 orang pengawal Habib Rizieq Sihab, Laskar FPI di KM 50, pembunuhan Pendeta Yeremia di Kabupaten Intan Papua, penangkapan tokoh oposisi, antara lain Jumhur Hidayat dan Khairul Amri dari Koalisi Aksi Menyelamatkan Indoneisia (KAMI), “surveillence” kegiatan aktivis antipemerintah di dunia maya, penyingkiran Novel Baswedan dan pegiat antikorupsi atas nama ideologi/wawasan kebangsaan, buruknya nasib buruh, dan lain-lain.

Termasuk juga Amerika menyinggung adanya promosi karier pada petinggi militer yang dahulu dianggap melakukan kekerasan HAM.

Tekanan Amerika terkait HAM sudah dialami Indonesia di masa lalu, berupa embargo pembelian senjata, pelarangan tokoh politik tertentu memasuki wilayah Amerika dan kerumitan melakukan pinjaman utang baru. Melihat sejarah Indonesia, bangsa kita terus-menerus mengalami posisi lemah dalam berunding dengan Amerika.

Kedua, kedekatan hubungan rezim Jokowi dengan RRC berimplikasi pada penyingkiran politik umat Islam. Sebagai mayoritas, Islam merasa teraniaya selama 8 tahun pemerintahan Jokowi.

Sangat sulit diharapkan umat Islam secara sukarela melakukan konsolidasi diri pada rezim Jokowi. Apalagi, Habib Rizieq, yang merupakan simbol perlawanan umat Islam terhadap rezim Jokowi masih di penjara.

Tanpa konsolidasi yang melibatkan umat Islam, totalitas bangsa Indonesia bertahan dari pengaruh konflik geopolitik tidak terjadi.

Ketiga, Indonesia menghadapi kesulitan keuangan, utang yang tinggi dan beban hidup masyarakat yang terus memburuk. Survei Litbang Kompas terakhir, menunjukkan 70% rakyat mengalami kesulitan hidup saat ini.

Keempat, Jokowi merupakan pemimpin yang lemah. Menteri Kordinator Politik dan Hukum, Mahfud MD beberapa hari lalu mengatakan bahwa saat ini sampai tahun 2024, Indonesia mengalami perpecahan bangsa dan korupsi merajalela karena ketiadaan pemimpin yang kuat.

Kelima, berbagai elite nasional sibuk memikirkan perebutan kekuasaan nasional, dengan pola yang sama, yakni politik pencitraan. Andi Arief, Kepala Bappilu Parta Demokrat, dalam renungannya yang dirilis kemarin, meminta agar ke depan elite-elite ini mengubah diri dengan melibatkan kekuatan nonpartai politik, sehingga totalitas kebersamaan bangsa dalam menghadapi situasi nasional bisa lebih kuat.

Kita sudah melihat betapa rentannya bangsa kita dalam situasi dunia saat ini.

Indonesia akan bisa sewaktu-waktu terperosok dalam kehancuran akibat situasi geopolitik perang dingin saat ini, baik karena kelemahan bersikap maupun karena hal-hal yang tidak terduga (unprecedented). Semua komponen bangsa harus bersiap diri. rmol news logo article

Direktur Sabang Merauke Circle

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA