Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Polemik Pupuk Bersubsidi

OLEH: MUHAMMAD IRVAN MAHMUD ASIA

Selasa, 26 April 2022, 05:10 WIB
Polemik Pupuk Bersubsidi
Ilustrasi/Net
KEBIJAKAN Pemerintah Indonesia memberikan pupuk bersubsidi kepada petani kecil—miskin adalah bentuk keberpihakan negara. Subsidi pupuk sedikit meringankan biaya produksi.

Selain subsidi pupuk, tentu ada faktor lain yang menentukan hasil dan produktivitas pertanian sehingga perlu realokasi sumberdaya untuk investasi barang-barang publik pertanian lain. Misalnya irigasi, layanan pemasaran, layanan penyuluhan, penelitian dan pengembangan.

Serta dukungan kebijakan harga bawah dan harga atas, harga pembelian pemerintah (HPP), kebijakan pengendalian impor pangan, kebijakan asuransi usaha tani serta kebijakan reforma agraria untuk merombak struktur penguasaan tanah, oleh karena rata-rata penguasaan tanah petani di Indonesia hanya 0,3-05 hektare.

Masalah Klasik

Pupuk subsidi selalu bermasalah, sejak pertama kali diperkenalkan tahun 1970 sebagai respon atas “Revolusi Hijau”. Pertama, kelangkaan saat musim tanam karena kuota subsidi lebih kecil dari kebutuhan petani.

Berdasarkan data Ditjen PSP Kementan RI sebagaimana juga disampaikan dalam RDP bersama Komisi IV DPR RI pada Kamis, 3 Februari 2022, kebutuhan pupuk untuk petani mencapai 22,57 sampai 26,18 juta ton atau senilai Rp 63-65 triliun dalam lima tahun terakhir.

Tetapi, pemerintah hanya mampu mengalokasikan anggaran Rp 25-32 triliun untuk alokasi pupuk 8,87 juta ton–9,55 juta ton, atau hanya terpebuhi 37–42 persen dari total kebutuhan petani.

Sebagai informasi, pada 2021, penyaluran pupuk bersubsidi yang terealisasi mencapai 7,76 juta ton, atau 88,45% dari target 8,78 juta ton.

Sedangkan realisasi anggaran subsidi pupuk mencapai 93,45% dari pagu sebesar Rp 29,05 triliun. Pada 2022, alokasi anggaran pupuk bersubsidi mencapai Rp 25,28 triliun untuk 9,11 juta ton pupuk.

Antara kebutuhan dari petani 100%, sementara yang bisa dipenuhi hanya 35%, maka jelas tidak sebanding antara permintaan dan penawaran.

Saat keterbatasan alokasi, penyalurannya pun masih lebih banyak terarah untuk petani padi. Biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk program subsidi pupuk, baik fiskal dan ekonomi lebih besar dari pada manfaat yang dicapai dalam produksi.

Dan ini sudah dikeluhkan pemerintah sejak era SBY, di mana Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan subsidi pupuk puluhan triliun tidak sebanding dengan hasil. Hal yang kemudian disampaikan Presiden Joko Widodo pada 12 Januari 2021 yang kesal terhadap program pupuk bersubsidi menghabiskan Rp.30 tririlun tetapi hasilnya tidak setimpal.

Kedua, sering ditemukan di lapangan terjadi keterlambatan penginputan data petani di sistem e-RDKPP, sehingga panyaluran pupuk bersubsidi pun terlambat. Petani sudah mau menanam pupuk tidak tersedia.

Ketiga, penerima pupuk bersubsidi salah sasaran, seharusnya petani gurem tetapi yang mendapatkannya adalah petani dengan luas lahan di atas 2 ha yang terdaftar dalam e-RDKK.  Sekitar 65% petani kecil (lahan dibawah 0,75 ha) hanya menerima 3% subsidi pupuk, sedangkan sisanya dinikmati petani kaya.

Belum lagi banyak nama petani yang sudah meninggal dikatakan masih aktif bertani, nonpetani dikatakan petani, pindah alamat ke kabupaten/kota lain namun masih terdata sebagai petani sehingga mendapatkan jatah pupuk subsidi dan sebagainya.

Keempat, mafia pupuk subsidi dengan mempermainkan dan mengambil keuntungan besar, ada perbedaan harga yang cukup besar antara HET pupuk bersubsidi dengan harga pupuk nonsubsidi. Contoh HET Urea sebesar Rp 2.250/kg, sementara nonsubsidi Rp 12.000/kg, mafia bisa menjualnya Rp 5000–Rp 8.000/kg bahkan bisa lebih lagi. Peluang terbesar permainan semacam ini ada pada level pengecer karena pengawasannya relatif longgar dibandingkan distributor.

Petani yang kritis atau petani yang tidak mau diajak “bekerja sama” oleh perangkat desa bisa saja tidak mendapatkan pupuk bersubsidi atau tetap mendapatkan pupuk namun kuotanya dikurangi. Misalnya pupuk subsidi yang telah diputuskan Kementerian Pertanian bahwa petani A mendapatkan kuota 80 kg pupuk, pengecer bisa saja memberi hanya 20-30 kg dengan alasan habis.

Ini terjadi karena ketika pupuk subsidi tiba di kios pengecer dan atau perangkat desa langsung menjual kembali ke tempat lain dengan harga lebih mahal namun sedikit di bawah pupuk nonsubsidi. Kadangkala praktik semacam ini juga diketahui oleh distributor namun memilih diam karena mendapatkan “komisi” dari pengecer. Pola ini yang terjadi terus menerus dan implikasinya petani dirugikan, anggaran subsidi pupuk puluhan triliun menguap begitu saja.

Contoh konkret peristiwa semacam ini terlihat dari temuan Satgas Pangan Mabes Polri di wilayah distribusi Mauk dan Kronjo, Kabupaten Tangerang. Dua tersangka kasus penyalahgunaan ini adalah pemilik Kios Pupuk Lengkap (KPL).

Modusnya berbekal sistem elektronik rencana definitif kebutuhan kelompok (e-RDKK) yang terdapat daftar penerima fiktif. Bahkan, terdapat penerima yang sudah meninggal dunia (sumber: Polri Tangkap 2 Tersangka Kasus Pupuk Bersubsidi, Rugikan Negara Rp 30 Miliar - Nasional Tempo.co).

Kelima, petani kadang mengeluhkan pupuk yang mereka terima tidak memenuhi prinsip 6T yakni tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu sebagaimana dijelaskan dalam Permendag Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian.

Lima permasalahan di atas sejalan dengan temuan Ombudsman RI sebagimana terwartakan di Siaran Pers Nomor 055/HM.01/XI/2021 Selasa, 30 November 2021 terdapat lima potensi maladministrasi dalam tata kelola pupuk bersubsidi.

Yaitu pertama, tidak dituangkannya kriteria secara detil petani penerima pupuk bersubsidi dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2021. Padahal rujukan Undang-Undang (UU) yang mengatur secara langsung pupuk bersubsidi adalah UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan UU Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, serta UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Kedua, ditemukan ketidakakuratan data petani penerima pupuk bersubsidi. Pendataan petani penerima pupuk bersubsidi dilakukan setiap tahun melalui sistem e-RDKK.

Ketiga, terbatasnya akses bagi petani untuk memperoleh pupuk bersubsidi serta permasalahan transparansi proses penunjukan distributor dan pengecer resmi.

Keempat, mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi yang belum selaras dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik dan prinsip 6T yaitu tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu. Proses pengadaan, Ombudsman melihat adanya indikasi perbedaan standar minimum bahan baku pokok pupuk bersubsidi dan non subsidi. Artinya tidak memenuhi aspek keadilan dan pemerataan bagi petani.

Kelima, belum efektifnya mekanisme pengawasan pupuk bersubsidi, sehingga berbagai penyelewengan dalam penyaluran pupuk bersubsidi belum tertangani dengan baik.

Keenam, pada aspek pengawasan pupuk bersubsidi oleh Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) di tingkat pusat maupun daerah kurang berjalan secara maksimal. Karena masih ditemukan keluhan petani dimana penyalurannya tidak tepat sasaran dan penggunaan kartu tani yang kurang optimal.

Penting untuk Dipertimbangan

Untuk menyelesaikan permasalahan pertama, kedua, dan ketiga, ada dua hal penting yang harus dikerjakan yaitu: pertama, kemampuan APBN.

Jika APBN tidak bisa mensubsidi, maka pilihan agar subsidi tetap ada bisa dilakukan di hilir misalnya subsidi harga jual di tingkat petani atau subsidi bahan baku seperti yang dilakukan di Turki, kemudian dilakukan perbaikan sarana dan prasarana terutama mesin pengering, irigasi, jalan, dan jembatan.

Atau melibatkan pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran daerah untuk menutupi kekurangan kuota pupuk bersubsidi melalui APBD Provinsi maupun APBD Kabupaten/Kota juga bisa dipertimbangkan dan ini memiliki payung hukum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan Pasal 69 ayat (1) dan (2); dan kedua, agar terjadi akurasi data petani penerima pupuk bersubsidi, penting dipikirkan agar pendataan penerima pupuk subsidi dilakukan setiap lima tahun dan di evaluasi setiap tahun.

Pendataan dilakukan secara ketat dan tepat waktu, penyuluh sebagai pendamping kelompok tani harus memastikan data yang dikumpulkan benar, mulai dari by name by address sampai input e-RDKK harus dipastikan bahwa orang tersebut ada ditempat dan memenuhi kriteria.

Untuk memperkuat itu semua, sudah waktunya optimalisasi teknologi informasi suatu utilisasi teknologi dengan keharusan proses integrasi data misalnya Kartu Tani Analog diubah menjadi Kartu Tani Digital.

Permasalahan dan tantangan antarwaktu dan antartempat daerah-daerah di Indonesia bisa berbeda maka penting dilakukan mapping yang benar. Ada ketidakmertaan sarana dan prasana termasuk jaringan internet dan listrik, sampai SDM.

Contoh, apa yang terjadi di NTT akhir tahun 2021, di mana Ombudsman Perwakilan NTT menemukan beberapa masalah saat dialog dengan Kelompok Tani di Kabupaten Kupang seperti kendala dalam penerapan kartu tani di tingkat petani.

Petani belum memiliki akses informasi yang cukup terkait penggunaan kartu tani; dan saat petani mau mengadu ke Dinas Pertanian, akan tetapi Dinas Pertanian belum memiliki call center yang dapat digunakan petani untuk mengadu maupun mengakses infomasi.

Belum lagi Dinas Pertanian setempat yang memiliki keterbatasan jumlah penyuluh pertanian yang bertugas melakukan pendampingan. Dan ini terjadi ditempat lain utamanya di kawasan Indonesia Timur.

Dalam permasalahan keempat dan kelima, dibutuhkan pengawasan dari hulu-hilir. Dihulu mulai proses penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) oleh kelompok tani didampingi penyuluh yang kemudian secara berjenjang sampai pada Kementrian Pertanian untuk diputuskan dan ditetapkan jumlah anggaran dan penerima manfaat. Selanjutnya pengadaan pupuk bersubsidi oleh PT. Pupuk Indonesia.

Kemudian kegiatan verifikasi dan validasi penyaluran dilakukan secara berjenjang oleh tim verifikasi vaktual mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi hingga pusat melalui Dashboard Bank (Kartu Tani) dan sistem verifikasi dan validasi KTP berbasis android/T-Pubers.

Pengawasan di hilir berupa pelaksanaan penyaluran pupuk subsidi yang mencakup empat lini distribusi: lini pertama produsen pupuk, lini kedua distributor pupuk, lini ketiga pengecer pupuk/pemilik kios, dan lini keempat adalah kelompok tani.

Keempat lini penyaluran pupuk bersubsidi ini dilakukan sepenuhnya oleh PT Pupuk Indonesia beserta jaringan distributor pada setiap wilayah kabupaten, serta pengecer pada setiap kecamatan atau desa.

Adapula pengawasan oleh Tim Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) yang dibentuk Gubernur untuk tingkat Provinasi dan Bupati/Walikota untuk tingkat Kabupaten/Kota yang didalamnya melibatkan SKPD terkait dan aparat penegak hukum. rmol news logo article

Penulis adalah Wasekjen DPP Pemuda Tani HKTI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA