Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Hilangnya Deliberasi dalam Legislasi Cepat RUU IKN

Oleh: Ahmad Hanafi*

Rabu, 19 Januari 2022, 22:53 WIB
Hilangnya Deliberasi dalam Legislasi Cepat RUU IKN
Pradesain Istana Negara berlambang burung Garuda di Ibu Kota Negara (IKN) di Penajem Paser Utara, Kalimantan Timur/Net
DPR mengesahkan RUU Ibu Kota Negara menjadi Undang Undang dalam waktu 42 hari. Terhitung sejak 7 Desember 2021 sampai 18 Januari 2022. Sebagian alokasi waktu rapat Panitia Khusus IKN (Pansus IKN) ada di masa reses DPR, 25 hari.

Serangkaian Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) insentif ditempuh dalam waktu empat hari. Inilah quick legislation, legislasi cepat. Membahas 44 pasal RUU baru, bahkan tak sampai dua bulan.

Sementara itu, pemerintah telah menerbitkan kebijakan anggaran terkait IKN, bahkan sebelum RUU IKN disahkan. Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk pembangunan IKN melalui mekanisme program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Tak ada kewajiban bagi pemerintah untuk melakukan konsultasi dengan DPR dalam penyusunan PEN pada APBN-P mengingat kewajiban tersebut telah dianulir dalam UU 2/2020 yang mengatur tentang Penanggulangan Covid-19.

Dengan posisi mayoritas koalisi partai-partai pendukung pemerintah di DPR, pada akhirnya gabungan dari faktor-faktor di atas, menuntun DPR untuk melakukan quick legislation ini.

Quick legislation berbeda dengan fast track legislation, yaitu mekanisme khusus legislasi cepat untuk merespons keadaan darurat. Juga bukan barang haram dalam demokrasi. Tapi perlu diingat ada sejumlah hal yang dikorbankan yang berdampak pada pengikisan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan bernegara.

Quick legislation tidak memberikan kesempatan yang cukup pada pengembangan wacana dan perdebatan publik mengenai isu-isu kebijakan. Deliberasi tak bertumbuh dari ruang publik dengan baik.  

DPR tak cukup terbuka untuk membangun deliberasi publik pada pembahasan RUU IKN. Keterbukaan dalam legislasi sejatinya mampu melahirkan kekuatan untuk menciptakan lingkaran di mana legitimasi, partisipasi warga, dan kepercayaan publik bersama-sama dapat mengarah pada perubahan politik yang dinamis (Joseph E. Stiglitz: 2003).

Dalam demokrasi, deliberasi publik sangat penting untuk memberikan legitimasi masyarakat yang kuat terhadap kebijakan-kebijakan negara karena tidak hanya bersumber dari lembaga-lembaga formal negara, tetapi juga masyarakat secara luas (Habermas: 1992).

Pembicaraan isu-isu kebijakan dimulai dari ruang publik di luar parlemen untuk ditindaklanjuti dalam proses konsultasi dan uji publik, baik di ruang-ruang formal maupun informal.

Ruang deliberasi mengijinkan publik untuk turut serta memiliki isu kebijakan sehingga memperkuat legitimasi. Uji publik dan konsultasi publik tak hanya bersifat formalitas semata. Interaksi gagasan antara konstituen (principal) dan Anggota Parlemen (agent) pada terjadi ruang ini. Parlemen hadir di ujung perdebatan wacana untuk memoderasi semua pendapat dan mengambil keputusan politik.

Dengan demikian, keputusan-keputusan politik dapat diterima dan mengikat seluruh anggota masyarakat dimulai dari pinggiran hingga menuju parlemen. Sayangnya, iklim ini tidak kita temukan dalam pembahasan RUU IKN.

Pemindahan IKN memang bukan hal baru di negeri ini. Tiga presiden sebelum Presiden Joko Widodo telah mewacanakan pemindahan IKN, Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, dan Presiden SBY. Tapi wacana itu belum sempat tertuang dalam draft kebijakan.

Jejak wacana yang panjang ini seharusnya menjadi rujukan yang berharga dalam membangun wacana baru untuk legislasi RUU IKN.

Sebaliknya, UU IKN dikritik dan diperdebatkan publik, justru setelah disahkan oleh DPR. Berbagai pernyataan sikap dan kajian kritis terkait IKN mulai muncul. Publik menilai banyak aspek yang belum terjawab secara tuntas: konstitusionalitas bentuk pemerintahan IKN, status tanah IKN, infrastruktur, masyarakat adat di sekitar IKN, tata kota, dan anggaran.

Artinya, banyak pihak yang perlu dimintai pendapat atau diberi ruang perdebatan untuk menjajaki permasalahan yang mungkin muncul dan solusinya. RUU IKN tidak bisa diselesaikan dengan metode quick legislation.

Minimnya wacana di ruang publik salah satunya dipengaruhi oleh rendahnya pasokan informasi yang diproduksi oleh pemerintah dan DPR. Sepanjang proses legislasi RUU IKN di portal Sistem Informasi Legislasi DPR tersedia Dokumen Naskah Akademik, Draf RUU IKN, Surat Presiden dan bahan narasumber dari RDPU.

Dokumen penting lainnya terkait Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), Pandangan Fraksi, Laporan Singkat, Risalah dan jadwal tak satupun ditemukan dalam portal tersebut.

Ini mengingatkan kembali kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 Mahkamah Konstitusi yang secara tidak langsung mengingatkan kepada DPR dan Pemerintah agar memenuhi asas-asas pembentukan perundang-undangan, khususnya asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan bermakna.

Partisipasi bermakna tidak berhenti hanya pada aspek pemenuhan prosedur semata. Tetapi bagaimana melibatkan publik pada pengambilan keputusan yang paling inti, yaitu menyetujui atau tidak menyetujui terhadap rancangan kebijakan yang ditawarkan oleh DPR dan Pemerintah dalam legislasi RUU IKN.

Partisipasi juga soal prosedur partisipasi yang memastikan bahwa hak-hak warga negara dan seluruh stakeholders terpenuhi secara seimbang.

Pada akhirnya, legislasi bukan hanya semata-mata ditujukan untuk mencari landasan hukum terhadap program-program yang akan dilaksanakan pemerintah.

Lebih dari itu, legislasi menghasilkan hukum untuk pembangunan sosial: pembangunan manusia dan lingkungan pendukungnya. Legislasi adalah agenda publik sehingga harus dibicarakan bersama publik, tak semata oleh elite politik.rmol news logo article

*Penulis adalah Direktur Indonesian Parliamentary Center

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA