Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Angkringan Pak Wongso

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/trias-kuncahyono-5'>TRIAS KUNCAHYONO</a>
OLEH: TRIAS KUNCAHYONO
  • Senin, 21 Maret 2022, 23:28 WIB
Angkringan Pak Wongso
Ilustrasi/Net
MALAM kemarin, saya kirim WA ke Mayong, sahabat sejak puluhan tahun lalu. Sebenarnya, kakaknyalah yang teman SMP saya di SMP Pangudi Luhur, Yogya.

“Den, sampeyan masih ingat enggak nama penjual angkringan di perempatan Wirobrajan,” tulis saya di WA. Saya selalu panggil dia Den, nggak tahu kenapa. Dia panggil saya Kang.

“Pak Wongso,” jawabnya singkat. Lalu dilanjutkan, “Cothote enak, werno abang. Nek ngejogi wedang karo turu, sok luput seka gelase.”

Betul, sambil nungguin dagangannya, mata Pak Wongso selalu terpejam, terkantuk-kantuk apalagi kalau malam. Maka, ketika ada pelanggan yang minta nambah teh, dengan mata tetap tertutup, Pak Wongso ngangkat teko blirik yang bagian dalamnya sudah coklat kehitaman lalu menuangkan ke gelas. Dan, kerap kali meleset…air tidak masuk gelas.

“Eeeee, Pak meleset…,” teriak pelanggan lalu tertawa, pelanggan lain pun ikut tertawa. Pak Wongso masih dengan mata terpejam menjawab pelan seperti bergumam, “Enggih, to….”

Dia tidak melihat sama sekali pelanggannya ngambil dan makan apa, berapa. Dia percaya saja pada kejujuran para pelanggannya. Walau ada yang makan tiga tempe goreng, ngaku makan dua. Tetapi, pada umumnya, para pelanggannya juga jujur.

Kejujuran itulah yang menjadi modal utama Pak Wongso dalam bisnis angkringan. Kejujuran merupakan cerminan karakter.

Karakter Pak Wongso, yang ketika itu, awal tahun 70’an, berusia 60 tahunan. Kejujuran Pak Wongso mempengaruhi para pelanggannya. Para pelanggan malu diri kalau berbohong, kalau “nggabrul”, makan tiga tempe goreng tapi hanya ngaku dua, misalnya.

II

Kata orang bijak “Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya.” Maka ada musang berbulu domba.

Tetapi, mengapa sekarang ada yang mengatakan bahkan percaya bahwa orang jujur akan hancur. Apalagi, dalam pekerjaan sekarang ini banyak karyawan yang mengorbankan nilai-nilai kejujuran dalam hidupnya karena tuntutan ekonomi. Katanya.

Orang yang waras akan mengatakan, ”Ah, itu alasan yang dicari-cari. Tidak jujur, ya tidak jujur. Itu karakter, bawaan orok.”

Itulah sebabnya, orang mengatakan bahwa saat ini susah mencari orang jujur. Ditangkapnya begitu banyak orang karena korupsi, menjadi buktinya. Korupsi adalah wujud tindakan tidak jujur, meski ada yang bangga bisa korupsi. Dunia ini—eh atau masyarakat kita—memang aneh: wong korupsi kok bangga.

Pada hakikatnya, sikap jujur adalah sikap yang apa adanya, tanpa adanya kepentingan-kepentingan tertentu. Nah, ini yang juga sulit: bersikap apa adanya; bukan pulasan.

Bersikap apa adanya itu sulit—bahkan sangat sulit—apalagi di dunia politik sekarang ini. Sebab, politik itu soal citra. Rakyat melihat apa adanya, tetapi tidak melihat kebenarannya. Itulah yang terjadi dalam politik citra, politik gincu.

Strategi pencitraan dilakukan melalui banyak cara antara lain iklan politik, baliho, poster, spanduk, dan juga blusukan banyak kita saksikan. Bila sukses membangun pencitraan akan mendongkrak keuntungan politik.

Citra politik yang terbentuk di benak publik, tidak selamanya sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Sebab,  mungkin citra itu hanya sama dengan realitas media atau realitas buatan media, yang disebut juga sebagai realitas tangan kedua (second hand reality).

Dalam politik citra, tentu tidak ada kejujuran. Semua pulasan. Kejujuran itu telah digadaikan untuk kepentingan politik; politik kekuasaan.

III

Padahal, kejujuran itu pula yang membuat suasana di angkringan terasa hangat. Karena di sana, semua orang terbuka. Mereka ngobrol apa adanya, ngalor-ngidul, membicarakan apapun mulai dari yang ringan-ringan, soal minyak goreng, soal cari kerja atau cari kontrakan.

Soal kaum seleb yang kawin cerai, pamer jumlah tabungan hingga soal politik, termasuk ngomongin para pejabat, soal penyatuan tanah dan air dari seluruh propinsi termasuk reaksinya yang macam-macam dan lebih berbau politik serta tak paham tradisi dan budaya.

Tak bisa dielakkan, kadang ngobrol yang agak-agak saru, porno, plesetan, gojek kere (istilah di Yogya mungkin juga di Solo, yakni gojek, guyon yang nggak mutu), dan tertawa lepas. Tertawa itu menyehatkan, menaikkan imun. Begitu kredonya sekarang ini.

Yang menyenangkan, tidak ada yang tersinggung dengan gojekan atau omongan orang lain. Semua ditanggapi dengan tertawa. Untuk tidak tersinggung dibutuhkan kerendahan hati, rendah hati, tawadhu’.

Di angkringan, semua orang sama derajatnya. Mau tukang becak, tukang ojek,  mahasiswa, pegawai kantoran, pegawai bank, dokter, tentara, polisi, hakim, jaksa, budayawan, ulama, tokoh masyarakat, atau siapa pun tidak ada yang diistimewakan. Hak dan kewajibannya sama; seperti one man one vote, dalam pemilu.

Suasana seperti itulah yang membuat orang rindu nongkrong di angkringan. Seperti di kafe-kafe di kota-kota Timur Tengah.

Kata sejarawan Mark Pendergrast, revolusi Perancis (1789) dan Amerika direncanakan di kafe. Tetapi, di sini tak perlu meniru mereka. Dulu ceritanya, di kafe di Paris tokoh-tokoh seperti Marat, Robespierre, Danton, Hébert, Napoleon, dan Desmoulins ngobrol. Di kafe-lah muncul pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan brilian.

Di angkringan orang bisa bebas ngobrol sambil makan makanan rakyat. Bisa milih: ada tempe goreng, tahu goreng, mendoan, bahwan, pisang goreng, ketela goreng, dan tahu isi.

Ada juga sego kucing, sego bandeng, indomi rebus, sate kere, sate telur puyuh, sate keong, sate jeroan, juga kerupuk dan karak. Mau minum? Ada teh nasgitel (panas legi, dan kentel), teh pahit, kopi biasa, kopi joss, kopi susu, wedang jahe, susu jahe, wedang uwuh, tinggal pilih. Semua murah, harganya berkisar antara Rp 500 sampai Rp 5.000.

Suasana sangat khas. Bisa dikatakan suasana di angkringan tak tergantikan oleh kafe-kafe yang mahal, yang berpendingin udara. Maka orang selalu rindu untuk datang kembali “ngangkring” walau sekadar untuk minum teh atau kopi atau jahe, seharga Rp 5.000.

Tidak berlebihan kalau dikatakan angkringan tidak  hanya sekadar tempat mengisi perut secara murah. Tetapi, angkringan adalah tempat sosialisasi antar-warga. Angkringan adalah simbol egaliter antar-warga masyarakat, antar-manusia.

Filosofi angkringan itu sangat penting di zaman sekarang ini yang serba terkotak-kotak baik secara suku, ras, agama, bahkan politik. Pengkotak-kotakan ini yang menimbulkan konflik dan perpecahan. Dan edannya lagi, ada yang “sengaja” mengkotak-kotakkan.

Kita masih ingat bagaimana masyarakat Jakarta terpecah pada Pilkada 2017. Kepentingan politik dan nafsu akan kekuasaan yang menjadi penyebabnya. Hal yang sama—bahkan lebih dahsyat—terjadi saat Pemilu 2019.  

Bukan mustahil, pada Pemilu 2024 hal yang sama akan berulang. Selama politik hanya diartikan sebagai cara untuk merebut kekuasaan bukan mengabdi pada bangsa dan negara untuk mewujudkan sebuah bonum commune, kemaslahatan bersama, maka menghalalkan segala cara akan dilakukan. Termasuk mengkotak-kotak dan memecah belah bangsa. Tanda-tanda ke arah itu sudah terlihat.

Semestinya, seperti di angkringan, kita semua harus menerima keanekaragaman dan memunculkan sikap toleransi terhadap perbedaan-perbedaan apa pun yang ada di negeri ini.

Tetapi, sekarang ini selalu ada yang sengaja menonjol-menonjolkan, meneriak-neriakan perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat, bukan kesamaannya. Yang berbeda dianggap musuh dan harus dimusuhi. Mereka selalu “ber-kami” bukan “ber-kita.”

Mereka itu lupa atau sengaja melupakan bahwa bangsa ini majemuk sejak semula. Itu suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, tidak dapat dihilangkan. Kalau dipungkiri dan dihilangkan, hilang pula negeri yang namanya Indonesia.

Karena itu, semoga tidak  ada yang ingin menghilangkan Indonesia yang majemuk, yang plural, yang multikultural, yang bhinneka, yang menghormati kesetaraan, yang mengutamakan persatuan dan persaudaraan, yang saling toleran, dan saling menghormati, dan yang bersatu.

Maka, sekali-kali, nongkronglah di angkringan Pak Wongso atau penerusnya atau angkringan manapun—yang di Solo dikenal dengan nama HIK yakni hidangan istimewa kampung—milik siapapun untuk merasakan keindonesiaan kita, kemajemukan, keegaliteran bangsa ini.

Semoga masih ada. rmol news logo article

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA