Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Terawan dan Cuci Otak

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/trias-kuncahyono-5'>TRIAS KUNCAHYONO</a>
OLEH: TRIAS KUNCAHYONO
  • Sabtu, 02 April 2022, 23:20 WIB
Terawan dan Cuci Otak
Mantan Menteri Kesehatan, dr Terawan Agus Putranto/Net
I

SAHABAT saya di Magelang, Mas Bejo menulis begini: Tiap jagoan tampaknya perlu ironi agar tetap menunduk, merunduk, tawadhu, rendah hati.

Saya heran sekaligus kagum pada pendapat Mas Bejo itu. Lebih kagum lagi ketika dia mengutip omongan Anatole France (1844-1924), seorang penyair, novelis, sekaligus wartawan dari Prancis.

Anatole France mengatakan, la gaieté de la réflexion et la joie de la sagesse. Bersama ironi kita bisa merenung kembali dengan hati riang tentang hal ihwal yang berlebihan dan jadi bijaksana sambil tertawa. Ironi adalah pintu menuju kearifan. Pendek kata begitu.

Ketika membaca tulisan Mas Bejo itu, kok saya lantas ingat dokter Terawan Agus Putranto, yang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) diberhentikan  sebagai anggota IDI. Keputusan tersebut ditetapkan dalam Muktamar XXXI IDI di Banda Aceh, Jumat, 25 Maret 2022.

Barangkali, apa yang dialami Prof Dr dr Terawan Agus Putranto, SpRad(K) bisa dimasukkan dalam kategori ironi. Kata ironi dalam KBBI diartikan sebagai kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi, tetapi sudah menjadi suratan takdir.

Terawan jagoan. Ini kesaksian banyak orang, baik berpangkat atau tidak, baik berjabatan tinggi atau bawahan, baik tokoh nasional atau tingkat daerah, serta bukan tokoh sama sekali alias rakyat jelata.

Pendek kata, banyak orang mengakui, Terawan hebat,  jagoan. Tapi, ada juga yang  berpendapat lain disertai dengan berbagai macam alasan untuk meyakinkan pihak lain bahwa penilaiannya benar.

Ini sih soal biasa. Inilah indahnya demokrasi: berbeda pendapat (juga pendapatan) tapi tetap satu NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pendapat lain itulah yang telah menjadi landasan jatuhnya hukuman dari MKEK IDI. Palu sudah  diketok. Terawan dihukum. Inilah ironinya. Menurut berita yang beredar, ada beberapa hal yang menjadi penyebab jatuhnya hukuman itu.

Terawan dipersoalkan antara lain karena praktik komersial metode intra-arterial heparin flushing (IAHF) alias “cuci otak” untuk penderita stroke. Dan, karena melakukan promosi Vaksin Nusantara sebelum penelitiannya selesai.

Dokter ahli radiologi ini memang kondang sebagai dokter penyembuh stroke (dalam hal inipun muncul perdebatan). Banyak tokoh kondang yang memberikan kesaksian telah disehatkan oleh Terawan.

Kesaksian bukan hanya dari tokoh nasional pun banyak. Tetapi, ada yang mengatakan, dalam dunia medis kesaksian itu tak penting. Tetapi, di lain cerita, sejumlah kolega Terawan menilai metode itu belum terbukti secara klinis.

Ah, tentang hal ini, saya kurang paham. Sahabat saya di Magelang pun, Mas Bejo ketika saya tanya juga mengaku kurang paham, meski dia rajin mengikuti berbagai berita tentang Terawan.

Sahabat saya yang lain dari Madiun, Mbak Yani, yang bisa dikatakan tekun menggeluti dunia kesehatan malah mengatakan, “bau politiknya kenceng.” Saya terkaget-kaget mendengar pendapatnya itu. Apalagi, Mbak Yani paling tidak suka politik.

Apa iya “berbau politik?” atau bukan sebaliknya, “politik bau?” Atau mungkin seperti dikhawatirkan mantan Menkes Siti Fadilah Supari, tindakan pemecatan itu ada hubungannya dengan bisnis. Tidak tahulah.  

Yah, memang sekarang itu semua selalu “dikaitkan” (sebisa mungkin) dengan politik. Karena, politik yang kata orang itu kotor, sekarang ini tampak “cantik jelita” memesona siapa saja yang memandangnya; memikat dan menarik siapa saja yang punya nafsu bergelut dengan politik.

II

Terlepas dari soal politik yang “cantik jelita” itu, yang pasti, karena dokter Terawan, maka istilah brainwashing, cuci otak  menjadi viral, jadi bahan pembicaraan  menarik, akhir-akhir ini. Tidak hanya kalangan medis atau dokter spesialis saja yang ngomongin soal cuci otak, yang juga berlomba-lomba menjelaskan, membeberkan pandangan mereka di media sosial dengan sangat halus maupun kasar, tapi juga   masyarakat umum.

Terjadi adu kepinteran lewat media sosial untuk menjelaskan soal “cuci otak.” Ada yang bisa mendudukkan perkaranya, ada yang justru membuat bingung pembaca, ada yang nulis disertai ketidak-sukaan, ada yang nulis disertai emosi, dan ada yang sekadar ingin numpang populer. Dah, pokoknya macam-macam.

Ini semua gegara Dokter Terawan, dijatuhi sanksi: diberhentikan sebagai anggota IDI.

Soal cuci otak, ada pendapat yang menyatakan dalam bidang medis yang dimaksud brainwashing adalah hampir sama dengan istilah DSA (Digital Substraction Angiography) otak. Jadi penamaan brainwashing sebetulnya kurang begitu tepat untuk istilah kedokteran (Bethsaida).

Kata Handrawan Nadesul (Kompas, 7 April 2018), mungkin tepat disebut brain flushing atau kuras otak. Ibarat pipa leding berkarat, pembuluh darah perlu digelontor. Jadi semacam pengurasan pembuluh darah otak.

Itu kalau di dunia medis. Istilah brainwashing, kata Edward Hunter (1902-1978), dipungut dari China. Bukan untuk urusan medis, lebih politik-ideologis. Ada sejarah panjang sampai akhirnya cara itu digunakan oleh rezim komunis Beijing, Uni Soviet, dan Korea Utara untuk “mengolah” otak rakyat negeri itu.

Kata Edward Hunter yang memopulerkan kata brainwashing, istilah brainwashing diambil dari bahasa Mandarin xi-nao: xi (wash, mencuci) dan nao (brain, otak).

Menurut Philip S Naudus (2021) ungkapan China ini diturunkan dari ajaran Buddha dan Tao tentang pembersihan mental. Jika seseorang kembali dari perjalanan yang membuka mata, akan dikatakan bahwa otaknya telah dicuci.

Sebenarnya, sepuluh hari, 14 September 1950, sebelum Edward Hunter menulis tentang brainwashing di Miami News sudah ada orang lain yang mengemukakannya. Yakni, seorang novelis yang juga propagandis, Paul Linebarger.

Menurut Charlie Williams, yang menemukan tulisan Paul Linebarger saat menyusun disertasi, istilah tersebut ditemukan Paul Linebarger saat mengobservasi Semenanjung Korea di awal Perang Korea (1950-1953).

Paul Linebarger  menggambarkan apa yang dilihat sebagai proses tanpa henti yang disebut dengan sebutan  "brainwashing” Dengan cara ini, para interogator komunis berusaha mengubah orang-orang China dan Korea tunduk pada otoritas komunis (Charlie Williams, 2021)

Dalam rumusan Edward Hunter, proses cuci otak ini  “mengubah secara radikal (isi otak) sehingga pemiliknya menjadi boneka hidup—robot manusia—yang tampaknya dari luar tidak ada kesan kejam.” Jadi, pada awal mulanya brainwashing berarti indoktrinasi intensif Maoisme dan penindasan kejam terhadap ideologi politik alternatif.

Karena itu, Hunter yang dikenal sebagai wartawan, penulis, tukang propaganda, dan agen dinas rahasia AS ini mengingatkan bahayanya cuci otak ini. Hunter menyatakan polisi rahasia China dan Uni Soviet mengembangkan teknik yang hebat ini untuk memanipulasi otak,

Proses cuci otak ini adalah “mengubah secara radikal (isi otak) sehingga pemiliknya menjadi boneka hidup—robot manusia—yang tampaknya dari luar tidak ada kesan kejam.”

Tentu, “cuci otak” yang dilakukan Terawan, tidaklah demikian. Paling tidak Handrawan Nadesul menyebutnya brain flushing, kuras otak.

III

Soal cuci otak ini, sahabat saya Ken Setiawan, pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, pernah bercerita. Kata Ken yang pernah menjadi korban cuci otak NII, anak-anak muda ya laki, ya perempuan dicuci otaknya tidak hanya agar benci pada negara, bahkan pada orangtuanya sendiri.

Jadi, ini sesuai dengan pengertian yang disodorkan Merriam-Webster. Brainwashing adalah indoktrinasi paksa untuk mendorong seseorang melepaskan keyakinan serta sikap politik, sosial, atau agama dan untuk menerima ide-ide yang baru bertentangan (www.merriam-webster.com)

Otak mereka dibersihkan dari segala macam pikiran lama, pandangan lama, keyakinan lama, dan juga ideologi lama digantikan dengan semua yang serba baru: pikiran, pandangan, keyakinan, dan ideologi.

Misalnya, kata Ken, mereka tidak boleh mengakui NKRI, tidak boleh mengakui Pancasila sebagai ideologi dan dasar bangsa, juga dilarang mengakui UUD 1945 sebagai dasar negara.

Menyanyikan lagu Indonesia Raya juga dilarang. Demikian juga patuh dan menghormati orangtua, dilarang. Mereka dicekoki agama dan nilai-nilai agama versi para pencuci otak.

Ini, tentu juga beda bahkan sangat berbeda dengan  DSA (Digital Substraction Angiography) dan juga cuci otak dokter Terawan. Yang satu urusan medis, yang satunya lagi urusan idiologi-politik. Ya, nggak ketemu.

IV

Maka benar yang dikatakan Anatole France, bersama ironi kita bisa merenung kembali dengan hati riang tentang  hal ihwal yang berlebihan; dan jadi lebih bijaksana…. dan selalu ingat bahwa in omnibus caritas, dalam segala hal bermurah hati meskipun ironis…..

Tetapi, sayangnya, di negeri ini terlalu banyak ironi… rmol news logo article

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA