Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Polemik Bisnis Tambang Andesit di Wadas

OLEH: AK SUPRIYANTO*

Selasa, 15 Februari 2022, 12:58 WIB
Polemik Bisnis Tambang Andesit di Wadas
Gejolak di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo/Net
ADA dimensi lain dalam kasus konflik pertanahan dan sumberdaya alam di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, yang masih menjadi pertanyaan publik. Yaitu, dimensi bisnis. Terlepas dari adanya dimensi kebijakan publik, politik, HAM, dan lain sebagainya, konflik struktural seperti di Wadas acapkali menyisakan serpihan puzzle yang harus disusun agar publik mengetahui bagaimana kepentingan bisnis dan politik melahirkan kebijakan publik yang tidak sungguh-sungguh pro-rakyat.

Belakangan, setelah kasus Wadas menjadi viral, media massa sibuk mencari informasi tentang perusahaan apa yang menambang andesit di desa subur itu. Rmol.id, misalnya, mencoba bertanya kepada beberapa anggota Komisi III DPR RI yang baru saja beraudiensi dengan Pemprov Jateng. Sayangnya, Taufik Basari dan kawan-kawannya tak berhasil mengorek informasi itu dari para pejabat di Jateng yang ditemuinya.

Baca: Temuan Komisi III, Pemprov Jateng Bungkam saat Ditanya Siapa Kontraktor Penggarap Tambang Andesit di Desa Wadas

Menurut inforrmasi yang dilansir beberapa media, proyek Waduk Bener dikerjakan secara keroyokan oleh tiga BUMN karya, yaitu PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk, PT Brantas Abipraya (Persero), dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Namun, kurang jelas apakah BUMN-BUMN itu juga melakukan sendiri penambangan andesit di Wadas. Bisa saja, mereka hanya fokus pada pembangunan waduk sementara urusan penambangan dikontrakkan kepada perusahaan lain yang mereka pilih atau ditunjuk oleh pemerintah.

Lazimnya, sebuah perusahaan tidak akan mengerjakan hal yang bukan core business-nya. Untuk hasil yang lebih baik, mereka semestinya menggandeng perusahaan lain yang bidangnya sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan. Karena itu, penggarap proyek waduk atau pemerintah, dalam hal ini Ditjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR, besar kemungkinan bermitra dengan perusahaan kontraktor pertambangan.

Lantas, siapa yang menjadi kontraktor tambang andesit di Wadas dan mengapa informasi mengenai peran mereka penting ditelisik?

Tentu, bukan saja karena telah muncul konflik struktural yang hingga kini belum terselesaikan. Tapi, juga karena perusahaan tersebut bak mendapatkan durian runtuh lantaran privelege atau kemudahan saat menggarap tambang di Wadas, sebagai dampak dari kebijakan pemerintah di level daerah dan nasional.

Apakah perusahaan tersebut melakukan non-market strategy berupa strategi politik korporat untuk mempengaruhi agar pengambil kebijakan memudahkan langkah mereka? Ataukah justru perusahaan tersebut terkait dengan politisi atau pejabat berkuasa? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tentu perlu dijawab dengan investigasi mendalam oleh media massa.

Yang pasti, perusahaan penambang andesit bak memperoleh jalur tol untuk menjalankan operasi bisnisnya. Mereka mendapatkan akses terhadap lokasi tambang yang sangat dekat dengan lokasi pembangunan waduk, dan kualitas bahan andesit yang ditambang pun tergolong unggul.

Seperti yang dikemukakan oleh berbagai ahli bebatuan dan mineral, batuan andesit atau quarry Wadas merupakan bebatuan vulkanik yang bukan hasil erupsi gunung berapi melainkan magma yang keluar perlahan melalui rekahan atau sesar bumi.

Batuan andesit seperti itu merupakan bahan pembuat bangunan yang bagus dan kokoh karena teksturnya seragam dan massa dasarnya yang sama. Konon, bangunan peninggalan dari jaman kerajaan, seperti candi-candi di Jawa Tengah, disusun dari bahan bebatuan andesit semacam yang ada di Wadas.

Lokasi Wadas yang hanya sekitar 10 kilometer dari lokasi Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener juga menggiurkan. Siapapun perusahaan yang mendapatkan kontrak untuk menyuplai quarry dapat memperoleh bahan andesit yang diperlukan secara mudah dan murah, dari segi teknologi maupun kompleksitas pengangkutan.

Selain mendapatkan ‘rejeki nomplok’ itu, perusahaan juga diuntungkan dengan kebijakan Gubernur Jawa Tengah tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo yang diterbitkan melalui SK Gubernur Jateng No. 590/41 tahun 2018, yang menggabungkan proyek waduk dan pekerjaan pertambangan andesit dalam satu paket IPL (Ijin Penetapan Lokasi) itu, sudah pasti membuat pihak yang terlibat dengan rencana aktivitas pertambangan tidak perlu mengurus ijin terpisah.

IPL PSN Bendungan Bener dan pertambangan andesit yang disatukan dalam sebuah dokumen kebijakan yang sama itulah yang disebut oleh beberapa pengkritik pemerintah sebagai pangkal masalah konflik Wadas.

Setelah masa berlaku IPL yang pertama itu habis dalam dua tahun, Gubernur Jateng kembali menerbitkan SK Gubernur Jateng No. 539/29 tahun 2020 sebagai perpanjangan IPL selama setahun, dan tahun berikutnya diperbarui lagi melalui SK Gubernur Jateng No. 590/20 tahun 2021.

Keberadaan IPL itu problematis. Pihak warga yang menolak mengklaim bahwa IPL tersebut diterbitkan tanpa proses dialog untuk meminta persetujuan, sehingga akhirnya digugat ke PTUN Semarang. Meskipun Gubernur menjelaskan bahwa proyek bendungan dan pertambangan merupakan dua hal yang terpisah, nyatanya dua aktivitas yang berbeda itu digabung dalam satu paket IPL.

Seorang pendamping warga yang menolak menyatakan bahwa dua ranah tersebut tak seharusnya dicampur. Sebab, memasukkan ihwal pertambangan di Wadas ke dalam PSN Waduk Bener itu seperti menjejalkan ranah privat (bisnis) ke dalam kepentingan publik.

Proyek Waduk Bener merupakan bentuk pembangunan infrastuktur yang menjadi kepentingan publik, untuk menjadi solusi atas kebutuhan publik. Sementara urusan supply segala macam kebutuhannya, tidak terbatas pada hal bahan material saja, sesungguhnya merupakan ranah bisnis yang bisa dikelola dengan prinsip-prinsip manajemen yang baik oleh pihak yang bertanggungjawab atas proyek waduk.

Suplai quarry seharusnya dipandang sebagai urusan non-publik yang lokasi penambangannya tidak harus di Desa Wadas. Penetapan Wadas sebagai satu-satunya sumber suplai kebutuhan material PSN Waduk Bener juga terkesan aneh, mengingat di Puworejo terdapat banyak perusahaan suplier quarry dengan kualitas yang tak jauh beda dengan yang ada di Wadas.

Menempatkan Wadas sebagai bagian dari PSN (karena dipaketkan dalam satu dokumen IPL) membuat warga di sana seolah diharuskan menjual tanahnya untuk mendukung proyek pembangunan waduk. Jika mereka menolak, tentu berisiko berhadap-hadapan dengan aparat keamanan.

Dalam sejarah, faham “pembangunisme” telah menempatkan aparat keamanan sebagai salah satu agen penentu keberhasilan pembangunan dan hal itu sering ditafsirkan dalam berbagai tindakan untuk menyetop siapapun yang dicurigai mengganggu suksesnya pembangunan.

Selain isu penyatuan IPL proyek waduk dan pertambangan andesit, perusahaan yang melakukan penambangan andesit di Wadas juga mendapatkan berkah lain berupa keputusan pemerintah yang membebaskan segala aktivitas penambangan dari kewajiban mengurus IUP (Ijin Usaha Penambangan).

Surat Dirjen Minerba bernomor T-178/MB.04/DJB.M/2021 tertanggal 28 Juli 2021 mempersilahkan kegiatan pertambangan andesit di Wadas untuk keperluan eksklusif pembangunan waduk Bener, dengan volume dan durasi sesuai kebutuhan. Dengan demikian, kegiatan penambangan itu dikecualikan dari UU No 3 Tahun 2020.

Selain karena kegiatan itu didekasikan untuk kepentingan khusus, Kementerian ESDM juga berkilah bahwa pelaksana proyek Wadas itu adalah Ditjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR. Lembaga itu bukanlah badan usaha, koperasi atau perusahan yang sesuai UU menjadi entitas hukum yang berhak mengurus IUP.

Tetapi, bukankah Ditjen SDA tidak mengerjakan proyek sendiri melainkan memberikan pekerjaan kepada beberapa BUMN yang dimaksudkan di atas serta berpotensi melibatkan perusahaan-perusahaan lain sebagai kontraktor? Mengapa UU itu tidak menjadi lex specialis untuk semua urusan pertambangan minerba yang pengecualiannya musti merujuk pada UU lain dan bukan atas tafsiran Dirjen Minerba?

Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kecuali dengan investigasi mendalam. Yang pasti, jika banyak perusahaan penambang harus mengurus IUP untuk menggarap sebuah lokasi tambang, dengan proses yang tidak instan, dalam kasus Wadas perusahaan penambang bak memasuki jalur bebas hambatan untuk mengeruk lahan tambang.

Terkait keputusan Dirjen Minerba itu, publik tentu perlu mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai mekanisme pengawasan agar andesit yang ditambang benar-benar digunakan untuk kepentingan sendiri sesuai kebutuhan. Hal itu juga dapat menangkis rumor yang kurang bertanggungjawab bahwa kandungan andesit di Wadas sangat mencukupi apabila digunakan untuk menyuplai kebutuhan proyek tol di sekitar Jateng dan DIY.

Kebijakan pembebasan IUP untuk aktivitas penambangan di Wadas sempat dipertanyakan oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) karena berbeda dengan kelaziman yang terjadi selama ini. Bahkan, untuk proyek yang berkaitan dengan kepentingan umum sekalipun, rasanya sulit bagi kumpulan aktivis itu membayangkan kewajiban pemenuhan IUP pertambangan di-bypass.

“Penyederhanaan” berbagai proses perijinan bagi aktivitas pertambangan di Wadas itu, di satu sisi, terlihat membantu kelancaran proyek pembangunan Bendungan Bener. Tapi di sisi lain, juga memberikan kemudahaan ekstra bagi kepentingan bisnis tertentu yang terlibat di dalam suplly chain proyek tersebut. “Penyederhaaan” semacam itu terindikasi menjadi sumber masalah yang hingga hari ini masih memicu penolakan dari sebagian warga.

Tidak ada yang bisa menjawab apakah “penyederhanaan” itu merupakan desain untuk memudahkan pengerjaan proyek, ataukah, seperti kecurigaan yang berkembang, juga didomplengi oleh kepentingan-kepentingan bisnis tertentu yang ingin mendapatkan pekerjaan penambangan. Pun, sangat sulit menjawab pertanyaan tentang kaitan kepentingan bisnis itu dengan politisi atau pejabat yang berkuasa atau memiliki akses kuat di kekuasaan lokal dan pusat.

Rmol.id dan media-media lain masih akan berupaya menyingkap tabir kepentingan bisnis dibalik konflik Wadas. Tapi, seperti sering diingatkan oleh pengamat dari dalam dan luar negeri, bisnis dan politik di Indonesia sudah “mixed well” seperti es campur. Artinya, jika media berhasil mendapatkan fakta-fakta yang mengarah pada perselingkuhan bisnis dan politik, hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru.

Dulu, orang masih bisa menarik garis tegas di tengah otoritas politik dan pelaku bisnis. Jika ada upaya pengaruh-mempengaruhi, dalam kadar tertentu, gerak-gerik yang melintas garis batas kedua wilayah itu tetap bisa dipantau secara jelas. Dewasa ini, otoritas politik dan pelaku bisnis bukan hanya, dalam istilah kolumnis Endy Bayuni, “berselingkuh” tetapi juga “bersetubuh” (berfusi dalam satu tubuh), sehingga perumusan kebijakan publik semakin terancam kehilangan orientasi untuk melayani publik secara maksimal. rmol news logo article 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA