Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Papua dan Dialog Penyelesaian Konflik

OLEH: KHAIRUL FAHMI*

Rabu, 09 Maret 2022, 03:37 WIB
Papua dan Dialog Penyelesaian Konflik
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi/Net
APA yang terjadi di Papua adalah separatisme yang diperkuat oleh akumulasi kekecewaan. Kita menyebutnya kelompok kriminal bersenjata, namun mereka dengan bangga menyebut dirinya sebagai pejuang kemerdekaan.

Tak dapat dipungkiri, di kawasan konflik yang ditandai kegagalan dialog, maka kekerasan, teror dan perang urat syaraf akan selalu berpeluang hadir. dari kedua belah pihak, silih berganti.

Dampaknya? Korban berjatuhan, termasuk dari warga sipil. Teror dapat mengakibatkan kepanikan, ketakutan, kekacauan yang meluas dan pengungsi dimana-mana. Perang urat saraf, provokasi dapat mengakibatkan keruntuhan moril atau sebaliknya, aksi balasan.

Saya kira ini bukan soal ada atau tidak ada antisipasi. Namanya di daerah konflik, kekerasan, teror dan perang urat syaraf selalu mungkin terjadi. Bahkan dalam situasi di mana keamanan sudah disiapkan sebaik mungkin. Kerentanan dan risiko selalu menyertai, celah rawan selalu ada, kelengahan kecil juga selalu bisa menghadirkan peluang bagi lawan.

Pihak yang bersalah tentu saja yang melakukan kekejaman, membunuh para pekerja itu. Namun karena Papua adalah daerah konflik yang ditandai kegagalan dialog dan kebuntuan politik, situasinya jadi tak sederhana. Siapapun yang berada dalam spektrum kekerasan selalu akan berpeluang terlibat, entah sebagai pelaku maupun sebagai korban, termasuk para pekerja itu.

Serangan itu adalah sebuah upaya provokasi. Jadi, bereaksi atas teror dan provokasi dengan serangan balasan bukanlah hal yang positif dan akan cenderung memperkuat propaganda mereka.

Lebih baik memikirkan bagaimana supaya dialog dapat kembali terbangun dan kebuntuan politik bisa diakhiri. Tanpa itu, kekerasan dan teror akan selalu terjadi. Apalagi jika kita kemudian kembali melakukan pendekatan keras.

Penyelesaian masalah Papua bukan soal mengatasi KKB saja. Jadi kurang tepat juga jika pemerintah dianggap melakukan pembiaran. Penyelesaian masalah Papua juga bukanlah lomba lari jarak pendek. Ini adalah marathon.

Selama bertahun-tahun, kita cenderung melakukan pendekatan keras untuk menyelesaikan masalah. Namun fakta menunjukkan tingkat efektivitas dan keberhasilannya cukup rendah.

Dampaknya, "distrust" (atau social trap karena dialami kedua belah pihak) sebagai problem utama di Papua makin kuat. Kepercayaan publik pada itikad baik pemerintah sangat rendah. Warga cenderung curiga pada langkah-langkah yang diambil dalam upaya penyelesaian masalah Papua.

Bagi mereka, langkah pemerintah lebih didominasi "kepentingan Jakarta" ketimbang kepentingan warga Papua sendiri. Bagi mereka, pemerintah lebih banyak bicara dan minta didengar ketimbang mendengar dan membiarkan masyarakat bicara.

Pun sebaliknya. Pemerintah selalu mengklaim sudah berbuat banyak. Sehingga cenderung pesimis pada aspirasi, harapan dan jeritan yang disuarakan masyarakat Papua.

Nah, masalah Papua harus diselesaikan dengan cara-cara yang komprehensif, lintas sektor, mengutamakan dialog dan tidak lagi mengutamakan pendekatan keras dan militeristik.

Saya juga akan terus mengingatkan bahwa penyelesaian masalah Papua memang tidak bisa dibebankan dan memang bukan tanggungjawab TNI-Polri semata, melainkan pemerintah secara keseluruhan. Apalagi kebijakan yang ditempuh saat ini adalah "merangkul", bukan "memukul".

Apakah mudah? Tentu saja tidak. Memulai hal baru setelah kegagalan pendekatan sebelumnya memang bukan hal mudah. Tapi lebih baik mencoba ketimbang melanggengkan kekerasan di Papua.

Sebenarnya ini bukan berarti kita berharap pemerintah tidak lagi melibatkan TNI-Polri dalam penyelesaian masalah Papua. Yang kita harapkan adalah distribusi peran yang relevan.

TNI-Polri juga masih bisa berkontribusi besar dalam upaya penyelesaian itu dengan memperkuat 'soft power' melalui penguatan kapasitas pembinaan teritorial, pemeliharaan keamanan dan penegakan hukum.

Dengan begitu TNI-Polri akan lebih fokus pada tugas pokoknya menjaga kedaulatan dan menegakkan hukum di Papua. Tidak lagi dibebani berbagai urusan pemerintahan dan layanan publik yang mestinya menjadi tanggungjawab kementerian dan lembaga lainnya.

Pun jika butuh kolaborasi, ada banyak organisasi kemasyarakatan baik kepemudaan, keagamaan maupun profesi yang bisa diajak. Termasuk kelompok-kelompok yang selama ini memberi masukan kritis bagi penyelesaian masalah Papua.rmol news logo article

*Penulis adalah pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA