Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Determinasi Daerah di Tangan Penjabat Kepala Daerah

Oleh: Dr. Yusdiyanto, MH*

Senin, 24 Januari 2022, 18:28 WIB
Determinasi Daerah di Tangan Penjabat Kepala Daerah
Dr. Yusdiyanto, MH./Repro
Latar Belakang

KATA  determinisi sengaja digunakan untuk mengambarkan situasi dan arah otonomi daerah bila dipegang oleh Penjabat Kepala Daerah. Penjabat diistilahkan oleh orang yang melaksanakan jabatan sementara waktu.  

Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang penganut paham demokrasi, yakni rakyat yang berdaulat dan konstitusi menjamin pelaksanaan kedaulatan. Kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Negara pada dasarnya untuk melindungi dan menjamin hak-hak warga negara sebagai pemilik “original” kedaulatan.

Model penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind, secara langsung telah memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Sesuai konsepsi Undang-Undang Dasar 1945, Pemerintah Daerah berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan otonomi daerah pasca Amandemen UUD 1945 sukses mendorong desentralisasi politik dan desentralisasi wilayah, dengan menekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan ekonomi, kesejahteraan, keadilan, memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Dalam desentralisasi Politik, daerah diberikan hak otonomi melaksanakan pemilihan dan menentukan kepala daerah, yang secara filosofis merupakan format demokrasi ditingkat local dimana setiap Warga Negara berhak untuk dapat dipilih dan memilih dalam kontestasi demokrasi melalui pemungutan suara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

UUD 1945 telah mengatur mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dilaksanakan melalui pemilihan secara demokratis. Sebagaimana Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwasanya: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masingmasing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”

Ketentuan tersebut memberikan makna frasa “dipilih secara demokratis” dapat dilaksanakan, apakah prosesnya dipilih melalui lembaga perwakilan rakyat di daerah atau dipilih secara langsung oleh rakyat.

Ketentuan ini berkolerasi dengan ketentuan ayat (7) dari Pasal 18 UUD 1945 yang pada hakikatnya menegaskan bahwa frasa dipilih secara demokratis, terbuka, terhadap sistem yang ditentukan oleh politik, hukum, pemerintah, dan DPR. Jadi, ketentuan itu dapat ditafsirkan bahwa Pasal 18 ayat (4) jo. Pasal 8 ayat (7) Undang-Undang Dasar 1945 melihat bahwa frasa “bisa dipilih secara demokratis”. Berarti pemilihan langsung atau mandat representative oleh badan perwakilan daerah.

Politik dan hukum di tingkatan daerah telah menghendaki pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat sebagai suatu proses politik bagi menuju kehidupan politik yang lebih demokratis, transparan dan bertanggung jawab, karena itu untuk menjamin pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang berkualitas, berbobot, dan merupakan pilihan rakyat haruslah memenuhi derajat kompetisi yang sehat maka persyaratan dan tata cara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Diskursus Penjabat Kepala Daerah

Menjelang Pemilihan Kepala Daerah Serentak pada 2024 mendatang, sejumlah daerah di Tanah Air akan mengalami kekosongan kepemimpinan karena berakhirnya masa jabatan gubernur dan bupati/wali kota mulai 2022. Pilkada dilaksanakan secara serentak berdasarkan Pasal 201 ayat 09 UU No. 10 Tahun 2016, menegaskan:
Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.

Untuk mengisi kekosongan kepemimpinan jabatan pemerintah dapat menunjuk Pejabat sampai dilaksanakan Pilkada serentak pada November 2024. Sebagaimana Pasal 201 ayat 09 UU No. 10 Tahun 2016, menegaskan:
Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.

Penjelasan ayat 09:
Penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota masa jabatannya 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) tahun berikut dengan orang yang sama/berbeda.

Implikasi keberlakuan Pasal tersebut pada tahun 2022, akan ada 24 Provinsi dan 247 Kabupaten/kota yang bakal dijabat oleh Pejabat dari aparatur sipil negara (ASN). Yakni Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Sementara, pada 2023, provinsi yang bakal dijabat ASN antara lain Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Di Provinsi Lampung saja tahun 2022 bakal ada 5 (lima) Kepala Daerah di lima kabupaten yang habis masa jabatan. Pada Tahun 2023 ada 171 daerah, terdiri 17 Gubernur, 115 Bupati dan 39 Walikota berakhir.

Artinya sampai tahun 2024 dapat dipastikan semua kepala daerah baik itu Gubernur, Bupati dan Walikota bakal digantikan oleh Pejabat (Pj) sampai dilaksanakan Pilkada bersama ditahun 2024. Degan dan tanpa memperhitungkan durasi tetap masa jabatan 5 (lima) tahun, apakah hasil Pilkada 2018 maupun Pilkada 2020.

Pasal 201 UU No. 10 Tahun 2016, akan  berimplikasi pada penyelenggaraan Otonomi Daerah melalui: Penunjukan Penjabat oleh pemerintah sampai dengan 2024 dan Pengurangan Masa Jabatan hasil Pilkada tahun 2020.

Masih belum lekang dari ingatan daerah yang dipimpin oleh Penjabat menuai kecaman rakyat berupa ketidakpuasan, kapitalisasi birokrasi, minim legitimasi rakyat, penyalahgunaan anggaran sampai pada minim pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

A. Penunjukan Penjabat

Secara norma, menurut ketentuan administrasi negara penunjukan Penjabat Kepala Daerah yang bersandar dengan UU No. 5 Taun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, memberikan tafsir sebagai berikut:  Pertama, Penjabat hadir dikarenakan pimpinannya (gubernur, bupati atau walikota) berhalangan karena sesuatu hal, seperti meninggal dunia, tersangkut masalah hukum dan sebagainya sehingga pejabat tersebut tidak dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, sehingga jalannya roda pemerintahan dilanjutkan oleh seorang wakil (gubernur, bupati atau walikota) sampai selesai masa tugasnya.

Kedua, Penjabat hadir disebabkan adanya pemekaran wilayah atau daerah, sehingga untuk menjalankan roda pemerintahan ditunjuk seorang penjabat (gubernur, bupati atau walikota) yang berasal dari birokrat.

Ketiga, Penjabat hadir disebabkan jabatan tersebut sedang ditinggalkan sementara oleh pemegang jabatan, seperti cuti, menjalankan ibadah haji, mengikuti pendidikan dan pelatihan sehingga untuk menjalankan roda organisasi perlu ditunjuk seorang pejabat sementara atau lebih dikenal dengan pejabat pelaksana harian (Plh).

Keempat, Penjabat hadir disebabkan jabatan tersebut tidak ada pejabatnya atau kosong sehingga untuk menjalankan roda organisasi perlu ditunjuk seorang pejabat sementara atau lebih dikenal dengan Pejabat pelaksana tugas (Plt).

Konsederan Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada, kehadiran Penjabat disebabkan jabatan tersebut kosong dan ditinggalkan akibat penerapan peraturan perundang-undangan Pilkada. Pengangkatan sebagai Penjabat Kepala Daerah merupakan penugasan kepada Penjabat Kepala Daerah, bukan merupakan pemilihan kepala daerah tidak langsung melalui DPRD maupun pemilihan umum kepala daerah langsung yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah.

Penunjukan Penjabat Kepala daerah yang akan dilakukan oleh pemerintah tentu akan memicu pelbagai pertanyaan dan permasalahan, berupa: Pertama, apakah Penjabat mempunyai kewenangan mengambil keputusan yang mengikat publik, “karena pengambilan keputusan adalah aspek yang paling penting dan kewenangan mengambil keputusan adalah terletak pada mereka yang menduduki posisi Kepala Daerah.

Kedua, Bagaimana jika Penjabat dalam pembuatan kebijakan publik dipengaruhi oleh sikap yang dimiliki, karena melekat sifat kesementaraannya atau disebut aji mumpung sehingga proses, hasil dan keputusan yang dibuat cenderung menguntungkan, berpotensi mementingkan dirinya sendiri, kelompok atau yang menunjuknya serta menimbulkan benturan kepentingan.

Ketiga, Bagaimana bila Penjabat dalam pembuatan kebijakan tidak memenuhi prosedur yang benar, mulai dari identifikasi masalah dan tujuan, formulasi kebijakan, pelaksanaan, evaluasi dan pengawasan hasil kebijakan. Keempat, bagaimana Penjabat, yang menduduki jabatan tersebut dalam waktu yang cukup lama, misalkan  lebih dari 2,5 tahun, artinya sebagaimana regulasi yang ada sudah masuk satu periode jabatan jabatan kepala daerah definitif, tentu dengan lamanya masa waktu jabatan akan sangat berimplikasi pada pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Selain itu, Pemberlakuan norma (implementasi) dan pilihan kebijakan (legal policy) pembentuk undang-undang (Presiden bersama Dewan Perwakian Rakyat) tersebut berdampak dan memiliki ekses kepada kepala daerah dan wakil kepala daerah dan yang dapat dipastikan akan terkena dampak/ekses atas keberlakuan ketentuan tersebut apalagi ini berlangsung lama.

Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional masyarakat daerah tidak dapat dihindari. Perlbagai pengalaman daerah yang digawangi oleh Penjabat daerah tidak selaras dengan ekspektasi yang diharapakan namun lebih kepada dampak buruk kepada daerah berupa kapitalisasi birokrasi, amburadul tata kelola-keuangan daerah, pembangunan mandeg dan kesejahteraan daerah terabaikan.

Sebagaimana ungkapan Lord Acton, ”Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”. Pasal 201 UU No. 10 Tahun 2016, yang menjadi landasan yuridis dari pengangkatan Pejabat Publik menunjukkan dari sisi politik dimana politisi membuat undang-undang didasarkan pada di satu pihak inisiatif untuk mendorong proses konsolidasi demokrasi lebih efektif dan efisien tetapi di pihak lain memunculkan kelemahan-kelemahan, kepentingan atau juga kealpaan sehingga memicu kisruh politik dan memperdaya kekhasan otonomi daerah.

Untuk itu, pengangkatan Penjabat dapat dipastikan akan menimbulkan permasalahan tersendiri terutama dari aspek hukum, terutama legitimasi dari rakyat minim karena pilihan pemerintahan atas, kecurigaan publik atas pengangkatan Penjabat yang lebih pada aroma Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ketimbang pilihan langsung.

Kemudian dapat diperhatikan kedudukan Penjabat Kepala Daerah berbeda dengan Kepala Daerah definitive dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang akan mengikat masyarakat atau publik di daerah tersebut, seperti kebijakan yang sifatnya strategis dan harus dilakukan.

Adanya perbedaan tanggung jawab dan wewenang melekat antara Kepala Daerah definitif dan Penjabat diperlukan batasan waktu bagi Penjabat. Karena diketahui belum ada aturan secara normatif tentang batasan seorang Penjabat, baik batasan kewenangan maupun batasan waktu lamanya menjabat. Semua tersebut kembali pada pembentuk dan pelaksana norma dalam menjalankan pengangkatan Penjabat dengan melekatkan hak atribusi, delegasi, dan mandat.  

Untuk itu perlu ditegaskan pengangkatan Penjabat tentunya memiliki kewenangan yang sangat terbatas, baik dari segi kewenangan maupun dari jangka waktu, oleh karena itu perlu ada batasan kewenangan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power),

B. Pengurangan Masa Jabatan


Dalam pelaksanaan Pilkada 2024 yang akan datang juga diketahui adanya pembatasan Jabatan Kepala Daerah, sebagaimana Pasal 201 ayat 7 UU No. 10 Tahun 2016 menegaskan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024.

Dari Pasal tersebut dapat diketahui masa jabatan Kepala Daerah kurang dari 5 tahun, sementara Pasal 60  UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda menegaskan  Masa jabatan kepala daerah adalah selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Ketetapan 5 tahun masa jabatan ini menandakan telah ditetapkan fixed-term, dalam artian tidak boleh dikurangi dan ditambah dengan dan tanpa alasan apapun kecuali Kepala daerah tersebut meninggal dunia, berhenti dan karena permasalahan hukum.

Pengurangan masa jabatan secara konstitusional telah tidak selaras dan bertentangan dengan Pasal 27 UUD 1945 ayat (1) menyatakan:  "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".

Pasal 28D ayat (1) menyatakan: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum".

Pasal 7 UUD 1945 yaitu: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.

Pengurangan masa jabatan dalam satu periode kepala daerah perlu diperjelas baik secara normatif  dan substantif serta rinci mengenai masa jabatan kepala derah hal ini untuk mencegah terjadinya multitafsir, konsekuensi luas dan akhirnya menimbulkan problematika yang dapat menganggu jalannya roda pemerintahan di Indonesia.

Penutup

Penunjukan penjabat akan menimbulkan dampak yang luar biasa kepada jalannya otonomi otonomi daerah. Kepala daerah sejatinya berangkat dari legitimasi politik dan hukum kemudian bergeser jadi Penunjukan, tentu ini bakal memicu determinasi otonomi daerah yang kian sentralistik dan menerima paham otoritarian seperti rezim orde baru lalu yang berlindung dalam kemasan regulasi dan alasan keserempakan, efisiensi dan efektivitas.

Bongkar pasang model pemilihan kepala daerah perlu sudah sepantasnya dipikirkan ulang dengan melihat kepentingan otonomi daerah yang lebih luas dan keterlibatan masyarakat demi kesejahteraan dan keadilan sosial.

Selain itu dari sisi negatif  penunjukan Penjabat Kepala Daerah sudah sepantasnya Presiden mengeluarkan Perppu guna memberikan dasar hukum untuk pengisian masa jabatan kepala daerah. Perppu sebagai pilihan yang paling konstitusional untuk dilakukan. Selain itu, pilihan menetapkan Perppu ialah sebagai komitmen dalam menjamin pelaksanaan otonomi daerah, keberlangsungan program stategis pembangunan daerah, serta sebagai wujud keberpihakan terhadap prinsip demokrasi di daerah.

*Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara  Fakultas Hukum Universitas Lampung

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA