Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dudung Abdurachman, Penoreh Tinta Emas Sejarah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/djono-w-oesman-5'>DJONO W OESMAN</a>
OLEH: DJONO W OESMAN
  • Rabu, 02 Februari 2022, 20:36 WIB
Dudung Abdurachman, Penoreh Tinta Emas Sejarah
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Dudung Abdurachman/Net
SEMUA tahu, Jenderal Dudung Abdurachman penjaga toleransi. Tapi, baru Ketua MPR, Bambang Soesatyo menegaskan itu, Minggu (30/1). "Membaca buku ini, kita jadi tahu Jenderal Dudung meredam kelompok intoleran," katanya.

Yang dimaksud, buku bertajuk 'Dudung Abdurrachman, Membongkar operasi Psikologi Gerakan Intoleransi', ditulis Raylis Sumitra.

Setelah pernyataan Bambang Soesatyo itu, Jenderal Dudung Abdurachman, kini Kepala Staf Angkatan Darat, sowan ke rumah Bambang, Selasa (1/2). Dalam kunjungan tersebut, Dudung menyerahkan buku yang dimaksud kepada Bambang.

Di situ, Bambang mengutip pernyataan Jenderal TNI (purn) AM Hendropriyono yang menyebut langkah Jenderal Dudung dalam menghadapi kelompok intoleran. Pernyataan Hendropriyono, ada di kata pengantar buku:

Bambang: "Jenderal TNI (purn) AM Hendropriyono menilai tindakan tegas Jenderal Dudung, salah satunya dengan pencopotan baliho terhadap kelompok intoleran, telah menjadi salah satu torehan tinta emas perjalanan bangsa. Selain juga karena buku ini juga telah membongkar motif terselubung kelompok intoleran."

Dari pernyataan ini, masyarakat jadi paham, mengapa Jenderal Dudung dimusuhi. Bahkan, dengan kata-kata yang tidak patut. Terhadap jenderal TNI, yang bahkan masih menjabat KSAD. Kata-kata permusuhan terhadap Dudung, dilontarkan beberapa hari lalu.

Sebagai 'penoreh tinta emas perjalanan bangsa' (versi Jenderal Purn Hendropriyono), sangat wajar Dudung dimusuhi. Tentunya oleh kelompok yang diungkap Dudung dalam bukunya.

Terkait pertemuan Bambang dengan Dudung, Bambang merinci perkembangan kelompok intoleran di Indonesia. Ia punya data, berdasarkan hasil riset berbagai pihak.

Data versi Bambang, berdasar hasil riset, secara kronologi waktu, demikian:

2017, Hasil survei Alvara Research Center. Mencatat 19,4 persen Aparatur Sipil Negara (ASN) dan 9,1 persen pegawai BUMN tidak setuju dengan ideologi Pancasila.

2018, Hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Mengumumkan 63,07 persen guru memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain.

2019, Jenderal TNI (purn) Ryamizard Ryacudu. saat menjabat Menteri Pertahanan, mengatakan, kurang dari tiga persen anggota TNI terindikasi telah terpapar radikalisme.

Dikutip dari Data Global FirePower, 5 Oktober 2021, jumlah personel militer Indonesia (TNI) sekitar 1,08 juta personel. Jumlah itu peringkat ke-13 dunia. Peringkat pertama China, 2,19 juta personel. India, 1,4 juta personel. Amerika Serikat, 1,4 juta personel.

Jika Ryamizard Ryacudu (menurut Bambang Soesatyo) menyebut, kurang dari tiga persen, maka ada sekitar 30 ribu personel.

Sedangkan jumlah satu batalion, 700 sampai 1.000 personel. Merujuk pernyataan Ryamizard, yang dikutip Bambang Soesatyo, jika jumlah anggota TNI terindikasi radikalisme dikumpulkan, bisa lebih dari 30 batalion. Luar biasa besar.  

2020, Hasil survei Wahid Institute. Melaporkan, bahwa sikap intoleran dan paham radikalisme mempunyai kecenderungan meningkat, dari 46 persen di 2019 menjadi 54 persen di 2020.

2020, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melaporkan, potensi Generasi-Z (rentang usia 14-19 tahun) terpapar radikalisme 12,7 persen. Sementara generasi milenial (berumur 20-39 tahun) 12,4 persen.

17 - 19 Mei 2021, Pengumuman laporan survei Litbang Kompas. Bahwa media sosial menjadi sarana yang paling besar dalam melancarkan intoleransi, yakni 51,9 persen.

Berdasar data milik Bambang itu, tren gerakan intoleran meningkat secara kuantitas.

Karena, gerakan kaum intoleran terkoordinir secara sistematis, dan sudah lama dibiarkan (atau tidak diketahui) pemerintah. Sehingga gerakan ini ditunggangi kepentingan politikus (yang hanya ingin berkuasa, tapi dengan slogan membela rakyat).

Penunggangan, menghasilkan apa yang disebut politik identitas. Politik yang memainkan identitas SARA.

Bambang: "Buku ini juga mendeskripsikan pergerakan kelompok intoleran. Yang dilakukan secara sistematis, dengan tujuan politis parsial. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa tujuan kepentingan umat atau rakyat, yang kerap digemborkan oleh kelompok intoleran, tidak lebih hanya kamuflase belaka.

Jadi, Bambang menekankan bahwa kelompok intoleran itu sendiri yang berpolitik. Memainkan isu SARA. Menyebarkan kebencian di masyarakat.

Bambang: "Dalam menghadapi virus radikalisme dan intoleransi, nilai-nilai dalam buku Jenderal Dudung menjadi kekuatan untuk menghalau berbagai macam hal yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Keempat nilai ini pula yang diserap ke dalam Empat Pilar MPR RI sejak 2004."

Empat Pilar adalah: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.

Radikalisme dan inteloransi, sudah terbukti berbahaya. Sejarah dunia mencatat, tokoh intoleran top abad ke-20 bernama Adolf Hitler. Yang membentuk tentara Nazi. Yang dibenci seluruh umat di bumi, bahkan oleh Bangsa Jerman sendiri.

Pandangan intoleran Hitler terhadap bangsa lain selain Ras Jerman, membuatnya melakukan pembantaian terbesar sepanjang sejarah, disebut Holokaus. Pembantaian tentara Nazi terhadap sekitar 6 juta orang Yahudi, sebelum Perang Dunia ke-2.

Bahkan, jumlah orang yang dibantai tentara Nazi atas perintah Hitler, total 17 juta manusia, termasuk 6 juta Bangsa Yahudi. (Donald Niewyk, suggests that the broadest definition, including Soviet civilian deaths, would produce a death toll of 17 million).

Sejarah dunia mengungkap, Hitler rasis. Hitler berpandangan, bahwa cuma Bangsa Jerman paling unggul di dunia. Selain Ras Jerman, boleh dibunuh.

Sikap intoleran memicu genosida, sudah terbukti pada 90 tahun silam. Oleh Hitler. Tapi, masih dicoba untuk diulangi, dalam gaya yang berbeda.

Jenderal Dudung pun, sejatinya tidak sendirian dalam meredam kelompok intoleran.

Seperti kata pengantar Jenderal Purn Hendropriyono di buku Dudung, tindakan Dudung paling jelas, adalah memerintahkan penurunan baliho kelompok intoleran (Front Pembela Islam yang kemudian dibubarkan pemerintah).

Tindakan Dudung memerintahkan tentara menurunkan baliho, kemudian disusul dengan ketegasan Kapolda Metro Jaya, Irjen Muhammad Fadil Imran. Sehingga terjadi tembak mati 4 anggota FPI.

Meski secara tren (hasil survei di atas) gerakan intoleran meningkat, tapi fakta di lapangan kondisi masyarakat kini sudah adem. Para penegak hukum di semua level, berusaha keras menjaga empat pilar itu.

Terpenting, kesungguhan aparat penegak hukum melakukan sosialisasi ke masyarakat, bahwa intoleransi berbahaya. Bisa menimbulkan perpecahan bangsa.

Bicara sosialisasi, pastinya terfokus pada pers. Sebagai ujung tombak dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 194.

Mencerdaskan kehidupan bangsa, tentu, tidak ada unsur kompor-mengompori. Melainkan merangkul semua komponen bangsa, menuju persatuan dan kesatuan Indonesia. rmol news logo article

Penulis adalah Wartawan Senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA