Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Penambahan Frasa dalam Sumpah Presiden

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/henrykus-sihaloho-5'>HENRYKUS SIHALOHO</a>
OLEH: HENRYKUS SIHALOHO
  • Kamis, 07 April 2022, 21:50 WIB
Penambahan Frasa dalam Sumpah Presiden
Presiden Joko Widodo/Net
SEPERTI diketahui, dalam sejarah amandemen UUD 1945, hanya amandemen I yang diputuskan dan ditetapkan pada Sidang Umum MPR 19 Oktober 1999, 3 amandemen lainnya pada Sidang Tahunan MPR masing-masing pada 18 Agustus 2000, 9 November 2001, dan 10 Agustus 2002. Menariknya, amandemen I hanya mengubah 9 pasal, sedangkan amandemen II 25 pasal, amandemen III 23 pasal, dan amandemen IV 14 pasal, 3 aturan peralihan, 2 aturan tambahan, dan penghapusan Bab IV.  

Menyangkut amandemen I, semangat amandemen I sejatinya memenuhi salah satu tuntutan reformasi, yakni amandemen konstitusi yang membatasi masa jabatan presiden. Guna mengakomodasi tuntutan itu, Pasal 7 UUD yang semula menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali,” kemudian ditambah dengan frasa “dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Selengkapnya, Pasal 7 itu berbunyi, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”

Jika didalami, tidak semua dari 9 pasal pada amandemen I yang melucuti kekuasan Presiden. Bila menurut Pasal 5 ayat (1) praamandemen Presiden ialah pemegang kekuasaan membentuk UU, Pasal 20 ayat (1) pascaamandemen mengalihkannya ke DPR. Pasal 5 ayat (1) pascaamandemen kemudian berbunyi, “Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR.” Karena menurut Pasal 21 pascaamandemen anggota DPR berhak mengajukan usul RUU, pasal ini menempatkan posisi anggota DPR serupa dengan presiden dalam hal pengusulan RUU.  

Dalam hal mengangkat duta dan menerima penempatan duta negara lain (Pasal 13), memberi grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi (Pasal 14), dan memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan (Pasal 15), tidak ada perbedaan mendasar pada ketiga pasal UUD sebelum dan pascaamandemen. Perubahan ketiga pasal dalam amandemen I sejatinya hanya memperpanjang proses presiden menggunakan kekuasaannya itu.

Selanjutnya, perihal presiden dan menteri pada Pasal 17, ia mengubah redaksional saja. Untuk Pasal 20, bila ayat (1) mengonfirmasi posisi DPR sebagai lembaga legislatif, 4 ayat yang lain berbicara proses legislasi RUU menjadi UU.

Respon Bersayap Jokowi atas Wacana Perpanjangan Masa Jabatan

Adalah Ruhut Sitompul di periode II Presiden VI SBY yang pertama kali mewacanakan presiden 3 periode pada Agustus 2010. Saat masih di Partai Demokrat, Ruhut 3,5 tahun kemudian (Februari 2016) menyatakan Jokowi tidak akan menjadi presiden bila SBY menerima usulnya.

Bila di periode II SBY Ruhut menjadi pelempar pertama wacana di atas, Johnny G. Plate menjadi pelontar pertama isu yang sama di akhir periode I Jokowi (awal Oktober 2019). Seperti diketahui, SBY dan Jokowi menolak usulan itu.

Merespon usul Johnny Plate dan yang lain soal penambahan periode tersebut, pada 2 Desember 2019 Jokowi menyebut para pengusul memiliki 3 motif: ingin menampar muka, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskannya. Senada, lewat video di YouTube Sekretariat Presiden, 15 Maret 2021, Jokowi kembali menegaskan menolak perpanjangan masa jabatan dan tak berminat menjadi presiden 3 periode.

Isi pesan Presiden VI SBY dan Presiden VII Jokowi yang sama-sama tegas menolak penambahan periode membuat orang di ring 1 Jokowi lalu mengganti isu ini dengan mewacanakan perpanjangan masa jabatan presiden 1-3 tahun. Kabarnya isu ini bukan hanya melibatkan Bahlil Lahadalia, Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, dan Zulkifli Hasan, juga Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) dan Andi Widjajanto (AW).  

Namun, respon Jokowi atas perpanjangan masa jabatan rupanya tidak sesederhana dan selugas penambahan periode. Sejumlah pihak menyatakan tanggapan presiden tidak tegas, bersayap, dan mendua sehingga membuat publik bingung dan gagal paham.

Dampak lanjutannya, hingga kini respon ini justru tidak menyetop perdebatan antara pihak yang pro dan kontra, bahkan meskipun sehari yang lalu Presiden Jokowi meminta semua pihak untuk menghentikan wacana penambahan periode atau perpanjangan masa jabatan Presiden ini.

Sejumlah pihak tetap meragukan tidak akan ada “operasi senyap dan penggalangaan (mobilisasi)” yang dilakukan oleh LBP, AW, dan lain-lain mengingat mereka tetap duduk manis dalam posisinya masing-masing.

Menurut Penulis, perdebatan ini bisa berhenti melalui 2 cara. Pertama, meminta kesediaan Jokowi menyatakan penolakan dengan lugas dan singkat sehingga mudah diingat dan dipahami publik. Kedua, ini jauh lebih cespleng, memaknai frasa “memegang teguh UUD” dalam Sumpah (Janji) presiden pada Pasal 9 ayat (1) UUD dengan menambah frasa “yang berlaku sekarang.” Sesudah penambahan frasa ini, pasal ini harus dimaknai dengan kata-kata yang berbunyi:

Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh­sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut:

Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden RI (Wakil Presiden RI) dengan sebaik­baiknya dan seadil­adilnya, memegang teguh Undang­Undang Dasar yang berlaku sekarang dan menjalankan segala undang­undang dan peraturannya dengan selurus­lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.

Janji Presiden (Wakil Presiden):
“Saya berjanji dengan sungguh­sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden RI (Wakil Presiden RI) dengan sebaik­baiknya dan seadil­adilnya, memegang teguh Undang­Undang Dasar yang berlaku sekarang dan menjalankan segala undang­undang dan peraturannya dengan selurus­ lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.


Jika cara kedua diterima, tentu publik tidak perlu lagi meminta Jokowi menegaskan responnya atas perpanjangan masa jabatan berupa pesan komunikasi yang sederhana, lugas, dan singkat. Hemat Penulis, penambahan frasa seperti di atas pada Pasal 9 ayat (1) tidak memungkinkan orang yang waras memaksakan penambahan periode atau perpanjangan masa jabatan Presiden dan tetap bermanuver, termasuk dengan mengondisikan KPU gagal melaksanakan Pemilu 14 Februari 2024.

Bila “ring 1-nya” masih bersikeras, publik layak mengingatkan Jokowi soal “utang pemerintah” yang belum lunas kepada korban dan mereka yang gugur saat reformasi. Mungkin keluarga mereka dan yang masih hidup akan mengatakan, “Pak Jokowi, alih-alih memperpanjang masa jabatan, alangkah baiknya meneladan Presiden III Habibie.” rmol news logo article

Penulis adalah Dosen Unika Santo Thomas, Medan

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA