Selamat Idul Fitri
Selamat Idul Fitri Mobile
Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Nasib Nelayan Diujung Tanduk

OLEH: MUHAMMAD SUTISNA*

Jumat, 08 April 2022, 23:20 WIB
Nasib Nelayan Diujung Tanduk
Ilustrasi nelayan Indonesia/Net
PEMERINTAH menetapkan Hari Nelayan Nasional pada tanggal 6 April 1960. Artinya sudah 62 tahun Hari Nelayan Nasional diperingati. Namun demikian hingga saat ini nelayan kita kerap menghadapi permasalahan klasik yang tak ada ujungnya. Dampaknya nelayan kita hari ini jauh dari kata sejahtera.

Padahal menurut Bung Karno, Nelayan merupakan bagian penting dari soko guru revolusi. Dimana nelayan harus bisa berdiri di atas kaki sendiri, sebagai tulang punggung perekonomian maritim.

Namun beberapa permasalahan sepertinya masih menghantui para nelayan, kurangnya akses modal, kapal yang masih sederhana, peralatan tangkap yang terbatas, hingga sulitnya nelayan mendapatkan akses pembelian BBM menjadi masalah yang terus bergulir.

Situasi sekarang semakin kompleks, ketika terjadinya kelangkaan BBM di seluruh daerah. Dampaknya pada nelayan kita. Mereka tak bisa melaut dan harus membatasi aktivitas melautnya karena tak kebagian bahan bakar.

Bila merujuk pada pernyataan yang diungkapkan Ketua Harian Komite Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan. Berbelitnya prosedur yang mengharuskan nelayan wajib menyertakan surat rekomendasi agar bisa membeli BBM di SPBU, namun tak semua nelayan bisa mendapatkan akses tersebut.

Imbas dari rumitnya administratif itu, para nelayan membeli BBM di eceran yang cenderung mahal dari harga normal di SPBU. Kondisi ini yang menyebabkan nelayan harus membatasi jumlah pembelian BBM dan mengurangi daya jelajahnya dalam melaut. Tentunya hal ini mempengaruhi jumlah tangkapan dan ketersedian hasil laut di pasaran.

Nelayan kita juga kerap menghadapi berbagai macam dilema, selain harus berjibaku dengan tingginya biaya melaut, nelayan juga kerap masalah seperti krisis iklim dan ekpansi industri ektraktif di wilayah pesisir, laut, serta pulau pulau kecil.

Krisis iklim berdampak pada perubahan cuaca yang tidak bisa diprediksi, apabila cuaca tidak bersahabat otomatis nelayan tidak bisa pergi melaut. Selain memperburuk cuaca, gelombang di laut menjadi semakin tinggi akibat krisis iklim. Kondisi ini memaksa nelayan untuk tidak melaut.  

Akibat krisis iklim, nelayan di Indonesia hanya bisa pergi melaut selama 180 hari atau enam bulan dalam satu tahun. Hal ini memperburuk kehidupan sosial dan ekonomi nelayan di Indonesia.

Belum lagi banyaknya nelayan yang harus meregang nyawa akibat nekat melaut, karena desakan ekonomi. Karena kalau tidak melaut, mereka tidak bisa makan.

Masalah lain yang menghantui nelayan adalah maraknya penambangan di wilayah perairan, menyebabkan lebih dari 35 ribu keluarga nelayan di Indonesia kehilangan ruang hidupnya. Selain itu, sebanyak 6.081 desa pesisir kawasan perairannya telah tercemari limbah pertambangan.

Belum lagi ekses dari kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang pada awal 2022. KKP mulai menerapkan kebijakan penangkapan ikan terukur dengan sistem kuota dan zonasi wilayah penangkapan. KKP memiliki tujuan meningkatkan PNPB, meningkatkan perekonomian nelayan dan industri perikanan sekaligus menjaga keberlanjutan ekosistem kelautan.

Meski demikian, kebijakan ini belum sepenuhnya berdampak positif bagi nelayan tradisional. Bahkan disinyalir hanya menguntungkan pelaku industri perikanan skala besar. Artinya, kebijakan KKP itu semakin membuat kondisi nelayan terkatung-katung.

Dari berbagai macam permasalah tersebut banyak dari nelayan di Indonesia yang menggantungkan jalanya. Bahkan bila merujuk data Walhi, jumlah nelayan di Indonesia terus mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir.

Data Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2021, pada tahun 2010 jumlah nelayan tercatat sebanyak 2.16 juta orang. Namun pada tahun 2019 lalu, jumlahnya tercatat hanya 1.83 juta orang. Dengan demikian, terdapat penurunan jumlah nelayan sebanyak 330.000 orang dalam sepanjang tahun 2010–2019.  

Tentunya sangat ironi melihat kondisi hari ini, bila melihat Indonesia sebagai negara maritim yang luas wilayahnya sebagian besar adalah perairan akan tetapi nelayan kita masih kesulitan dan hidup dalam kemiskinan.

Memang sempat ada secerca harapan dari Presiden Joko Widodo, yang menginginkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Saat pidato kenegaraannya pertama kali pada tahun 2014, Jokowi menyinggung visinya dalam memperkuat kemaritiman Indonesia.

Bunyi pernyataan Jokowi kala itu: "Kita telah lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk. Maka, mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani. Menghadapi badai dan gelombang di atas kapal bernama Republik Indonesia."

Nampaknya pidato itu hanyalah pepesan kosong belaka, karena nyatanya hari ini nelayan yang merupakan pilar penting dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, nasibnya masih terkatung katung.

Perlu Sinergitas Antarlembaga  

Kontribusi nyata nelayan dalam meningkatkan devisa negara di sektor maritim tidak bisa dipandang sebelah mata, selain itu nelayan kita juga memiliki peran sebagai alat pertahanan negara. Mereka kerap menjadi informan aparat dalam mendeteksi berbagai macam ancaman di laut seperti illegal fishing yang kerap dilakukan oleh kapal kapal asing dan aktifitas kejahatan di laut.

Maka penting bagi pemerintah untuk melakukan sinergitas antara lembaga maupun kementrian terkait. Karena masalah nelayan, bukan hanya wewenang kementerian kelautan dan perikanan saja, melainkan kementerian maupun lembaga negara lainnya bisa memiliki kontribusi dalam mensejahterahkan nelayan kita.

Salah satunya konsep yang dicanangkan oleh Kepala Bakamla RI, Laksdya Aan Kurnia melalui Konsep Nelayan Nasional Indonesia (NNI) terkait pentingnya keterlibatan Nelayan di Perairan Natuna. Bakamla memandang perlu keterlibatan nelayan di Natuna untuk bersama menjaga wilayah kedaulatan tanah air.

Konsep NNI nantinya setiap nelayan yang bergabung tidak dibekali senjata. Tetapi, NNI akan menjadi kepanjangan tangan aparat penegak hukum. Karena selain mencari ikan, Nelayan bisa menjadi agen pemerintah dalam menjaga kedaulatan. Tentunya bisa menjadi nilai tambah ekonomi bagi nelayan, karena adanya pendapatan baru.

Selain itu, masih sederhananya kapal dan alat tangkap, Pemerintah perlu menggandeng industri galangan kapal. Dimana Kementerian Perindustrian bisa menggalang para pelaku industri galangan kapal untuk bersama membangun kapal nelayan yang sesuai dengan kondisi zaman, yakni dilengkapi dengan alat gps maupun prediksi cuaca. Apalagi, berkaca dari negara lain, para nelayan tradisional sudah memiliki kapal kapal yang canggih.

Lalu terkait akses modal, dan pemasaran hasil laut yang selama ini menjadi masalah klasik. Tentunya bisa didorong melalui Kementerian BUMN, dimana perusahaan plat merah yang berada dalam sektor perikanan dan kelautan bisa lebih memperhatikan nasib nelayan.

Tentunya bila berbagai masalah yang dihadapi nelayan kini bisa diatasi dengan serius oleh pemerintah. Tentunya nelayan kita akan kembali berada di titik kejayaannya. Selain itu, kawasan pesisir yang kini identik dengan kemiskinan bisa kembali pulih menjadi pusat peradaban yang lebih maju.

Masa silam nusantara telah mengajarkan bahwa kawasan pesisir merupakan pusat kejayaan bangsa kita. Kala itu segala bentuk aktivitas ekonomi, sosial, politik dan budaya terbangun di dalam kawasan pesisir.rmol news logo article

*Penulis Direktur Maritime Strategic Center

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA