Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Arteria Dahlan Sodok Hati Mang Aen

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/djono-w-oesman-5'>DJONO W OESMAN</a>
OLEH: DJONO W OESMAN
  • Kamis, 20 Januari 2022, 21:30 WIB
Arteria Dahlan Sodok Hati Mang Aen
Arteria Dahlan dipanggil DPP PDIP karena pernyataan bernada rasisme/Ist
POLITISI PDIP Arteria Dahlan dipolisikan. Soal ucapannya, dinilai menistakan Suku Sunda. Pemolisian, kebetulan, di hari yang sama dengan sanksi peringatan dari PDIP terhadap Arteria, Kamis (20/1).
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Setelah itu, barulah Arteria minta maaf kepada masyarakat Suku Sunda. Ia menyatakan, tidak bermaksud menistakan Suku Sunda.

Padahal, sehari sebelumnya, Rabu (19/1) Arteria kepada wartawan di Kompleks Parlemen, bersikukuh mengatakan begini:

"Kalau saya salah, kan jelas, mekanismenya ada MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan-DPR RI). Apakah pernyataan salah? Kita ini demokrasi, silakan kalau kurang berkenan dengan pernyataan saya, silakan saja."

Konstruksi kasus. Senin, 17 Januari 2022. Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan Jaksa Agung Burhanuddin ST. Arteria, anggota Komisi III berada di situ.

Di suatu kesempatan, Arteria bicara. Meminta jajaran Kejaksaan Agung bekerja profesional. Arteria menyebut, kepala kejaksaan tinggi yang menggunakan bahasa Sunda ketika rapat kerja.

Arteria: "Ada kritik sedikit, Pak JA (Jaksa Agung). Ada kajati yang dalam rapat dan dalam raker, itu ngomong pakai bahasa Sunda. Ganti, Pak, itu."

Pernyataan Arteria mengejutkan rapat. Yang dimaksud dengan kata "ganti", ditafsirkan: Copot. Atau pecat.

Kejadian itu diberitakan pers, maka jadi heboh. Ke mana-mana. Terkait Suku Sunda. Yang berarti masuk wilayah SARA (Suku Agama Ras Antar-golongan). Wilayah sensitif.

Para tokoh Sunda mengkritik pernyataan Arteria. Mereka membuat twibbon. Ini postingan dengan bingkai menarik. Twibbon merupakan media sosial promosi. Bentuk pamflet, banner atu foto. Dibingkai frame atau border.

Twibbon digunakan warga Sunda, lalu diunggah di media sosial mereka. Di WhatsApp, Instagram, Facebook, medsos lain.

Mereka di antaranya, Kuring Urang Sunda, Ulah Era Nyarita ku Basa Sunda, Aing Urang Sunda Sia Rek Naon, Sunda Wibawa, Aing Sunda Banten, Siliwangi. Jadi meluas.

Puncaknya, Majelis Adat Sunda melapor ke Polda Jabar. Persis bersamaan waktu di hari PDIP mengumumkan, memberi sanksi peringatan terhadap Arteria Dahlan, terkait itu, Kamis (20/1).

Sanksi PDIP diumumkan Ketua Mahkamah PDIP, Komarudin Watubun, Kamis (20/1/22) demikian:

"Surat sanksi peringatan ditandatangani Pak Sekjen (Hasto Kristiyanto) dan saya sebagai Ketua DPP Bidang Kehormatan."

Dilanjut: "DPP sudah menerima berbagai laporan dan membaca pemberitaan di media. Termasuk dari pendukung partai di Jawa Barat, yang merasa terusik dan kurang nyaman dengan pernyataan Pak Arteria Dahlan."

Komarudin menjelaskan, Kamis itu juga DPP PDIP memanggil Arteria untuk meminta klarifikasi. Dalam klarifikasinya, Arteria meminta maaf kepada masyarakat Jawa Barat, khususnya Suku Sunda, demikian:

Arteria Dahlan: "Saya dengan sungguh-sungguh menyatakan permohonan maaf kepada masyarakat Jawa Barat, khususnya masyarakat Sunda, atas pernyataan saya beberapa waktu lalu."

Arteria kelahiran Jakarta 1975, adalah advokat. Pemilik Kantor Hukum Arteria Dahlan Lawyers. Ia kurang membaca sejarah, bahwa Presiden RI Pertama, Ir Soekarno menyukai Suku Sunda.

Cindy Adams dalam bukunya, "Soekarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams" (Bobbs-Merrill, 1965) memaparkan jelas, kecintaan Bung Karno pada Suku Sunda. Begini:

Suatu siang di tahun 1927. Si Bung Besar (Soekarno) bersepeda di pedesaan Bandung Selatan. Ia sampai di suatu persawahan. Berhenti mengayuh.  

Perhatian Bung Besar tertumbuk pada sosok petani berbaju lusuh, sedang mencangkul sendirian di sepetak sawah. Bung Besar turun dari sepeda, berjalan mendekati si petani. Dialognya begini:

“Siapa pemilik tanah yang kau garap ini?” tanya Soekarno dalam bahasa Sunda.

“Saya, juragan.”

“Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?”

“O, tidak, Gan. Saya memilikinya sendiri.”

“Apakah kau membeli tanah ini?”

“Tidak. Ini turun-temurun, diwariskan dari orang tua kepada anaknya.”

Persis benar dengan angan Soekarno selama ini. Di Hindia Belanda (saat itu 1927) seorang pekerja kecil, punya alat produksi sendiri. Punya petak sawah kecil, punya cangkul, bajak, ani-ani.

Itu bukan kaum proletar. (sebagai gambaran, zaman itu sudah ada konflik proletar versus borjuis di Eropa).

Warga Hindia Belanda bukan proletar. Karena, konsep proletar adalah kaum pekerja yang papa. Tidak punya apa-apa. Bekerja pada kaum borjuis, untuk mencari nafkah.

Sedangkan petani yang ditemui Soekarno itu, punya apa-apa. Walaupun sangat sederhana.

Menjelang Bung Besar meninggalkan petani itu, Bung Besar bertanya: "Siapa namamu?"

Dijawab petani: "Marhaen."

Bung Besar menghabiskan sisa hari itu dengan bersepeda mengitari Bandung. Sepanjang jalan ia terus berpikir. Menyusun keping-keping pemikiran yang selama ini tersumbat di benaknya.

Bung Besar kemudian menulis: “Di saat itu cahaya ilham melintas di otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia. Semenjak itu kunamakan rakyatku, Marhaen." (Adams, Cindy, Soekarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams, Bobbs-Merrill, 1965)

Dalam penelusuran lebih lanjut, Wartawan Senior Surabaya, Peter Apollonius Rohi (alm), melakukan peliputan sejarah, 2001. Peter pengagum Bung Karno. Ia menapak tilas jejak Bung Karno di Bandung Selatan, saat bertemu Marhaen itu.

Hasil investigasi, Peter menemukan cucu Marhaen. Mewawancarainya. Tapi, orang yang bertemu Bung Karno di tengah sawah itu, menurut Peter, bukan bernama Marhaen.

Melainkan, Aen. Biasa dipanggil Mang Aen. "Mang" dalam bahasa Sunda berarti Paman, atau Paklik bahasa Jawa.

Peter, sebagai jurnalis, tidak menyimpulkan apa-apa terkait itu. Ia hanya menegaskan, bahwa petani itu dipanggil Mang Aen.

Mang Aen berbincang dengan Bung Karno di tengah sawah, di tahun 1927. Saat itu warga sekitar memperhatikan. Karena, orang bersepeda di zaman itu adalah kaum elit. Kalau bukan orang Belanda, ya Pribumi elit. Makanya, warga bergerombol di sana.

Terlepas, Mang Aen atau Marhaen, tapi itulah embrio Marhaenisme. Yang jadi akar budaya politik Partai Nasional Indonesia (PNI) Bung Karno.

PNI kemudian berubah nama jadi PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Internal PDI pecah di 1996. Terjadi bentrok berdarah di Markas PDI Jalan Diponegoro, Jakarta, 27 Juli 1996.

PDI pecah dua. PDI pimpinan Surjadi, dan Megawati Soekarno Puteri membentuk PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Yang sekarang jadi partai bernaungnya Arteria Dahlan.

Arteria menyodok Suku Sunda, kecintaan Bung Karno. Maka, Arteria bisa dihardik Bung Karno: "Jas Merah. Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah."rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA