Hampir tiga puluh tahun sebelumnya, yaitu pada 21-25 Januari tahun 1992 Lampung juga pernah menjadi tuan rumah Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU.
Walaupun bukan muktamar, munas dan konbes di Lampung tiga dasawarsa yang lalu itu tercatat sebagai salah satu milestone dalam sejarah Nahdlatul Ulama.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah NU pemilihan Rais Aam Syuriah dan Wakil Rais Aam “terpaksa†dilakukan dalam forum munas bukan dalam forum muktamar karena KH Ali Yafie Wakil Rais Aam yang menjadi Pejabat Rais Aam (menggantikan KH Achmad Shiddiq yang wafat satu tahun sebelumnya) secara mengejutkan menyatakan mundur dari jabatannya.
Intensitas dinamika internal di tubuh NU yang pernah terjadi 37 tahun yang lalu menjelang Muktamar Situbondo tahun 1984 dan ketika Munas Lampung 1992 sempat seperti akan terulang kembali pada Muktamar Lampung 2021 ini.
Tetapi sebagaimana layaknya organisasi besar yang telah berumur seabad, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari dinamika internal itu. NU telah teruji memiliki mekanisme resolusi konflik yang relatif mapan dan elegan.
Karena meyakini hal itu maka tulisan ringkas ini tidak akan bersusah payah ikut-ikutan latah menganalisis dan mengotak-atik kalkulasi potensi dan peluang dalam kontestasi Ketua Umum Tanfidziyah maupun Rais Aam Syuriah PBNU ke depan.
Sebagai bagian dari masyarakat awam, penulis hanya ingin menyampaikan harapan agar secara substantif capaian keputusan dalam Muktamar di Lampung tahun 2021 dapat melampaui catatan sejarah yang pernah dilahirkan dalam Munas dan Konbes di Lampung tahun 1992.
Pada Munas dan Konbes tahun 1992 di Gedung Serba Guna (GSG) Universitas Lampung (Unila), prinsip-prinsip pengembangan sosial dan ekonomi NU yang sejak Muktamar di Banten tahun 1938 tertuang dalam
mabadi khaira ummah ats-tsalatsah (
ash-shidqu/tidak berdusta,
al-wafa bil ‘ahd/menepati janji dan
at-ta’awun/tolong-menolong) dikembangkan lagi menjadi
mabadi khaira ummah al-khamsah (ditambah dengan prinsip
‘adalah/keadilan dan
istiqamah/keteguhan).
Munas dan Konbes NU di Bandar Lampung menjadi tempat kelahiran kedua mabadi khaira ummah NU setelah 54 tahun kelahiran pertamanya pada Muktamar NU di Menes, Banten.
Munas dan Konbes tahun 1992 juga melahirkan keputusan-keputusan fundamental terkait pandangan NU terhadap masalah perbankan dan asuransi, keputusan yang dikemudian hari menjadi rujukan dasar yang digunakan pemerintah baik dalam penyusunan perundang-undangan maupun penetapan regulasi praktek perbankan dan asuransi syariah di Indonesia.
Sejarah juga mencatat bahwa pada Munas dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung, lahir sebuah keputusan yang sangat revolusioner terkait “sistem pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulamaâ€.
Sejak didirikan pada tahun 1926, selama 66 tahun pengambilan keputusan hukum dalam
bahtsul masail (pembahasan masalah-masalah) di lingkungan NU hanya mengenal satu prosedur saja, yaitu merujuk pada
qaul (pendapat, pandangan, perkataan) dari Asy-Syaikhani (Imam An-Nawawi dan Imam Ar-Rafi’i) yang tertuang secara tekstual dalam kitab-kitab.
Munas dan Konbes NU di Lampung tahun 1992 menetapkan dua prosedur baru, yaitu
ilhaq al-masail bi nazha’iriha secara
jama’i (menggunakan
qiyas/qodliyah/silogisme dengan keputusan yang sudah ada) dan
istinbath secara
jama’i (menggunakan metodologi Imam Syafi’i).
Dengan dua prosedur baru itu, NU menjadi lebih responsif dan
up to date dalam memberikan keputusan hukum terkait masalah-masalah kemasyarakatan kontemporer.
Untuk pertama kalinya juga pada Munas dan Konbes NU di Lampung dikenalkan istilah “kerangka analisis masalahâ€, ditetapkan bahwa bahtsul masail harus melakukan analisa komprehensip dari berbagai perspektif (ekonomi, budaya, politik, sosial, hukum) terhadap setiap masalah yang dibahas.
Bahtsul masail juga harus mempertimbangkan dan melakukan simulasi terkait dampak dan konsekuensi dari setiap keputusan yang akan ditetapkan menjadi fatwa.
Tidak dapat dibantah, Munas dan Konbes NU di Lampung tiga dasawarsa yang lalu telah melahirkan begitu banyak keputusan luar biasa dan fundamental. Ketua Tanfidziyah PBNU KH Abdurrahman Wahid dan Katib Aam Syuriah PBNU KH Ma’ruf Amin ditengarai menjadi bidan yang membantu proses kelahiran keputusan-keputusan penting itu.
Bisa jadi karena besarnya manfaat yang diperoleh umat atas lahirnya keputusan-keputusan itu, Allah memberikan kemuliaan kepada mereka berdua sehingga dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia walaupun tidak dalam masa jabatan yang bersamaan.
Apakah capaian luar biasa dalam Munas dan Konbes NU tahun 1992 itu bisa diteladani dan diikuti juga oleh Ketua Tanfidziyah KH. Said Aqil Siradj dan Katib Aam PBNU KH. Yahya Cholil Staquf dalam Muktamar ke-34 di Lampung?
Wallahu’alam bishowab.
Jawabannya akan sama-sama kita saksikan dalam dua hari ke depan, karena sejatinya NU yang disebut oleh KH. Achmad Shiddiq sebagai
jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan) sudah barang tentu akan jauh lebih mementingkan pembahasan tentang masalah-masalah keumatan, kebangsaan dan kenegaraan ketimbang menghabiskan waktu dan sumber daya hanya untuk kegenitan sesaat dalam kontestasi jabatan di internal organisasi.
Selamat mengaji dan ber-tabarruk di Lampung, Sang Bumi Ruwa Jurai, semoga Allah memberi petunjuk ke jalan yang selurus-lurusnya.
Penulis adalah Ketua DPD Ormas MKGR Provinsi Lampung
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: