Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Negeri Tengkulak

Oleh: Mukhaer Pakkanna*

Kamis, 13 Januari 2022, 08:31 WIB
Negeri Tengkulak
Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Mukhaer Pakkanna/Net
HARGA batubara dan CPO (Crude Palm Oil) terdongkrak tinggi dalam beberapa bulan terakhir. Pada pekan pertama Januari 2022 saja, harga bertengger 196,5 dolar AS per metrik ton di ICE Newcastle.

Di pasar domestik, harga acuan dipatok pemerintah melejit hingga 215,63 dolar AS per ton. Padahal, pada awal 2021, harga batu bara acuan hanya 75,84 dolar AS per ton.

Harga batubara tergenjot signifikan 93,7 persen secara year to date 2021. Tren harga batubara juga masih akan tinggi bertalian berlanjutnya krisis energi di China selama musim dingin dan jelang hari raya Imlek.

Sementara, harga CPO merujuk Bursa Malaysia untuk kontrak berjangka CPO Februari 2022 terdongkrak menjadi 5.262 ringgit malaysia per ton. Data Bernama, MPOB menyebut stok CPO hingga Desember 2021 turun 11,89 persen menjadi 830,339 ton dari 942,354 ton pada bulan sebelumnya karena produksi dan ekspor yang lebih rendah. Stok berkurang, permintaan terdongkrak.

Kemudian, kebijakan pemerintah yang melarang ekspor batu bara per 1 Januari 2022 hingga akhir Januari ini, berimbas pada harga komoditas ini di pasar global. Harga komoditas tersebut langsung naik dan kini berada di level 196,5 dolar AS per metrik ton.

Langkah pelarangan ini diambil Kementerian ESDM RI bertalian dengan menipisnya pasokan batubara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PT PLN (Persero) dan milik Independent Power Producer (IPP).

Kementerian ESDM menilai menipisnya stok batubara ini berdampak pada sekitar 20 PLTU dengan kapasitas daya 10.000 MW. Angka ini setara dengan potensi gangguan bagi 10 juta lebih pelanggan PLN.

Tiba-tiba, kalangan pengusaha dan tengkulak bereaksi merespons kebijakan pemerintah itu. Pasalnya, tak sedikit dari mereka yang patuh dengan aturan wajib pasok batu bara ke dalam negeri atau DMO (Domestic Market Obligation) akhirnya juga terkena larangan ekspor. Kebijakan itu juga dinilai bakal jadi buah simalakama atas kepastian iklim investasi di Indonesia di tengah upaya Indonesia melakukan pemulihan ekonomi.

Dengan tanpa kordinasi dan pertimbangan matang dari kebijakan Presiden dan Kementerian ESDM RI, tiba-tiba melalui Menteri Luhut Binsar Panjaitan (LBP), kembali membuka pintu ekspor batubara per Rabu (12/1). Artinya, larangan ekspor batubara hanya berjalan 12 hari setelah kebijakan ditetapkan.

Aneh bin ajaib, keputusan tersebut juga diberikan setelah pemerintah menerima tekanan dari beberapa negara besar, seperti Jepang dan Korea Selatan. Negeri jiran Filipina juga telah berkirim surat kepada Menteri ESDM agar ekspor batubara bisa dibuka lagi.

Bukti-bukti kasus di atas secara telanjang menunjukkan bahwa ada persoalan ekonomi-politik yang tidak beres dalam pengelolaan kebijakan ekonomi Negara.

Pada kasus CPO, harga CPO sudah melangit ke angkasa di pasar global, Negara pun menerima berkah devisa yang luar biasa besar. Catatan ekspor pun surplus. Menteri Keuangan RI tersenyum lebar. Pun para pengusaha sawit skala raksasa yang sudah lama merusak keanekanragaman hayati di lokasi perkebunan sawit, plus telah merampas kesuburan lahan, menyedot air yang rakus, munculnya perkebunan monokultur, sangat untung luar biasa di tengah trend harga yang terus menerus melambung.

Kontras dengan itu, nasib Pedagang Kaki Lima (PKL) penjual gorengan di pinggir-pinggir jalan atau emperan toko, menjerit-jerit karena harga minyak goreng turunan komoditas CPO terangkat tinggi, tidak ketulungan. Belum tuntas didera dampak pandemi Covid-19 karena mobilitas warga dibatasi, jualan mereka pun saat ini dipukul lagi oleh kenaikan harga minyak goreng di pasaran.

Ada ihwal yang paling aneh bin ajaib dalam kasus CPO ini. Tergerusnya penerimaan pajak dari industri sawit Indonesia,. Komoditas ini selalu menyumbang devisa terbesar, di tengah harga internasional yang membaik. Luasan areal dan produksi buah tandan segar sawit meningkat. Tapi pada faktanya, ada kejanggalan. Penerimaan pajak terus merosot dari Rp 21,87 triliun (2015) selanjutnya pada tahun berikutnya hanya retara Rp15 triliun (2020).

Ini tandanya, banyak pelaku usaha dan industri sawit tidak melaporkan pajaknya dan terjadi pengelabuhan pajak. Tentu, kasus sejenis “setali tiga uang” pada industri ekstraktif, misalnya, batubara, emas, nikel, tembaga, dan lainnya,   

Inilah yang menandakan, pemerintah belum solid dan cerdas dalam melakukan koordinasi. Mungkin banyak menterinya sudah mulai mengurus urusan partai politiknya menjelang 2024 melupakan tugas Negara.

Maka, memang kebijakan populis yang selalu diambil pemerintah selalu diterpedo oleh para tengkulak dan bandit ekonomi, yang kerapkali bersekongkol melalui lobi dan dengan kekuatan asing, Kepastian berusaha di dalam negeri menjadi taruhannya. rmol news logo article
 
*Penulis adalah Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA