Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Cerita Rakyat Wadas, Diponegoro dan Medan Latihan Militer

OLEH: HASNU*

Minggu, 27 Februari 2022, 16:59 WIB
Cerita Rakyat Wadas, Diponegoro dan Medan Latihan Militer
Wasekjen PB PMII Bidang Politik, Hukum dan HAM, Hasnu/RMOL
DESA Wadas merupakan sebuah tempat di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.

Diketahui, desa ini terdiri dari 11 dusun, yakni; Kaliancar I, Kaliancar II, Karang, Kalimanggis, Krajan, Gowok, Winongsari, Kaligendol, Randuparang, Beran dan Kaliawis.

Secara geografis, wilayah ini terletak diantara perbukitan menoreh. Adapun batas-batasnya dilingkungi oleh Pekacangan, Bleber, Kedungloteng, Kaliurip, Kaliwader, Cacabankidul, dan Cacabanlor.

Suhu dan kondisi di wilayah ini sangat mudah dan sangat cocok dalam mengembangkan budi daya ternak seperti kambing, sapi, dan ayam kampung. Di Wadas, lahan pakan dan rumput mudah untuk diperoleh warga dalam memelihara ternak.

Menariknya, dalam kondisi tersebut, pemanfaatan dalam bidang lahan pangan serta pupuk dari kotoran ternak tersebut dapat menunjang pupuk pertanian organik untuk memenuhi standar panen dalam pertanian di Desa Wadas.

Bahkan, Sumber Daya Manusia (SDM) di lingkungan Desa Wadas sendiri sangat erat dalam tali silaturahim atau kebersamaan. Begitu juga dalam banyak kegiatan positif di Desa Wadas, seperti kegiatan sosial keagamaan, hal ini dipengaruhi karena mayoritas warganya adalah beragama Islam dan bagian dari keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU).

Di lain aspek, ada hal menarik yang dilakukan oleh warga desa ini seperti proses interaksi sosial dan budaya yang begitu menjangkau, sehingga masyarakat pun banyak mencintai akan seni dan budaya seperti baik kuda lumping, barongan dan lain sebagainya.

Sumber alam pun seakan memberikan nuansa pesona. Harus diakui, keanekaragaman di desa ini seperti tempat yang selayaknya menjadi taman firdaus tersembunyi di Provinsi Jawa Tengah.

Mengenal Desa Wadas akhir-akhir ini tentu sangat mudah. Hal ini karena santer diberikan media massa akibat tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian saat pengukuran tanah pada program perencanaan proses pengerukan melalui proyek pertambangan batu andesit yang merusak anugerah Tuhan YME tersebut.

Padahal, bumi Wadas harus dijaga, agar masyarakatnya tetap waras dalam mensukuri akan hasil cipta Tuhan YME. Dengan demikian, tempat ini seakan diabaikan dan tidak ada yang menjangkaunya untuk menikmati keindahan alam tersebut.

Hal itu diakibatkan kurangnya kepedulian pemerintah dalam mendukung serta mengelolah potensi desa yang sangat luar biasa tersebut.

Bahkan, perencanaan pembangunan tambang batu andesit tersebut dinilai sejumlah warga tampa memperhatikan aspek ekonomi, sosial budaya, dan agama serta nilai-nilai kearifan lokal yang ada.

Sudah jadi rahasia umum, pada hari ini Wadas dijadikan target perencanaan proyek tambang yang menghancurkan keseluruhan tatanan kehidupan dan alam yang kemudian menjadi bom waktu bagi warga setempat.

Sebagai bagian yang terintegrasi dalam landscape Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), rakyat Desa Wadas tentu banyak andil dalam berbagai bidang, terutama guna memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Masyarakat Desa Wadas tak hentinya mencari rezeki, ada yang menjadi petani, pedagang, merantau ke kota dan masih banyak lainnya.

Idealnya, potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah di Desa Wadas dapat dijadikan atensi khusus pemerintah dalam mengoptimalkan potensi yang sudah ada guna meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.

Mengenal Wadas

Wadas merupakan tempat para kasatria. Hal ini dikarenakan ada beberapa kekuatan semesta yang diyakini dalam cerita turun-temurun warga Desa Wadas. Sebagai desa para kasatria (spartan) anak-anak dan pemuda di desa ini tentu sangat terlatih dan terujih soal keahliannya dalam dunia militer.

Sudah menjadi cerita umum, mereka sejak kanak-kanak sampai dewasa sudah terlatih seperti halnya militer semisal model survival (bertahan) di alam terbuka. Hal ini terbentuk dengan kondisi alam yang sangat strategis dan lengkap sebagai ciptaan Tuhan YME yang perlu disyukuri secara bersama. Maka, Wadas perlu dipelihara dan dijaga secara kolektif kolegial demi sustainablity (keberlanjutan) lingkungan.

Warga Wadas juga memiliki konsep kesederhanaan. Kemewahan bukan menjadi orientasi utama bagi masyarakat setempat. Sehingga, perencanaan pembangunan tambang ditolak secara mentah-mentah oleh Warga Desa Wadas.

Sebagai tempat historis, sejak adanya perjuangan warga mempertahankan Desa Wadas, tentu harus menilisik siapa yang membabat alas pertama sekali di desa ini. Artinya, generasi saat ini harus mengetahui siapa dibalik Desa Wadas.

Semenjak digali secara metafisik, diawal perjuangan para leluhur Desa Wadas, di puncak bukit Wadas ada sebuah makam kramat. Penuturan tersebut diutarakan warga sepuh yang sakti.

Ia menuturkan tentang suatu makam di mana makam tersebut memancarkan cahaya dengan pelangi disekelilingnya terlihat sampai beberapa saat lalu. Ada juga penuturan lain dari warga yang sholeh melihat kejadian serupa.

Hal yang meyakinkan adalah ada penuturan ulama (kiai) untuk menemui salah satu warga Wadas di mana menceritakan hal metafisik tentang suatu makam sakti itu lah makam Pangeran Dipoyudo anak dari Pangeran Diponegoro.

Pada saat terjadinya perang gerilya, Pangeran Dipoyudo yang diperintahkan oleh Pangeran Diponegoro untuk membabat alas membangun suatu desa yang bernama Wadas yang berarti batu keras sekaligus akronim dari Wadaing Satrio (Wadah Para Kasatria).

Adapun bukti fisiknya yakni pohon bambu berwarna kuning. Kini, bambunya masih tetap ada namun warnanya berubah. Itulah makam Pangeran Dipoyudo. Hal ini menjadi cerita turun temurun yang diakui bagi Warga Wadas.

Inilah menjadi alasan mengapa warga Desa Wadas menahan serta menolak secara keras agar tempat ini tidak dilakukan proses penambangan batu andesit. Untuk diketahui, Desa Wadas memiliki tujuh (7) makam kramat di sekitar makam Pangeran Dipoyudo.

Tak hanya itu, ada juga beberapa makam kramat lain yang ditengarai sebagai makam pasukan perang yang menyertai Pangeran Dipoyudo. Dan mereka itulah para leluhur seluruh warga Desa Wadas hari ini.

Randualas, Alas Sedudo dan Diponegoro

Sewaktu seorang pemburu celeng, melihat ada bajing di dahan Randu Alas yang berukuran lingkar 3 kain batik, sekitar 6 meter, dia menembaknya. Bajing itu tetap bertengger tenang. Kenapa? Bedil (tembak) itu macet.

Lalu karena kesal, ditembaknya  pohon randu itu. Tak ada bunyi dor, tak ada lobang peluru. Bedil itu macet juga.

Gagal menembak, ia pun turun dari  bukit. Tak percaya bedilnya rusak, maka ditembaknya buah durian yang banyak disitu. Dor, dor, dor! Bedil meletus, durianpun jatuh.

Di suatu waktu,  Randualas setinggi sekitar 70 m itu tersambar petir. Lobang hitam menganga. Di lobang itupun lantas menjadi sarang tawon madu. Saat seluas lobang itu tertutupi sarang madu, tertutup pula lobang itu oleh kulitnya yang keras. Artinya, sarang tawon itu ditelan oleh Randualas itu.

Petir itu ternyata tak hanya menyasar Randualas itu. Dia menembak dan menghanguskan pohon kelapa, kluwak pocung dan beberapa pohon lainnya, hingga gosong menghitam.

Randualas itu sejak lama, berdasar cerita para leluhur seluruh warga Wadas memang dikenal sebagai pohon yang angker.  Penunggu-penunggunya tak hanya satu. Hingga banyak  benar orang-orang datang bertapa di sekitarnya.

Pohon besar itupun dipercaya sebagai semacam Gunungan di pewayangan (kulit). Simbol dari alam semesta.

Ditambah lagi catatan ini: "Bila Randualas ini ditebang atau tumbang maka Wadas akan jadi Karang Abang. Artinya, akan ada pertumpahan darah! Itu cerita turun temurun yang diyakini masyarakat Wadas.

Hal ini tentu mengingkatkan kita tentang 2 kejadian berdarah tertanggal 23 April 2021 dan kejadian berdarah pada 8-10 Februari 2022. Padahal, baru sampai niat dan tahap untuk pengukuran tanah saja telah mengalirkan darah.

Tak jauh dari Randualas itu, ada sekawasan hutan 'primer' berisi pohon endemik dengan  beberapa tanaman jati yang ditanam pewaris wilayah yakni keturunan Pangeran Dipayuda, keluarga dekat Pangeran Diponegoro, yang makamnya ada di sekitar Alas Sedudo itu.

Konon, Alas Sedudo itu sendiri angker luar biasa. Tak semua warga Wadas pun berani pergi sendirian kesitu. Sering banyak terdengar suara aneh seperti mendengar suara orang-orang tertawa, kemudian menjerit, mengerang, menangis, berbincang, berbaris, kehidupan pasar dan sebagainya. Hal ini acapkali terjadi siang dan malam. Bahkan, kawasan itu dipercaya sebagai kerajaan besar para lelembut atau jin.

Ketiga tempat sakral itu (makam Pangeran Dipayuda, Randualas dan Alas Sedudo) dianggap sepele dan tak bernilai. Sebab, akan dilenyapkan dan dihancurkan karena ada di wilayah quarry.

Karena itukah maka Diponegoro, seorang ulama yang sakti, pemimpin sepasukan besar gerilia telah  menjadikan desa itu sebagai Markas Gerilyanya?

Sebelumnya, Diponegoro juga telah mengusir para ahli Belanda yang berniat akan menambang "sesuatu" di kawasan Wadas itu. Nah, nyaris sebangun dengan yang terjadi sekarang.

Tinggalnya Pangeran Dipayuda  di Wadas tentu tak sendirian. Dia bersama pasukannya membangun desa sambil mencipta Wadas (Batu Keras) adalah juga akronim dari Wadahing Satriya (Wadahnya Satria) menjadi nama desa ini sampai sekarang.

Sebelum meninggalkan Wadas,  Pangeran Dipanegara juga menancapkan sebuah tombak pusaka, dengan pesan: bila tercabut akan muncrat lumpur (seperti lumpur Lapindonya Bakri) tanpa henti. Lihat saja nanti bila JKW, LBP dan GP tetap terus memaksakan kehendaknya, menuruti desakan RRC sebagai investor PSN Bendungan Bener dan Penambangan Wadas.

Berhubungan dengan Diponegoro dan perang gerilianya melawan kolonial Belanda, serta menjadikan Wadas sebagai Markas Gerilyanya, maka mungkin saja dengan mempertimbangkan sejarah tadi.

Gubernur Akabri Magelang di '80an telah menjadikan wilayah Wadas sebagai tempat ideal sebagai pusat latihan perang bagi Taruna Akabri, tempat latihan para calon jenderal ahli perang TNI-AD.

Baru ketika Wadas dipaksakan dengan perhitungan ekonomis lewat cara-cara seperti biasanya pengusaha ( kayu/tambang) sebagai wilayah pertambangan quarry batu andesit, pelatihan perang-perangan setiap tahun atau setiap angkatan di Akabri itupun ditolak warga.

Ironis,  memang. Kondisi ideal menuruti kontur dan sikon geografisnya,  di daerah yang penduduk Desa Wadas adalah keturunan Dipanegara dan pasukannya. Bahan untuk berlatih survival juga lengkap,  dan tak tergantikan! Kok mau dihancurkan sih! Huh!

Wadas, Tempat Pelatihan Militer

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Akademi Militer menjadi tujuan favorit para pemuda-pemuda terbaik di seluruh tanah air.

Sesungguhnya, dengan menimba ilmu di Akademi Militer, mereka bercita-cita menjadi tentara profesional. Salah satu akademi militer bergengsi di Indonesia adalah Akademi Militer Lembah Tidar Magelang, Jawa Tengah.

Namun demikian, impian menjadi  Akademi Militer Profesional tersebut akan terputus apabila tidak ditopang dengan medan latihan yang tepat dan istimewah. Menariknya, kondisi ideal geografis Desa Wadas dapat dijadikan medan strategis untuk pelatihan setiap angkatan Akademi Militer Angkatan Darat.

Seperti diketahui, Wadas merupakan tempat pendidikan militer yang melahirkan rata-rata 220 perwira remaja Angkatan Darat setiap tahun. Akademi Militer bertugas mendidik taruna untuk menjadi Perwira TNI Angkatan Darat.

Wadas sebagai salah satu markas geriliya yang dipilih oleh Pangeran Diponegoro karena memiliki kondisi geografis yang ideal, kemudian didukung oleh alam yang menyimpan berbagai potensi yang memenuhi seluruh kebutuhan untuk bisa survive (bertahan) selama-lamanya. Termasuk juga alam yang menyimpan misteri spritual dan religio magiz (randu alas dan alas sedudo).

Dengan demikian, Pangeran Diponegoro meyakini bahwa Wadas akan menjadi tempat strategis pelatihan militer angkatan darat dalam rangka membentuk perwira militer tangguh, tegas dan profesional hingga hari ini.

Sejarah mencatat, karena bermarkas di Wadas lah Perang Diponegoro atau Perang Jawa dikenal sebagai perang yang menelan korban terbanyak dalam sejarah Indonesia, yakni 8.000 korban serdadu Hindia Belanda, 7.000 pribumi, dan 200 ribu orang Jawa serta kerugian materi 25 juta Gulden.

Karena kecintaanya terhadap Wadas Pangeran Diponegoro memerintahkan anaknya Pangeran Dipoyudo untuk tinggal dan menjaga alam Wadas sampai sekarang dengan sebagian pasukan tempurnya.

Sebelumnya, Pangeran Diponegoro menitipkan dengan cara menancapkan satu tombak pusaka yang dipercaya bila tercabut konon terjadi "banjir darah".rmol news logo article

*Penulis adalah Wasekjen PB PMII Bidang Politik, Hukum dan HAM

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA