Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sumpah Presiden

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/henrykus-sihaloho-5'>HENRYKUS SIHALOHO</a>
OLEH: HENRYKUS SIHALOHO
  • Sabtu, 12 Maret 2022, 17:34 WIB
Sumpah Presiden
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo/Net
WALAUPUN UUD 1945 sudah diamandemen 4 kali berturut-turut pada 1999, 2000, 2001, dan 2002 dan berlaku sejak 2004, Sumpah Presiden dan Wakil Presiden seperti termaktub pada Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 tidak pernah berubah.

Selengkapnya, sumpah itu berbunyi, “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden RI (Wakil Presiden RI) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”

Dalam wacana penambahan periode jabatan atau perpanjangan masa jabatan sepertinya bunyi sumpah Presiden, khususnya pada frasa “memegang teguh UUD” luput dari perhatian publik.

Bila tidak ada kesepakatan makna frasa tersebut, wacana di atas tetap akan muncul atau berpotensi mengundang pemegang kekuasaan dan/atau orang-orang di sekelilingnya untuk “bergerilya” sehingga penambahan periode atau perpanjangan masa jabatan terjadi.

Meski bunyi sumpah tidak berubah, setiap orang yang berakal sehat minimal memahami bahwa setiap Presiden seyogianya memegang teguh UUD yang berlaku pada saat ia disumpah, bukan UUD 1945 sebelum amandemen atau hasil amandemen V.

Artinya, SBY dan Presiden Jokowi tidak boleh lagi menjabat Presiden setelah 20 Oktober 2024, sekalipun UUD hasil amandemen berikutnya mengalami perubahan. Bahkan, untuk tidak melanggar sumpah, Presiden Jokowi juga tidak boleh mengalami perpanjangan masa jabatan sekarang, apa pun alasannya, termasuk jika MPR nantinya menyetujui perpanjangannya.

Berbeda dengan SBY dan Jokowi, Megawati (atau tokoh lainnya) bila mencalonkan diri dan terpilih pada 2024, bisa menjadi Presiden 2 periode, bahkan 3 periode, bila ia disumpah menurut UUD yang mengamanatkan seperti itu.
 
Menilik Respons Presiden dari Taksonomi Bloom

Merujuk pada taksonomi yang dibuat Benjamin S Bloom pada 1956, untuk tujuan pendidikan Bloom membaginya dalam 3 ranah (kognitif, afektif, dan psikomotor).

Berdasarkan hierarkinya, secara rinci Bloom menyebut ranah kognitif terdiri atas 6 level, mulai dari yang terendah hingga tertinggi (pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi).

Bila ranah kognitif menekankan aspek intelektual (kecerdasan otak), ranah afektif memusatkan pada aspek perasaan dan emosi (kepekaan hati) yang mewujud pada sikap, apresiasi, dan kasih, sedangkan ranah psikomotor menonjolkan aspek motorik (keterampilan otot), seperti kemampuan mengetik cepat, berkendara, lompat jauh, dan lain-lain.

Ada juga yang menyebut ketiga ranah Bloom dengan istilah penalaran, penghayatan, dan pengamalan.

Merujuk pada sumpah Presiden, mengamini usulan penambahan periode dan/atau perpanjangan masa jabatan Presiden, sejatinya sama-sama membuat Jokowi tidak lagi memegang teguh UUD yang kini berlaku.

Yang mengherankan, meski kedua wacana itu memiliki substansi yang sama, respon Presiden pada keduanya berbeda.

Menanggapi usul penambahan periode, pada 2 Desember 2019 Presiden menyebut pengusul tersebut memiliki 3 motif: ingin menampar muka, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskannya.

Senada, lewat video di YouTube Sekretariat Presiden, 15 Maret 2021, Jokowi kembali menegaskan menolak perpanjangan masa jabatan dan tak berminat menjadi Presiden selama 3 periode.

Namun, respons Jokowi atas penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan rupanya tidak setegas penambahan periode. Sejumlah pihak menyebutkan tanggapan Presiden tidak tegas dan bersayap.

Bila respons ini dikaitkan dengan penegasan Presiden bahwa tidak ada visi menteri, yang ada itu visi Presiden, secara tersirat itu bermakna bahwa menteri tidak boleh mengeluarkan pernyataan yang menentang visi Presiden. Dengan itu Presiden mengajak menteri-menterinya untuk menyadari bahwa turunan dari visi Presiden itu adalah misi Presiden.

Seperti diketahui, definisi misi adalah hal-hal yang seyogianya dilakukan atau diselenggarakan oleh perusahaan, organisasi, atau pemerintahan (baca untuk konteks ini: Presiden).

Mengingat salah satu yang harus dilakukan Presiden untuk mencapai visinya ialah memegang teguh UUD, tentu menteri-menterinya tidak boleh menjerumuskan Presiden agar gagal mencapai visinya. Mereka tentu paham, bila melanggar sumpahnya, Presiden bisa diberhentikan di tengah jalan.

Bila dari ranah kognitif (penalaran) Bloom kita menggunakan level tertinggi, yakni penilaian, pada tempatnya kita menilai pernyataan Presiden terbaru tidak menjawab dengan tegas perihal keterlibatan Istana dalam wacana penundaan Pemilu.

Sebelum Penulis mengulik lagi lebih jauh ketiga ranah Bloom, ada baiknya Penulis mengutip lengkap respons Presiden pada Jumat, 4 Maret 2022 perihal penundaan Pemilu dan perpanjangan (masa jabatan presiden), "Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi. Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan (masa jabatan presiden), menteri atau partai politik, karena ini ‘kan demokrasi. Bebas saja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi.”

Sebagai ilmuwan yang mendalami ketiga ranah Bloom, Penulis harus mengatakan dari sisi ranah kognitif, publik yang tadinya memahami Presiden sebagai pribadi yang bersikap tegas memegang teguh UUD dengan menolak menjadi Presiden 3 periode, kini publik gagal paham dan kebingungan.

Hemat Penulis, publik wajar demikian lantaran Presiden seperti membiarkan menteri-menterinya melemparkan usul yang menimbulkan kegaduhan di tengah ketidakberdayaan negara menangani kelangkaan minyak goreng yang sudah berlangsung 4 bulan, pupuk, kenaikan harga kedelai, gula, gas elpiji, gas PGN yang naik 100%, dan lain-lain.

Mengingat persoalan yang kita hadapi bukan lagi sebatas hal-hal di atas dalam waktu dekat dan jangka panjang, termasuk dampak pascainvasi Rusia ke Ukraina, Presiden seyogianya kembali memberi pernyataan lugas dan singkat sehingga mudah diingat dan dipahami publik.

Tentu focal point pernyataan itu, sesuai sumpahnya, tetap konsisten pada kehendak tulus Presiden memegang teguh UUD yang sekarang berlaku, bukan UUD amandemen V.

Bila demikian, Presiden bukan hanya mengajak para pembantunya, tetapi juga pejabat lain untuk menjadi teladan dalam bernalar, menghayati, dan mengamalkan sumpah jabatannya. rmol news logo article

Penulis adalah Dosen Universitas Katolik Santo Thomas, Medan

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA