Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Gus Yaqut dan Kangen Band, Antara Post Truth dan Post Wrong

OLEH:ZULFIKARNAIN*

Sabtu, 05 Maret 2022, 02:30 WIB
Gus Yaqut dan Kangen Band, Antara <i>Post Truth</i> dan <i>Post Wrong</i>
Menag Yaqut Cholil Qoumas disorot publik beberapa hari ini/Net
SEMINGGU terakhir, perkataan Gus Yaqut tentang Surat Edaran yang mengatur perkara suara masjid diributkan netizen. Lalu, hampir disaat yang bersamaan, Kangen Band juga trending dengan lagu barunya berjudul ‘Cinta Sampai mati’.

Keduanya lagi hits, meski berbeda segmen, satu isu sosial politik, satunya lagi tentang musik. Namun memiliki garis kesamaan, yakni tentang bagaimana aspek emosi itu mempengaruhi atau bertentangan dengan rasio manusia Indonesia.

Gus Yaqut tengah dilibas oleh netizen berkat ucapannya di media yang dianggap kontroversial. Ia dianggap (di-framing) oleh media telah membandingkan suara azan dan gonggongan anjing.

Publik terbelah, ada yang beropini ucapan Yaqut dicap penista, melukai, bahkan menghina Islam, namun ada pula yang menilai tidak ada unsur penghinaan.

Sementara Kangen Band trending di Youtube, meski di satu sisi gaya dan tampang personilnya dicap kampungan. Dua hal ini yang saya coba ulas untuk menunjukkan bahwa pertentangan antara rasio dan rasa itu mudah terombang-ambing oleh media dan musik.

Matinya Pengarang Teks

Pertama, tentang Gus Yaqut. Netizen bahkan beberapa pakar menyudutkan adik kandung Ketua Umum PBNU ini. Namun jika ditelaah secara teks, ia menguraikan perkara ‘Bunyi’ adzan yang mesti diatur volumenya dengan batas tertentu.

Terlepas perkara agama dan keyakinan dalam teks yang diucapkannya, ia menekankan bunyi yang bisa menyebabkan kebisingan oleh pendengar sekitar. Perkara terganggu atau nyaman dengan bunyi itu soal subjektif.

Seorang pecinta musik rock, semakin nyaring semakin nyaman baginya, namun jika diputarkan lagu genre dangdut misalnya dengan volume yang sama, tentu bukan nyaman tapi akan terasa terganggu, begitu pengandaiannya. Jadi, menurut saya, Gus Yaqut membuat pengandaian seperti itu, dengan mencontohkan suara adzan dan gonggongan anjing.

Lalu kenapa diributkan? itupun sifatnya subjektif. Gus Yaqut selaku pemilik yang melontarkan ‘teks’, telah terlepas dari status sebagai pengarang, atau dalam istilah Barthes ‘Pengarang telah mati (The Death of the Author)’. Teks selanjutnya milik pembaca (publik) berdasarkan penilaian masing-masing. Kuasa bukan lagi milik Yaqut, tapi ada di tangan publik.

Matinya sang pengarang, diikuti dengan, kelahiran pembaca. Pusat ada di tangan pembaca atau disebut oleh Catherine Belsey sebagai kekuatan pembaca (reader’s power). Di sini, ungkapan (teks) Gus Yaqut sejatinya milik publik untuk menilai.

Klarifikasi berkali-kali pun tak mematikan publik untuk menilai, mengeksplorasi, hingga menafsir itu mutlak an sich milik publik.

Jika Gus Yaqut merasa benar dengan ucapannya, siapa yang bisa membantah. Meski begitu, posisinya bukan sebagai pemilik teks lagi, tapi hanya penafsir pula atas teksnya sendiri.

Begitu pula dengan publik yang menafsir ungkapan Gus Yaqut, jika dianggap salah atau benar, itu mau-maunya publik. Karena logos di dalam rasio Gus Yaqut berbeda dengan logos kita masing-masing. Karena ketika teks terlahir, maka pengarang itu telah mati. Dia lantas digantikan oleh pembaca yang bebas menafsirkan teksnya (Roland Barthes).

Post Truth

Kedua, nalar publik yang terjebak dengan guncangan emosi masing-masing atau disebut post truth. Publik terbelah, ada yang membela Gus Yaqut, dan ada pula yang menghujat. Untuk pembela, lebih oleh para individu yang seideologi dengannya, entah itu NU atau pun jajaran Kemenag, atau yang pro pada golongan ini.

Sementara penghujatnya lebih banyak yang memang sudah berseberangan dengan Gus Yaqut, entah secara politik maupun secara pemikiran garis ideologi. Penafsiran atas teks/ ungkapan Gus Yaqut tak bisa dibaca tunggal, tapi berelasi dengan kondisi kognitif personal.

Apalagi kemasan atau framing media yang mengguncang emosi seperti membandingkan antara adzan dan gonggongan anjing. Sehingga yang terjadi adalah penafsiran media yang subjektif, lalu dibaca ulang oleh publik, lalu terburu-buru memberikan penilaian secara subjektif pula. Ia yang membuat publik terjebak dengan Post-Truth.

Jadi, terjadilah penafsiran yang mengedepankan emosi daripada nalar. Oxford sendiri mengartikan post truth sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal.

Lain halnya pada Kangen Band, yang terjadi malah kebalikannya. Penilaian atas fakta dengan guncangan emosi melahirkan penilaian yang ambigu.

Gayanya dikritik, dicap band kampungan, tak sesuai dengan modernitas. Tapi lagunya diputar berulang-ulang, lantaran lantunan nadanya menembus nalar, hingga merasuk dalam sanubari, lalu mengguncang emosi pendengarnya. Penilaian fakta seolah diabaikan karena rasa emosi yang terguncang oleh lagu.

Jika post truth terbentuk melalui guncangan emosi yang membentuk opini nalar, itu berkebalikan dengan Post-Wrong, dimana penilaian oleh nalar dinegasikan oleh perasaan emosi. Emosi dan nalar tidak ketemu malah terjadi pertentangan di dalamnya.

Post Wrong terbentuk atas pertentangan antara nalar dan emosi (rasa). Opini yang terbentuk secara rasional, berbeda dengan penerimaan dari ruang rasa, semisal Kangen Band pada uraian di atas.

Awalnya, Grup musik ini dibentuk pada 4 Juli 2005 di Bandar Lampung, Lagu populernya ialah Tentang Aku Kau Dan Dia dan Yolanda. Kehadirannya menembus dominasi musik Rock dan genre alternatif yang ‘dikuasai’ oleh Peter Pan (sekarang Noah) kala itu.

Kangen Band sempat bubar, lalu muncul lagi pada tahun 2021. Citra mereka tetap dicap kampungan dan bertentangan dengan musik normatif-modern, tapi entah kenapa musiknya malah trending. Artinya terjadi yang saya definisikan sebagai Post Wrong, yakni pertentangan antara opini rasio dengan emosi rasa.

Penghujatnya mati-matian melakukan bullying di jagat medsos, tapi lagunya senantiasa dilagukan dalam hati penghujat itu sendiri.

Kesimpulan

Jadi, dapat diamati bahwa rasa dan rasio itu adalah dua hal yang pada kondisi tertentu saling damai atau saling bertentangan. Fenomena ini sudah sejak tahun 1992, oleh Steve Tesich.

Dalam tulisannya The Government of Lies dalam majalah The Nation mengomentari Perang Teluk dan Iran. Ia menulis, “Kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan kita ingin hidup di dunia post truth.”

Tahun 2004, Ralph Keyes, di The Post Truth Era, juga mengatakan yang kurang lebih sama. Kata Post Truth mengacu kepada sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali.

Dunia digital meruak tumbuh subur dengan fenomena Post Truth itu sendiri. Sementara Post Wrong, terus terjadi pula dalam dunia musik dan seni. Bukan hanya Kangen Band, goyang jamet yang digoyangkan pemuda Madura, dihujat ramai-ramai. Tapi di saat yang sama, digoyangkan pula oleh penghujatnya, bahkan jadi trending di Tiktok.rmol news logo article

Penulis adalah aktivis asal Sulawesi Selatan

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA