Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Media, Netizen, dan Penegakan Hukum

OLEH: BAKHRUL AMAL*

Senin, 25 April 2022, 20:54 WIB
Media, Netizen, dan Penegakan Hukum
Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta, Bakhrul Amal/RMOL
AKHIR-akhir ini masalah di dalam dunia hukum mulai menemukan babaknya yang baru. Babak dimana hukum harus berhadapan dengan masyarakat yang cair (fluid modernity), masyarakat digital.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Sama seperti dunia politik, dunia yang memang mafhum selalu menjadi incaran kamera, dunia hukum yang konon angker, ditakuti, dan berwibawa juga telah memasuki era itu.

Nyaris di hampir semua media, baik media cetak, media elektronik, hingga media sosial, pembahasan dan adu narasi perihal perkara hukum selalu ramai serta diminati. Tidak jarang beberapa bahkan menjadi trending topic seperti kasus Jessica-Mirna, Pungli, Jaksa Pinangki, Habib Rizieq, Muhammad Kace, Ratna Sarumpaet dan banyak lagi yang lainnya.

Alur pembahasan tentang persoalan hukum di berbagai media, termasuk media dimana netizen (pengguna Medsos) turut terlibat, jenisnya bermacam-macam. Dari mulai tentang korupnya dunia hukum, disparitas keadilan, bahkan desas-desus kekeliruan maupun tebang pilih di dalam penegakan hukum.

Pada beberapa momen memang perlu diakui jika keterbukaan informasi di bidang hukum ini penting. Munculnya kontrol masyarakat melalui berbagai macam media yang tersedia, jika tepat dan terukur, nyatanya dapat membantu meningkatkan profesionalitas penegak hukum. Beberapa hal yang lantas menjadi perbincangan masif pun tak jarang mampu mengubah proses penegakan hukum.

Kita bisa lihat bagaimana perkara Sekdes Nurhayati yang kemudian bebas dari jeratan hukum karena ekspresi kegeraman masyarakat. Narasi yang selalu dilayangkan ketika itu adalah "melaporkan korupsi, kok ditersangkakan".

Kita juga bisa menyimak perkara korban begal di NTB. Perkara yang kemudian memperoleh perhatian khusus kepolisian sebab adanya suara satire masyarakat tentang "melawan begal, eh malah menjadi tersangka". Itu hanya dua dari banyak contoh lain tentang bagaimana pengaruh media kemudian dapat mempengaruhi proses penegakan hukum dan meningkatkan kualitas pelayanan penegak hukum.

Munculnya produk hukum seperti upaya mendahulukan mediasi dalam kasus delik aduan di bidang UU ITE, langkah progresif dengan metode restorative justice, maupun disahkannya UU TPKS, adalah produk hukum yang bisa dikatakan jawaban dari hasil evaluasi masyarakat. Evaluasi itu disampaikan masyarakat melalui macam-macam media terkait adanya stagnasi dalam pola penegakan hukum di Indonesia.

John Grisham


Model mengungkap fakta yang komperhensif terkait dengan hukum melalui bantuan media sejatinya tidak baru-baru amat. John Grisham, sang penulis novel kawakan Amerika terkait hukum, sering menyelipkan pesan itu melalui buku-bukunya.

Salah satu karya Grisham yang paling mencolok terkait pembahasan ini mungkin adalah novel yang berjudul Rogue Lawyer (baca : Pengacara Bajingan). Novel itu gamblang memperlihatkan seorang pengacara rakyat yang bernama Sebastian Rudd yang acap kali memanfaatkan media untuk membantu mengungkap fakta.

Rudd, yang dalam novel digambarkan sebagai pengacara bajingan dan menjadi incaran penjahat, selalu bicara lugas di hadapan wartawan. Setiap ucapannya terdengar merdu di telinga masyarakat namun sumbang di telinga penegak hukum.

Rudd pernah berujar di hadapan media bahwa pertarungan di muka sidang itu tak sesuci yang dibayangkan. Menurutnya “seperti banyak sidang lain, ini bukan demi kebenaran: melainkan kemenangan”.

Keinginan untuk menang itu kemudian menurut Rudd membuat para pihak menghalalkan segala cara bahkan jika bisa membuat fakta-fakta baru untuk mengelabui pandangan masyarakat tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Di novel itu memang diperlihatkan bahwa toh tidak banyak juga yang bisa dilakukan dan diubah oleh Rudd. Suaranya memang kadang digubris namun lebih banyaknya diabaikan. Tetapi setidaknya kejujuran Rudd, digambarkan dalam novel itu, telah sukses membelalak mata publik.

Masalah Kedepan


Seperti banyak hal lainnya, sinergitas antara peran media, netizen dan dunia hukum tidaklah selalu berbuah manis. Tidak selalu mencapai tujuan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan di dalam upaya penegakan hukum yang baik dan transparan.

Beberapa kasus yang terlanjur "diviralkan", yang kadang tak memperhatikan pentingnya cover both side di dalam pemberitaan, justru tidak sedikit malah mengganggu proses penegakan hukum. Terlebih kemudian, untuk memikat banyak emosi massa, narasi yang digunakan itu menggunakan narasi populis.

Semisal narasi "melawan pungli malah ditahan" beberapa waktu lalu di Bogor. Masyarakat geram dan memandang bahwa penegak hukum tidak kredibel.

Ternyata, fakta yang terungkap justru kasus itu benar pengeroyokan murni. Prosedur penetapan tersangka yang disoal pun telah diuji melalui sarana pra peradilan dan tidak terbukti.

Adapula kasus dugaan pembunuhan salah satu wartawan media televisi ternama. Narasi yang muncul ke permukaan adalah wartawan itu diduga dibunuh untuk dibungkam.

Analisa liar bermunculan dan memunculkan asumsi yang menyudutkan salah satu pihak. Kepolisian pun diragukan.
Akhirnya, melalui langkah scientific evidence, terbukti wartawan tersebut ternyata meninggal karena bunuh diri. Bunuh diri yang dilakukan secara matang dan penuh perhitungan.

Dia, wartawan media tadi, memiliki rentetan permulaan aksi dari mulai adanya masalah hubungan asmara, kelainan medis, membeli pisau di supermarket, meminum amfetamin, hingga akhirnya mengakhiri hidup di tempat yang jauh dari jangkauan.

Kasus yang paling bombastis dan sulit ditakar nalar mungkin adalah kasus Ratna Sarumpaet. Beritanya telah beredar, dikomentari hingga viral, dan dipercaya publik bahwa dia tak lain adalah korban politik. Sebab pilihan politiknya itulah dia dipukuli hingga babak belur.

Nahas, ternyata itu hanya tipu muslihat belaka sebab fakta sesungguhnya terkait benjol-benjol yang nampak diwajahnya itu adalah bekas operasi. Akhirnya kebohongan publik itupun harus dipertanggungjawabkan di meja hijau.

Inilah problem ke depan. Problem klasik yang berulang-ulang terjadi karena beberapa motif. Alih-alih menjadi sarana suara kebenaran, tidak jarang media dan netizen malah terjebak pada kepentingan.

Kepentingan yang kemudian politis yang kental dengan pameo "di dunia normal anda pasti akan mati namun kematian itu anda rasakan hanya sekali, tetapi di dalam dunia politik anda bisa mati berkali-kali".

Tantangan

Persoalan ini merupakan tantangan baru media dan netizen dalam keterlibatannya membantu masyarakat di dunia hukum. Tantangan ini perlu dijawab dengan serius dan tidak sekadar mencari sensasi seperti kasus Jack the Ripper pada tahun 1888 silam di London.

Media dan netizen harus lebih bijak dan menghindari turut serta berselancar dalam gelombang asumsi. Sebab semua perkara itu bisa selesai tetapi ingatan dan mental itu terkadang menetap dan kemudian menjadi keyakinan.

Jika penyampaian pendapat dan keyakinan yang ditanamkan itu adalah keyakinan yang buruk maka dampak buruk itu akan berakibat pada keburukan-keburukan lainnya. Dampaknya mungkin tidak sekarang tetapi nanti.

Cara yang benar dalam menjawab tantangan itu adalah media dan netizen harus open minded terhadap hukum, dari mulai aturan beserta istilah-istilahnya, dan tidak mudah terjebak pada aktor berfollower banyak ataupun narasi-narasi yang terkesan populis.

Media dan netizen harus konsisten dan berpegang teguh pada keyakinan bahwa yang benar dalam sebuah proses penegakan hukum adalah kesatuan antara fakta dan alat bukti.rmol news logo article

*Penulis adalah Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA