Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Positioning Pesantren terhadap Negara

Oleh Moch Eksan*

Minggu, 16 Januari 2022, 14:52 WIB
<i>Positioning</i> Pesantren terhadap Negara
Moch Eksan/RMOL
NEGARA Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri salah satunya berkat peran serta dan perjuangan para kiai pondok pesantren. Negara telah mencatat kontribusi mereka melalui pemberian gelar pahlawan kepada para kiai pondok pesantren tersebut.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Dari 195 pahlawan nasional, sekurang-kurangnya ada 10 kiai pesantren yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Antara lain:

Pertama, KH Zainul Arifin Pohan (1909-1963). Seorang putra Raja Barus, Sultan Ramli Bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan. Ia aktif di GP Ansor, dai muda yang diduduk di Maj3lis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan panglima Hizbullah.

Ia tercatat sebagai politisi NU yang pernah menjadi wakil perdana menteri dan Ketua DPR GR. Pengasuh Perguruan Rakyat di Kawasan Meester Cornelis Jatinegara ini tertembak pada saat percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno pada pelaksanaan sholat Idul Adha di Lapangan Hijau antara Istana Negara dan Istana Merdeka.

Pelaku penembakan itu dari DI/TII. Korban salah tembak ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 1963. Ini gelar pahlawan nasional yang pertama kali diperoleh oleh kiai NU.

Kedua, KH Hasyim Asy'ari (1875-1947) adalah pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Pendiri NU 1926 dan Ketua Masyumi pertama 1943 ini yang mengeluarkan Resolusi Jihad dan memicu pertempuran 10 November 1945. Ia bapak dari Menteri Agama KH Wahid Hasyim dan kakek dari Presiden Indonesia KH Abdurrahman Wahid. Ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 1964.

Ketiga, KH Wahid Hasyim (1914-1953) adalah Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng. Ia anggota BPUPKI, PPKI dan panitia 9 yang merumuskan ideologi negara dan konstitusi. Ia Ketua Umum PBNU yang ke-5 yang menjabat sebagai menteri negara pada 1945 dan menteri agama pada 1949-1952. Ia meninggal lantaran kecelakaan lalu lintas di Kota Cimahi pada 1953. Ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 1964.

Keempat, KH Zainal Mustafa (1907-1944) adalah pengasuh Pondok Pesantren Sukamanah. Ia Wakil Rois Syuriah PCNU Tasikmalaya. Ia melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan pemberontakan terhadap pendudukan Jepang. Peristiwa heroik itu dikenal dengan Pemberontakan Singaparna yang menewaskan 130 orang dan 700-800  orang di penjara. Ia dieksekusi mati oleh pemerintah Jepang pada 1944. Sahabat KH Ruchiyat ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 1972.

Kelima, KH Idham Chalid (1921-2010) adalah pengasuh Pendidikan Islam Darul Ma'arif di Jakarta Selatan dan Darul Qur'an di Cisarua Bogor. Ia pernah menjadi wakil perdana menteri pada era Presiden Soekarno dan Menkokesra pada masa Presiden Soeharto. Selain pernah menjadi, Ketua DPR/MPR pada 1971-1977 dan Ketua DPA sampai 1983. Ia Ketua Umum PBNU terlama dalam sejarah semenjak 1953-1984, serta Presiden PPP sampai 1989. Ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 2011.

Keenam, KH Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971) adalah pengasuh ke-2 Pondok Pesantren Darul Ulum Tambakberas Jombang. Ia pendiri NU yang banyak membidani organisasi gerakan, baik pemikiran dan kepemudaan maupun gerakan ekonomi umat. Ia Rois Aam terlama PBNU dari 1947-1971. Ia penulis lagu Ya Ahlal Wathan yang dipopulerkan pertama kali oleh KH Maemun Zubair. Ia pernah menjadi anggota DPA dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 2014.

Ketujuh, KH As'ad Syamsul Arifin (1897-1990) adalah pengasuh ke-2 Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Ia memimpin pasukan pelopor ikut perjuangan fisik mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia Mustasyar PBNU yang mendorong penerimaan Asas Tunggal Pancasila dan gerakan kembali Khittah NU 1926. Juru kampanye Partai NU pada Pemilu 1955 ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 2016.

Kedelapan, Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid (1898-1997) adalah pendiri Pondok Pesantren Mujahidin pada 1934 dan Madrasah Nahdlatul Wathan pada 1937. Para santrinya kemudian mendirikan madrasah semisal di berbagai daerah di NTB di bawah naungan Organisasi NW ini. Bapak dari Gubernur NTB Tuan Guru Dr KH Muhammad Zainal Majdi, MA (2008-2018) ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 2017.

Kesembilan, KH Syam'un (1894-1949) adalah pengasuh Perguruan Islam Al-Khairiyah Citangkil Kota Cilegon. Ia alumni Universitas Al-Azhar Mesir yang berkarir di dunia kemiliteran semenjak zaman Jepang. Ia anggota PETA yang pernah menjabat Bupati Serang pada 1945-1949. Pada agresi militer kedua Belanda, ia memimpin pasukan gerilya dan meninggal karena sakit saat memimpin perang tersebut. Negara memberi pangkat kehormatan dari kolonel menjadi brigjen atas jasanya. Ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 2018.

Kesepuluh, KH Masykur (1904-1994) adalah Ketua Yayasan Universitas Islam Malang (Unisma) pada 1980-1994, serta dewan kurator Universitas Islam Indonesia dan Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an. Ia panglima Barisan Sabilillah yang pernah menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU, Rois Syuriah dan Mustasyar PBNU. Selain menjadi Menteri Agama pada 1948-1950 dan1953-1955. Anggota DPR GR dan DPA ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 2019.

Nampaknya, positioning kiai pesantren terhadap negara mengalami pasang surut. Ini berkaitan dengan politik pendidikan dari pemerintah yang sedang berkuasa.

Selama Orde Lama, apresiasi negara terhadap kiai pesantren relatif baik. Kiai banyak dilibatkan dalam pemerintahan. Selain banyak mengisi parlemen juga masuk menjadi anggota kabinet. Bung Karno juga memberikan gelar pahlawan nasional kepada 3 kiai. Yaitu Kiai Zainal, Kiai Hasyim dan Kiai Wahid.

Sebaliknya, pada masa Orde Baru, apresiasi negara terhadap kiai pesantren kurang baik. Pemerintah hanya melibatkan kiai pesantren awal-awal pemerintahan Pak Harto. Di pertengahan dan penghujung kekuasan The Smiling General ini, kiai mengalami marginalisasi. Pak Harto hanya memberikan gelar pahlawan nasional pada satu kiai pesantren saja. Yaitu Kiai Zainal Tasikmalaya.

Sementara, pada masa Orde Reformasi, apresiasi bangsa terhadap kiai pesantren sangat baik. Dua putra terbaik pesantren, Gus Dur dan Kiai Ma'ruf menjadi presiden dan wakil presiden.   

Presiden SBY memberikan gelar pahlawan nasional pada 2 kiai pesantren. Yaitu Kiai Idham dan Kiai Wahab. Dan, Presiden Jokowi menetapkan pahlawan nasional pada 4 kiai pesantren. Yaitu Kiai As'ad, Tuan Guru Majid, Kiai Syam'un dan Kiai Masykur.

Jelas, bahwa 7 presiden yang pernah berkuasa di republik ini, Presiden Jokowilah yang paling pro pesantren dan keluarga besar pesantren. Ini terbukti dari serangkaian kebijakan yang diambilnya.

Pertama, Jokowi menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Penetapan ini berdasarkan Resolusi Jihad  yang dikeluarkan Kiai Hasyim dalam perjuangannya merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Tiap HSN, pemerintah di semua tingkatan memperingati untuk memetik semangat juang bela negara di tengah ancaman radikalisme dan terorisme.

Kedua, Undang Undang 18/2019 tentang Pesantren. UU ini bukan sekadar mengintegrasikan sistem pendidikan pesantren pada sistem pendidikan nasional, tetapi menjadi sistem pendidikan sendiri yang khas dan unik yang direkognisi, diafirmasi dan difasilitasi oleh negara.

Ketiga, Jokowi telah mengeluarkan Perpres 82/2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren. Perpres ini menetapkan sumber dana pesantren terdiri dari: masyarakat, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dana abadi dan dana lain yang sah.

Alhasil, positioning  pesantren yang sangat kuat hari ini, haruslah benar-benar digunakan untuk memproyeksikan pesantren sebagai inti pendidikan nasional, serta budaya pesantren sebagai inti pembangunan kebudayaan nasional.rmol news logo article

*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA