Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tanda Pangkat Polisi Dicabut Massa di Surabaya

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/djono-w-oesman-5'>DJONO W OESMAN</a>
OLEH: DJONO W OESMAN
  • Selasa, 15 Maret 2022, 11:54 WIB
Tanda Pangkat Polisi Dicabut Massa di Surabaya
Ilustrasi pengeroyokan/RMOL
EMPAT polisi amankan maling motor di Surabaya. Justru, bonyok dimassa. Tanda pangkat di seragam, 'dadal' dicabut paksa. Ini dibenarkan Kapolsek Tambaksari, Kompol M Akhyar kepada pers, Senin (14/3).

Kompol Akhyar: "Betul. Kejadian di Jalan Setro Tengah, Tambaksari, Surabaya pada Rabu, 9 Maret 2022."

Polisi yang dimassa, Aipda Joko Nugroho dan 3 anggota unit lantas Polsek Tambaksari. Mereka mengalami luka di bagian wajah.

Ia jelaskan kronologi. M Daffa Fadhullah menjual motor Suzuki Crystal via Facebook. Diminati Yusuf. Mereka kemudian sepakat bertemu untuk transaksi.

Setelah ketemu, Yusuf mencoba (test drive) motor. Langsung digondol, kabur.

Esoknya, Yusuf menjual motor itu lewat Facebook pula. Terpantau Daffa. Langsung menawar motor tersebut. Meminta bertemu untuk transaksi. Yusuf setuju. Asal, ketemu di wilayah Margomulyo, Tandes, Surabaya Barat.

Begitu mereka bertemu, Daffa menyeret Yusuf ke Jalan Setro Tengah.

Setiba di Setro, Daffa meneriaki Yusuf maling. Spontan, warga menghajar Yusuf. Saat itu ada warga yang telepon polisi. Datanglah empat polisi, yang jadi sasaran amuk massa.

Kompol Akhyar: "Memang, saat proses evakuasi sudah terlanjur banyak warga datang. Anggota kami dikeroyok massa dari massa di arah belakang dan samping. Tiga anggota kami tanda pangkatnya hilang ditarik massa."

Tersangka Yusuf sudah diamankan. Sedangkan, warga yang mengeroyok polisi, belum diproses.

Main hakim sendiri. Melanggar KUHP Pasal 351, 170, dan Pasal 406. Palaku diancam dengan hukuman lima tahun penjara.

Walaupun, yang dihakimi massa adalah tersangka tindak kejahatan (Yusuf).

Parahnya, massa tahu dan paham, empat polisi berseragam tiba di lokasi dalam melaksanakan tugas negara. Dimassa juga. Sampai babak-belur.

Tindak kekerasan terhadap aparat kepolisian yang sedang bertugas, diatur dalam KUHP Pasal 212 KUHP.

Orang yang melakukan kekerasan terhadap aparat yang sedang bertugas secara sah, diancam hukuman penjara 1 tahun 4 bulan dan denda paling banyak Rp 4,5 juta.

R. Soesilo dalam bukunya: "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya, Lengkap Pasal Demi Pasal" (Politeia, 1991) menjelaskan itu, begini:

"Massa yang merebut orang yang ditangkap polisi, dari tangan polisi, adalah perbuatan kekerasan. Orang ditangkap oleh polisi, atau diperintahkan untuk ditangkap oleh polisi, adalah orang dalam penguasaan polisi selaku aparat. Maka, kekerasan (oleh massa) terhadap orang yang ditangkap polisi, atau termasuk terhadap polisi sendiri, adalah tindak kekerasan penganiayaan."

Artinya, masyarakat selain dilarang main hakim sendiri terhadap terduga penjahat, juga wajib mempercayakan orang yang terduga bertindak kejahatan, kepada polisi.

Dilanjut: "Orang (massa) yang melawan harus mengetahui, bahwa ia atau mereka melawan kepada pegawai negeri, aparat (bisa dilihat dari pakaian seragam, atau tanda-tanda, atau surat legitimasi), tetapi tidak perlu bahwa orang itu harus mengetahui pegawai negeri itu sedang bekerja dalam melakukan pekerjaan jabatannya yang sah."

Intinya, kejadian seperti ini selalu berulang, sejak dulu sampai sekarang. Terbaru, terjadi pada Wiyanto Halim, 89, nyetir mobil sendiri, Minggu (23/1) pukul 02.00. Di Cakung, Jakarta Timur.

Kronologi kejadian versi polisi. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Endra Zulpan, di konferensi pers, Selasa (25/1) menjelaskan:

Mobil Wiyanto melaju, dini hari itu. Di Jalan Cipinang Muara, menyenggol motor yang juga melaju. Wiyanto tidak berhenti. Ia dikejar pemotor, sambil teriak maling.

Kombes Zulpan: "Pemotor merasa dirugikan, karena mobil korban tidak berhenti."

Makin lama pengejaran, semakin banyak pemotor ikut mengejar. Semua teriak maling. Videonya beredar di medsos. Pengejaran berlangsung cukup lama. Mobil dikepung motor, kiri-kanan-belakang.

Mobil Wiyanto bukannya ke jalan besar, malah masuk jalan-jalan kecil di komplek industri Pulogadung. Akhirnya terjebak di Jalan Pulau Kambing. Berhenti.

Massa beringas memukuli kaca mobil dengan batu dan balok kayu. Pintu mobil dibuka paksa, Wiyanto dihajar. Lalu diseret keluar mobil. Dihajar. "Sampai kepalanya hancur," kata pengacara keluarga Wiyanto, Freddy.

Kemudian massa bubar, Wiyanto tergeletak, mobil hancur total. Polisi datang ke lokasi, membawa Wiyanto ke RS Cipto Mangunkusumo. Dokter menyatakan, Wiyanto sudah meninggal.

Ternyata, Wiyanto bukan maling. Mobil Escudo yang dikemudikan, terbukti miliknya sendiri.

Kejadian di Jalan Setro Tengah, Surabaya, massa sampai mencabut tanda pangkat tiga, dari empat polisi. Simbol polisi. Yang bisa ditafsirkan sebagai perasaan tidak suka massa pada polisi.

Itu menimbulkan dua dugaan:

1) Polisi tidak mengantisipasi amuk massa di saat bertugas. Sehingga ketika terjadi amuk massa, polisi tidak siap.

2) Rasa tidak percaya publik terhadap penegak hukum. Misal, pelaku kejahatan dihukum (dirasa masyarakat) terlalu ringan. Dan polisi sebagai ujung tombak penegakan hukum, jadi korban. rmol news logo article

Penulis adalah Wartawan Senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA