Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Yahya Muhaimin, Sosok Ilmuwan yang Low Profile, Tidak Arogan

Oleh: Dr. Nazaruddin Nasution, MA*

Kamis, 10 Februari 2022, 12:16 WIB
Yahya Muhaimin, Sosok Ilmuwan yang <i>Low Profile</i>, Tidak Arogan
Mantan Menteri Pendidikan Nasional, Yahya Muhaimin/Net
SAYA terkejut dan begitu terpaku ketika isteri saya, Ida Ismail sambil menangis terharu memberitahu bahwa Bapak Yahya Muhaimin telah kembali kepada Sang Pencipta. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Kenangan saya flashback kepada beberapa peristiwa dalam rentang kehidupan saya. Pertama kali, saya kenal beliau pada akhir 1997, saat saya diperkenalkan oleh KBRI Washington sebagai Deputy Chief of Mission (Wakil Duta Besar). Beliau saat itu adalah Atase Pendidikan dan Kebudayaan.

Kesan pertama saya, beliau adalah tipikal orang Jawa yang halus dan sopan. Meskipun ilmunya tinggi, namun low profile, tidak arogan. Walaupun tidak lama, tapi interaksi saya dan istri dengan pak Yahya dan ibu Chofifah selama di DC sangat mengesankan. Mungkin karena kesamaan budaya Jawa mereka dengan istri saya yang dibesarkan di Pekalongan.

Sebagai Atdikbud untuk Amerika Serikat, jangkauan tugasnya sangat luas. Mengayomi anak didik mahasiswa Indonesia yang setidaknya berjumlah 8.356 orang (data KBRI Washington DC, 2019). Berada di urutan ke-19 dari total 1.095.299 mahasiswa internasional di AS (data Institute for International Education, 2019). Tersebar luas di negara adikuasa tersebut. Meliputi sekurangnya lima kawasan: Los Angeles, San Francisco, Chicago, New York dan Houston.

Artinya, beliau harus mengatur waktu untuk mendatangi dan bersama Konjen setempat memahami problem ataupun kesulitan yang dihadapi para mahasiswa. Di bidang budaya, Atdikbud juga menggalakkan kegiatan budaya Indonesia, termasuk mendatangkan misi-misi kesenian dan kebudayaan dari Indonesia.

Suatu saat ada kejadian penting di Washington DC. Masyarakat sulit mencari seorang tokoh yang bisa diterima oleh semua pihak untuk menjadi pimpinan Ikatan Keluarga Indonesia (IKI). Pada saat itu, yang menjadi  tema adalah masalah kerukunan. Baik sosial maupun agama. Masyarakat merasakan suasana yang kurang harmonis dan bersahabat.

Situasi semakin diperparah akibat Indonesia maupun Amerika Serikat, sama-sama dihadapkan dengan situasi kritis akibat Krismon. Indonesia menghadapi Krisis Moneter, yang berdampak luas kepada masyarakat Indonesia di Amerika Serikat. Amerika Serikat juga menghadapi  Krismon, yaitu Krisis Monica.  Krisis akibat Monica Lewinsky, seorang magang Gedung Putih, yang menggugat Presiden Bill Clinton karena kasus pelecehan.

Dalam suasana yang serba Krismon ini, sebagai pejabat tertinggi di KBRI karena Duta Besar belum ada di tempat, kami menoleh kepada Atdikbud Yahya Muhaimin. Seorang yang bersikap netral dan tampil mengayomi. Beliaulah yang tepat untuk memimpin IKI, demi terciptanya kerukunan.

Namun beliau secara bijak dan diplomatis berpendapat lain. Menurut beliau, sebaiknyalah dicari pimpinan IKI itu yang berasal dari masyarakat sendiri. Bukan dari KBRI. Padahal sulit sekali ditemukan seorang  tokoh yang dapat diterima oleh semua pihak.

Namun, seiring berjalannya waktu dan melalui berbagai pendekatan kepada pemuka-pemuka masyarakat. Akhirnya tampil seorang senior dari lingkungan masyarakat. Namanya Andang Puraatmadja  (VOA). Beliau bersedia dan terpilih secara aklamasi. Kami bersyukur bahwa salah satu tugas yang diamanahkan kepada KBRI, yaitu pembinaan masyarakat, bisa dilaksanakan dengan baik. Berkat sikap simpatik dan diplomatis dari Bapak Yahya Muhaimin.

Belum sampai dua tahun bekerja sebagai satu tim dengan pak Yahya, persisnya pada bulan Oktober 1999, beliau  harus meninggalkan KBRI. Beliau diangkat oleh Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam sambutannya, beliau menyatakan bahwa bagi beliau, pengangkatannya itu adalah ibarat “ketiban sampur”. Nampaknya, inilah  ekspresi perasaan “surprise” beliau.

Sebagai Mendiknas, Pak Yahya mampu membawa kementerian itu tampil lebih elegan dan berwibawa. Nomenklatur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diubahnya menjadi Departemen Pendidikan Nasional. Sementara urusan kebudayaan dipindah ke Kementerian lain, yaitu Pariwisata. Agar kebudayaan bisa lebih disosialisasikan bagi wisatawan yang berkunjung ke Indonesia, sekaligus  mendukung upaya cultural diplomacy  ke mancanegara.

Pertemuan saya berikutnya dengan pak Yahya adalah saat saya kembali ke Indonesia setelah purna tugas sebagai Duta Besar RI untuk Kamboja. Pertemuan ini bagi saya teramat penting. Menentukan arah kegiatan saya setelah pensiun. Beliaulah yang memperkenalkan saya dengan dunia akademik.

Sahabat dekat saya di Kemlu, Prof. Makarim Wibisono, beberapa kali datang berkunjung ke Kamboja mengikuti sidang ASEAN. Beliau menyampaikan pesan dari Bapak Yahya :”Zar, nanti kalau kembali ke tanah air temui pak Yahya.

Beliau menjadi Dekan di Universitas Al Azhar dan mencari dosen yang tepat untuk mengajar mata kuliah Hubungan Internasional”, ucap Makarim. Maka resmilah setelah pensiun  sejak 2004 saya menjadi dosen di kampus yang baru dibangun tersebut. Saya tidak menduga, beliau menulis dalam buku “Dari Aktivis menjadi Diplomat” bahwa Nazar adalah dosen yang amat disiplin, sangat articulate serta piawai dalam mata kuliah Studi Internasional di Kawasan Amerika dan Asia Tenggara.

Yahya Muhaimin juga meng-courage saya untuk mengambil S3 di Fisipol UGM. “Temuilah Prof. Mohtar Mas’ud. Beliau akan memberikan inspirasi kepada Nazar untuk tema disertasi yang cocok dengan pengalaman Nazar,” katanya.

Saya mengikuti saran beliau. Prof. Mohtar memang seorang yang mumpuni di bidang HI. Beliau bahkan meminjami saya  beberapa buku-buku HI yang penting, termasuk tentang Metodologi HI yang merupakan keahlian beliau.

Saya semakin confident bahwa beberapa sahabat diplomat antara lain A.M. Fachir dan Muzammil Basyuni, bahkan kolega terdekat di HMI Akbar Tanjung memperoleh gelar doktornya di UGM. Namun, niat ini terpaksa saya urungkan. Mengingat untuk bolak-balik ke Yogya dalam usia senja, nampaknya sulit atau tidak memungkinkan bagi saya.  Baik secara fisik maupun non-fisik (ekonomis). Saya kemudian mengikuti saran Prof. Azyumardi untuk mengambilnya di Pascasarjana UIN Jakarta.

Lulus tahun 2017 pada usia 76 tahun. Di antara kesibukannya, dari Bumiayu, Yahya masih menyempatkan hadir pada ujian terbuka itu. Pertemuan kami terakhir adalah di UGM, saat beliau hadir dalam keadaan kurang sehat,  untuk suatu  Seminar Politik Luar Negeri RI,  lebih dua yahun yang lalu.

Yahya Muhaimin yang lahir di Bumiayu, 17 Mei 1943, melanjutkan kuliah di Jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM, lulus tahun 1970 dan memperoleh gelar doktor dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) tahun 1982.  Dekan FISIP Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI),  1994-1997 dan tahun 2005 dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Politik UGM.

Yahya Muhaimin adalah  penulis andal. Tulisannya  selalu menjadi rujukan bagi mahasiswa dan dosen. Skripsinya berjudul “Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966”  (1982) dinobatkan sebagai skripsi terbaik UGM.  Buku itu dianggap buku legendaris dan sering dijadikan buku wajib.

Buku lainnya tentang militer dan politik adalah Masalah kebijakan pembinaan pertahanan Indonesia (2006); Bambu Runcing dan Mesiu (2008), Sedangkan buku “Bisnis dan Politik Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia” 1950-1980 (1991) adalah tulisan disertasi saat beliau mengambil pendidikan doktor di MIT, AS.

Di hari tuanya, Yahya Muhaimin, setelah selesai tugas dari Universitas Al Azhar dan UGM, kembali ke kampung halamannya, Bumi Ayu. Tahun 2014 beliau berhasil mendirikan sebuah Universitas bagi masyarakat yang selama ini masih harus mencari perguruan tinggi ke kota lain. Hampir seluruh waktunya didedikasikan untuk pengembangan perguruan tingggi ini.

Sebagai Rektor, pak Yahya berhasil mengangkat nama Universitas Peradaban, sehingga dikenal di kalangan luas. Beliau berpendapat nama Peradaban adalah nama yang memang diidolakan oleh siapapun yang menginginkan kemajuan, baik masa lalu, saat ini maupun untuk masa depan.

Saya beberapa kali diundang beliau bersama para dosen Universitas Al Azhar dalam rangka persiapan pembentukan maupun peresmiannya. Bahkan berbagai tokoh berhasil didatangkan, beliau termasuk mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

“Selamat jalan, Bapak Yahya Muhaimin. Selamat jalan, pak Yahya. Suaramu yang tenang, sikapmu yang lembut,  susah dihilangkan dari ingatan. Gurauanmu yang hanya sekali-sekali sering terasa menggigit.”

Semoga amal ibadah beliau memperoleh ganjaran yang setimpal dan beliau ditempatkan di Jannah-Nya. Aamiin. rmol news logo article  

*Penulis adalah mantan Dutabesar Indonesia untuk Kamboja dan pengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA