Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menimbang Untung Rugi Internasionalisasi Pendidikan

Oleh: Zahidiyah Ela Tursina*

Jumat, 17 Desember 2021, 01:58 WIB
Menimbang Untung Rugi Internasionalisasi Pendidikan
Ilustrasi pendidikan/Net
DI ERA revolusi industri 4.0, internasionalisasi pendidikan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi bilamana sekolah ingin bisa mengimbangi kecepatan modernisasi peradaban.

Sebagai contoh bentuk internasionalisasi pendidikan, penyelanggaran program sister school di lingkungan sekolah. Internasionalisasi pendidikan melalui program sister school ini dimaknai sebagai wujud persaudaraan antar sekolah yang terletak di negara yang berbeda.

Sebuah persaudaraan kosmopolitan yang kemudiaan direalisasikan dalam bentuk penyelenggaraan ragam kegiatan bersama, seperti, pertukaran guru dan siswa, dan lain-lain.

Media online Times Indonesia (2021) menyebutkan bahwa sebanyak 60 sekolah di Surabaya telah menjalin kerjasama melalui program sister school. Data fakta ini menarik. Sebab, fakta tersebut mempertegas bahwa memang banyak sekolah tertarik untuk melakukan internasionalisasi pendidikan.

Selanjutnya, salah satu bentuk internasionalisasi pendidikan seperti mengadopsi kurikulum dari luar negeri. Semisal, mengadopsi kurikulum Cambridge International dari Inggris, kurikulum Montessori dari Italia, kurikulum Singaporean Primary School Curriculum dari Singapura, kurikulum International Baacalaureate dari Swiss, dan lain-lain.

Ben Schmit (2018), seorang Regional Director Southeast and Pasific Cambridge International, mengutarakan bahwa ada 218 sekolah di Indonesia telah menerapkan kurikulum Cambridge International. Bahkan, masih menurut Schmit, bahwa jumlah ini meningkat dari sebelumnya yang hanya 180 sekolah di dua tahun yang lalu.

Fakta yang dipaparkan oleh Schmit ini menarik untuk dicermati. Sebab, semakin gencarnya fenomena adopsi kurikulum asing merupakan pertanda bahwa internasionalisasi pendidikan telah menjadi trend di masyarakat Indonesia.

Akan tetapi, sebenarnya, fenomena ini patut menjadi bahan refleksi tersendiri. Perlu ditimbang ulang kembali. Apakah internasionalisasi pendidikan mampu memberikan banyak keuntungan bagi para siswa dan sekolah ? Ataukah justru akan menimbulkan persoalan baru?

Manakala ditinjau ulang kembali, sebenarnya ada beberapa manfaat yang bisa diambil dari internasionalisasi pendidikan di lingkup sekolah.

Pertama, membantu para siswa untuk meningkatkan wawasan dan kemampuan level global. Sebagai pihak pendidik, sekolah berupaya untuk mempersiapkan para siswanya untuk mampu berkiprah di masa depan.

Ketika di era sekarang, yakni era revolusi industri 4.0, kemampuan menggunakan teknologi yang didominasi berbasis dari Barat sangat dibutuhkan, apalagi di era para siswa ketika mereka menjelma menjadi insan dewasa kelak.

Kedua, sebagai instrument untuk menarik minat para calon siswa baru sehingga berdampak pada pendapatan ekonomi sekolah. Sekolah pun berlomba-lomba menawarkan banyak program internasional.

Kurikulum asing diadopsi. Program sister school ditingkatkan. Tentu saja semua itu dilakukan supaya banyak orang tergerak untuk mendaftarkan putra-putri mereka sebagai siswa baru. Apalagi masih banyak orang Indonesia yang bermental inlander.

Segala hal berkaitan dengan luar negeri, produk luar negeri, menjadi nampak berkelas dan bermutu. Bahkan di masyarakat Indonesia terdapat sebuah fenomena sosial captive mind (tawanan fikiran) yakni sebuah anggapan bahwa ilmu pengetahuan Barat jauh lebih hebat.

Fenomena ini tentu menjadi sebuah peluang besar bagi banyak sekolah untuk menjual produk-produk pendidikan sekolah yang dikemas se Barat mungkin. Maka terjadilah sebuah komersialisasi di balik internasionalisasi pendidikan sehingga menyebabkan pendapatan ekonomi sekolah bisa bertambah.

Meski demikian, tanpa disadari, internasionalisasi pendidikan ini justru akan menciptakan persoalan baru di dunia pendidikan Indonesia.

Pasalnya, internasionalisasi pendidikan merupakan produk dari kapitalisme modern yang akan memicu munculnya kesenjangan kelas-kelas sosial di dunia pendidikan.
Akan ada jarak kentara antar kelas sosial sehingga memunculkan masyarakat bias kelas. Meminjam bahasa Karl Marx, masyarakat sosial terdiri dari kelas atas dan kelas bawah.

Kelas atas adalah masyarakat yang mempunyai ekonomi bagus sementara kelas bawah adalah masyarakat dari ekonomi bawah.

Kelas atas inilah yang akan mendominasi dalam pemanfaatan akses pendidikan bertaraf internasional. Ironi memang bilamana internasionalisasi pendidikan hanya bisa diakses oleh kalangan kelas atas.

Sebab, mereka mempunyai banyak modal ekonomi untuk membayar akses dan fasilitas pendidikan yang tergolong sangat mahal. Hanya kalangan borjuis yang mampu membelinya.
Sementara kalangan ekonomi rendah tidak mampu meraihnya. Adalah betul perkataan Eko Prasetyo, “Orang miskin dilarang sekolah !“.

Internasionalisasi pendidikan justru akan menciptakan pendidikan eksklusif di Indonesia. Bukan pendidikan inklusif. Padahal menurut amanat Undang-Undang 1945, pasal 31 ayat 1, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

Jikalau ada sebagian kalangan masyarakat bisa mendapat pendidikan berkualitas maka idealnya, seluruh masyarakat bisa diakomodir untuk bisa mendapatkan pendidikan berkualitas.

Pendidikan berkualitas tidak dimonopoli oleh kalangan borjuis saja. Dalam konteks internasionalisasi pendidikan, definisi pendidikan berkualitas adalah pendidikan yang mempunyai kualitas taraf internasional.

Maka daripada itu, nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan menjadi sebuah tujuan yang benar-benar bisa direalisasikan ke dalam dunia pendidikan Indonesia.rmol news logo article

*Penulis adalah Pembina Sekolah Riset SMA Muhammadiyah 10 GKB Gresik

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA