Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Perkosaan 12 Santriwati Tak Terkait Politik

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/djono-w-oesman-5'>DJONO W OESMAN</a>
OLEH: DJONO W OESMAN
  • Selasa, 14 Desember 2021, 23:19 WIB
Perkosaan 12 Santriwati Tak Terkait Politik
Ilustrasi/Net
IBU-ibu igit-igit (gemas) pada Herry Wirawan (36) si pemerkosa 12 santriwati. Gemas, bukan seperti melihat bayi lucu. Bukan. Juga bukan, igit-igit ingin menggigit. Melainkan ingin penis Herry diloyokan, dihukum kebiri. Potong abis.

Tak kurang, Menteri Sosial, Tri Rismaharini, mendukung gagasan publik bahwa Herry layak dikebiri.

Risma, menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Selasa,(14/12) mengatakan:

"Soal itu (Herry memperkosa 12 santriwati) saya, secara pribadi, mendukung ia dihukum kebiri. Soalnya ini kejahatan luar biasa. Mengorbankan masa depan belasan anak"

Yang dimaksud Risma: 'Anak', bermakna ganda. Menyangkut 12 anak, usia 13 sampai 16 yang diperkosa Herry. Juga, anak-anak (total 11 bayi dan balita) yang dilahirkan anak-anak korban perkosa itu.

Risma: "Karena, itu pasti berat. Berat buat ibunya, berat buat anaknya. Berat buat orang tua anak-anak (korban) itu. Kalau kita tidak siapkan road mapnya, anak-anak itu bakal bagaimana jadinya, kelak?"

Bisa disimpulkan, berdampak kesedihan rangkap tiga. Kakek-nenek, korban, bayi.

Menteri lain, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati, lebih sederhana: Kebiri saja.

Menteri Gusti Ayu, dalam jumpa pers usai mengikuti rapat koordinasi penanganan kasus Herry Wirawan di Kantor Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, di Bandung, Selasa (14/12) mengatakan:

"Ini kejahatan luar biasa jahat. Apalagi, diduga pelaku juga menyalahgunakan dana bantuan pemerintah, untuk yayasan pondok pesantrennya. Pelaku harus dihukum kebiri"

Paling top, Presiden Joko Widodo juga memperhatikan kasus ini. Presiden Jokowi, berpesan kepada Menteri PPPA, Gusti Ayu, agar kasus ini jadi perhatian serius Kementerian PPPA.

Itu sebabnya, Menteri Gusti Ayu ikut mengawal kasus ini, sampai ikut konferensi pers di Kantor Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, di Bandung, Selasa (14/12). Atas arahan Presiden Jokowi.

Gusti Ayu: "Terkait kasus ini, Bapak Presiden Jokowi memberikan perhatian khusus. Bapak Presiden menginstruksikan, agar negara hadir dan memberikan tindakan tegas terhadap pelaku"

Dilanjut: "Bapak presiden memerintahkan kepada kami untuk berkoordinasi lintas sektoral. Dan, Bapak Kajati sudah bertindak cepat"

Diakhiri: "Terkait kebutuhan korban, kita harus mengawal sampai tuntas. Terutama, dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak-anak. Korban ini kebanyakan masih anak-anak yang menjadi tanggung jawab kita bersama dalam hal pemenuhan kebutuhan dasarnya"

Di sini juga bermakna ganda: Anak-anak yang diperkosa Herry. Dan, anak-anak yang dilahirkan oleh anak-anak itu.

Dua menteri, satu presiden. Yang menyoroti kasus ini. Sungguh jarang terjadi, perkara hukum pidana disorot begini rupa.

Memang. Perkosaan berdaya tarik cerita (atau berita media massa), tinggi. Semua media massa memuat perkara ini.

Orang bertanya-tanya, mengapa pria memperkosa? Apalagi terhadap anak, berjumlah banyak. Perkosaan berantai.

Prof Sherry Hamby, dalam bukunya "Battered Women's Protective Strategies: Stronger Than You Know" (terbitan 2013) mengulas minat pelaku. Dikatakan:

"Pria memperkosa perempuan (termasuk anak perempuan) bukan bertujuan kepuasan seks, atau minat seks. Melainkan soal kepuasan mendominasi korban"

Intinya, urutan kepuasan pelaku adalah: Bisa mendominasi korban. Kepuasan kedua, seksual.

Prof Hamby adalah Profesor Riset Psikologi, University of the South, Amerika. Ia juga Direktur Life Paths Research Center, dan Pendiri ResilienceCon. Risetnya tentang perkosaan sering jadi rujukan ilmuwan dan praktisi hukum.

Dikatakan, sumber utama perilaku pemerkosa, harus ditinjau dari sosiologi. Dalam masyarakat (budaya Barat dan Timur) muncul Toxic Masculinity (terjemahan: Maskulinitas beracun, mungkin kurang pas).

Prof Hamby: "Bagi pria, sejak pubertas, satu-satunya cara punya status sosial tinggi di antara rekan-rekan, adalah aktif secara seksual. Sebaliknya, pria yang kelihatan kurang aktif seksual, dianggap lemah"

Contoh: Untuk pamer aktivitas seksual, pria kepada teman pria memamerkan pacarnya. Cerita, bahwa ia sudah menaklukkan pacarnya. Yang sudah menyerahkan segalanya. Termasuk tubuh.

Berpacaran, bagi pria, bukan pada kegembiraan bersama pacarnya. Atau keindahan cinta. Terlalu jauh.

Memang, kadang pria bicara tentang cinta pada pacarnya. Tapi, terpenting itu untuk dipamerkan kepada teman sesama pria, bahwa ia aktif secara seksual. Gampangnya: Bukan homo atau banci.

Itulah yang oleh Prof Hamby disebut Toxic Masculinity. Racun dunia.

Racun ini, berkembang biak. Meluas-mendalam. Menjadi dominasi. Pria mendominasi perempuan. Ini sebagai pameran kepada publik, bahwa si pria asli maskulin.

Pria mendominasi bisa mendominasi perempuan, si pria puas. Kepuasan nomor dua, puas seksual.

Kata 'dominasi' itulah yang jadi penyakit jiwa akibat budaya, membentuk pemerkosa. Dominasi termasuk, poligami. Keyakinan pria, bahwa wanita memang diciptakan untuk dimiliki pria. Dalam dominasi pria.

Teori Prof Hamby, cocok dengan kasus Herry Wirawan. Pengelola sekaligus ustaz di pondok pesantren di Cibiru, Bandung. Asli, ia mendominir santriwati. Lengkap dengan perkosa. Rutin lima tahun bergiliran. Sampai melahirkan 11 anak.

Yang mengherankan publik, kasus ini dilaporkan korban ke Polda Jawa Barat, 18 Mei 2021. Beberapa hari kemudian Herry jadi tersangka. Ditahan. Dibuatkan BAP (Berita Acara Pemeriksaan).

Lantas, perkara dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Bandung. Kemudian perkara diadili di Pengadilan Negeri Bandung.

Hampir tujuh bulan kemudian, setelah sidang ke-6, pada pekan kedua Desember 2021, kasusnya meledak. Ambyar...

Keheranan publik itu menimbulkan aneka spekulasi di media sosial. Spekulasi tidak bermutu. Mengarah ke mana-mana. Termasuk, tudingan warganet, bahwa isteri Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Atalia Kamil, berusaha menyembunyikan kasus ini. Diduga, terkait rencana Ridwan Kamil maju Pilpres, yang bisa tercoreng kasus ini.

Menanggapi itu, Atalia Kamil sudah menerbitkan keterangan resmi, 12 Desember 2021. Atalia membantah tudingan warganet tersebut. Tidak ada kaitan politik.

Atalia Kamil: "Saya sejak Juni 2021 secara langsung terus memantau dan berinteraksi dengan korban dan orang tuanya, untuk memastikan anak-anak mendapatkan hak perlindungannya"

Bahwa perkara ini menggalaukan ortu yang punya anak perempuan jadi santriwati di Ponpes mana pun, pastinya. Tak bisa dihindari.

Apalagi, kasus sejenis di Depok, Jawa Barat, korban 10 santriwati, kini diusut polisi. Masyarakat heran. Kok, di Jawa Barat lagi?rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA