Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Surat OC Kaligis dari Sukamiskin: Pengangkatan Novel Baswedan sebagai ASN, Bukti Hancurnya Penegakkan Hukum Indonesia

Selasa, 14 Desember 2021, 17:16 WIB
Surat OC Kaligis dari Sukamiskin: Pengangkatan Novel Baswedan sebagai ASN, Bukti Hancurnya Penegakkan Hukum Indonesia
Advokat senior OC Kaligis/Net
Saya Prof. Otto Cornelis Kaligis, pemerhati hukum, kini lagi dipenjarakan di Lapas Sukamiskin, dicap sebagai warga binaan koruptor tanpa bukti, tanpa merampok uang negara, hendak membagi pengalaman dan pengetahuan saya, mengenai carut marutnya penegakkan hukum dewasa ini, di tanah air kita, yang urutan uraiannya adalah sebagai berikut:
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Kebetulan hari ini tanggal 10 Desember dimana dunia  memperingati Hari Hak Azasi Manusia.

Dikenal dengan nama HAM yang dalam penegakan hukum, arti HAM di Indonesia sama sekali tidak berlaku untuk masyarakat pinggiran, masyarakat miskin.

Buktinya si miskin yang memperjuangkan hak asasinya dikesampingkan, ketika secara sewenang-wenang mereka dianiaya, disiksa oleh seorang pemegang kuasa bernama Novel Baswedan.

Pekik permohonan keadilan mereka, didiamkan begitu saja, oleh para penegak hukum, yang punya kuasa menegakkan hukum di Bumi Indonesia ini.

Bahkan Novel Baswedan yang oleh Undang-Undang telah dipecat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), kembali diusia 44 tahun ditetapkan sebagai ASN di kepolisian, untuk kemudian kembali ke KPK, ditempat dimana dia bertindak secara otoriter sebagai Penyidik KPK. Catatan saya,: Maximum usia untuk jadi ASN adalah 35 tahun.

Otomatis perkara pidana penganiayaan dan pembunuhan yang sekarang lagi sengaja digantung oleh Kejaksaan, urung dimajukan ke Pengadilan sesuai Perintah Pengadilan.

Perjuangan lanjut Novel Baswedan, adalah mengkriminalisasi Firli Bahuri dan mungkin juga melakukan perlawanan terhadap Kapolri.

Hal itu berani dilakukan Novel Baswedan karena sudah terbukti Novel Baswedan kebal hukum, akibat dukungan Media, Mata Najwa, LSM, Ombudsman, Komnas Ham dan mungkin “tangan tangan kotor dan kuat” dibelakang Novel Baswedan, sehingga Novel Baswedan tak segan-segan melakukan pelanggaran hukum.

Itulah fenomena peradilan di Indonesia, yang terjadi disemua lini. Mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, putusan peradilan sampai ketingkat Kementerian Hukum dan Ham, dimana para warga binaan, dalam rangka pembinaan, memperoleh perlakuan yang tebang pilih, perlakuan diskriminatif.

Berapa banyak warga binaan miskin, yang telah habis masa penahanannya tetap di-lapas-kan, hanya karena sama sekali tidak punya uang pelumas, biaya yang biasa dan lazim terjadi, bila yang bersangkutan sudah seharusnya bebas.

Belum lagi diskriminasi dalam pemberian remisi, cuti menjelang bebas, assimilasi dan semua hak warga binaan yang seharusnya diperoleh berdasarkan pasal 14 Undang-undang No 12/1995 yang dikenal sebagai Undang-Undang Pemasyarakatan.

Sekalipun sejak 30 September 2021 putusan MK dan MA menetapkan bahwa sejak putusan itu, Hanya Departemen Hukum dan Ham sebagai satu satunya yang punya otoritas memberikan hak hak warga binaan, tanpa campur tangan KPK, perlakuan tanpa diskriminasi terhadap para warga binaan, sampai detik ini, belum terlaksana.

Suap atau penerimaan hadiah sebesar 5-10 juta rupiah disaring sebagai perbuatan korupisi dengan vonis  2 sampai 5 tahun. Betapa negara dirugikan untuk biaya hidup mereka selama di Lapas. Padahal wewenang KPK menjaring korupsi untuk kerugian negara berjumlah satu miliar rupiah keatas.

Dengan lahirnya era Reformasi, dibuatlah bermacam macam perangkat hukum, seolah olah para pemimpin negara ini, benar berniat menjadikan NKRI sebagai negara hukum berlandaskan Konstitusi dan Pancasila.

Dimulai dengan undang undang melawan Korupsi Kolusi Nepotisme, undang undang nomor 28/1999.

Kemudian Undang-Undang korupsi, Undang-Undang No 31/1999, yang  dapat menjaring siapa saja yang diasumsikan “dapat” menimbulkan kerugian negara.

Tentu kata “dapat” tersebut tergantung dari intepretasi penyidik atau penuntut umum. Sekalipun putusan MK No. 25/2016 telah menghapus kata “dapat” tersebut, tetap saja KPK menjaring para tersangka, melalui asumsi atau melalui hasil pemeriksaan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, bukan Badan Pemeriksa Keuangan.

18.  Selanjutnya pembentukan Undang-Undang KPK No 30/2002. Terbentuknya KPK yang sifatnya ad hoc, dibentuk untuk meningkatkan kemampuan polisi dan jaksa dalam pemberantasan korupsi.

19.  Sekalipun ad hoc, terbukti kekusaan KPK yang tanpa batas, bahkan anarkis berhasil, mengabaikan koordinasi dengan kepolisian dalam kegiatan pemberantasan korupsi.

Untuk mengawasi tertib pelaksanaan Undang-Undang agar tidak bertentangan dengan konstitusi, terbentuklah Undang-Undang Mahkamah Konstitusi No 24/2003. Keputusan MK yang erga omnes, adalah putusan akhir yang tak dapat dibanding (final and binding).

Berikut beberapa putusan MK yang diabaikan oleh penegak hukum.

Putusan MK nomor 33/2016, mengenai Jaksa tidak berwenang melakukan  upaya hukum di Permohonan PK yang diajukan oleh Terpidana Pemohon. PK. Alasannya; karena kesempatan yang cukup telah diberikan kepada Jaksa ditingkat  Pengadilan negeri, tinggi dan mahkamah agung. Wewenang jaksa dibatasi sampai putusan in kracht.

Putusan MK nomor 34/2013. Hanya terpidana dan ahli warisnya yang dapat mengajukan PK  lebih dari sekali. Putusan MK ini tidak ditaati oleh Mahkamah Agung. Sekalipun Pengadilan negeri memeriksa PK kedua, dan para ahli yang dimajukan terpidana, mendukung PK lebih dari sekali melalui pendapat ahli mereka, Mahkamah Agung tetap tidak akan memeriksa permohonan PK kedua.

Bahkan Jaksa Agung seolah olah tidak mengerti putusan MK tersebut diatas,  dimana secara jelas mengatur bahwa Jaksa tidak punya otoritas mengajukan PK. Baik Mahkamah Agung maupun Jaksa Agung  mengabaikan putusan MK yang erga omnes.

Terakhir Jaksa Agung dalam pernyataan Persnya, menegaskan akan kembali mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang in kracht, putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Putusan  MK nomor 25/PUU-XIV/2016. Kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang undang Tipikor, dihapus. Tegasnya unsur merugikan keuangan negara harus nyata. Kerugian Negara bukan lagi delik formil  tetapi delik materiil

Dalam praktek, KPK megabaikan putusan ini. Sekalipun baik Mahkamah Agung maupun kejaksaan agung telah menetapkan bahwa untuk menghitung kerugian negara, Hanya Badan Pemeriksa keuangan yang berwewenang menentukan kerugian negara, KPK tetap saja mengabaikan ketentuan ini.

Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 mengenai sadapan?  Dalam praktek, sebelum revisi Undang undang Tipikor,  Sadapan tidak diawasi oleh Dewan Pengawas. Akibat hukumnya, setiap orang tidak mengetahui kapan disadap KPK. Bahkan terjadi penyadapan yang  dilakukan diluar tingkat penyelidikan. Apalagi hasil sadapan yang dimajukan sebagai bukti di Pengadilan, adalah hasil sadapan yang  diedit KPK. Sadapan yang menguntungkan terdakwa, dikesampingkan.

Pemeriksaan perkara KPK dipersidangan, adalah persidangan sandiwara.

Mengapa saya berkata demikian?  Sukamiskin adalah tempat penelitian hukum saya. Semua korban warga binaan sependapat, bahwa tuntutan hanya menyalin dakwaan saudara Penuntut Umum. Sekalipun pasal 185 (1) KUHAP mengatur bahwa bukti adalah apa yang terungkap dipersidangan, bukti tersebut selama menguntungkan terdakwa dikesampingkan.

DPR RI pun dalam rangka pengawasan atas kine kerja KPK, sempat mewawancarai Sukamiskin, dan menemukan betapa banyaknya penyalah gunaan kekuasaan yang dilakukan KPK.

Hasil Pengawasan DPR RI, termasuk temuan  Badan Pemeriksaan Keuangan mengenai kerugian negara yang dilakukan KPK tidak ditindak lanjuti.

Barang sitaan yang tidak disimpan  dirumah penyimpanan barang bukti, sehingga karena tidak dibuatnya berita acara penyitaan barang bukti, barang sitaan mudah digelapkan. Bahkan banyak barang sitaanyang dirampas KPK,  diluar tempus dan locus delicti.

Pemeriksaan saksi bukan dikantor KPK sehingga karena saksi tidak didampingi Penasehat Hukum KPK mudah merekayasa keterangan saksi untuk kepentingan KPK.

Tebang pilih penentuan tersangka  dan banyak temuan lainnya, yang dilakukan KPK misalnya dalam kasus Bank Century yang  diberhentikan hanya sebatas pemeriksaan saksi Boediono. Pemeriksaan tidak tuntas dilakukan oleh KPK. Bahkan sebagian fakta hasil penyidikan yang seharusnya diproses, tetapi justru di peti eskan.

Putusan Yudex factie di Pengadilan, umumnya meng-amini tuntutan jaksa KPK. Seandainya hakim berani berseberangan dengan tuntutan KPK, Hakim bersangkutan habis habisan dikriminalisi KPK melalui berita berita miring di Media

Ex. Ketua hakim Mahkamah Konstitusi saudara DR. Hadan Zoelva  melalui media membenarkan bahwa kurang lebih 17 putusan Hakim Agung Artidjo, hakimnya KPK , harus di eksaminasi, karena diputus tanpa pertimbangan hukum.

Di era sesudah lengsernya Novel Baswedan, mulai ada putusan bebas dalam kasus korupsi.

Mengapa saya katakan perkembangan hukum dewasa ini carut marut bahkan mengalami kemunduran?

Sekalipun berkali kali Pak Presiden menegaskan perlunya semua warga negara diperlakukan sama didepan hukum?

Untuk sampai kepada kesimpulan tersebut, saya coba menapak  kembali ke pengalaman saya sebagai advokat, membela perkara diluar negeri.

Mulai ketika saya membela sengketa PT.Amco versus pemilik tanah hotel Kartika Plaza yang berakhir pada putusan arbitrase di Washington.

Lanjut,  berturut turut terhadap  kasus Karwell di arbitrase Hongkong, kasus perbankan di Washington mewakili Djajanti grup, di New York untuk sengketa PT. Velveteen, Penanaman Modal di Indonesia, di Newark untuk kasus anaknya Menteri Perhubungan Pak Danutirto, di Milan dan di Madrid sebagai kuasa “Prada”di Amsterdam untuk kasus Pilot M.Said, di Sydney,  Melbourne, dan banyak di Pengadilan Pengadilan Luar Negeri.

Ketika saya harus ke Newark untuk minta keterangan seorang kepala sekolah yang ada hubungannya dengan perkara pemerasan di Indonesia, saya ditemani oleh dua polisi masing masing saudara Pongrekun yang sekarang berpangkat Komisaris Jendral dan Albert Rachmat Kapolda disalah satu propinsi.

Atas jasa baik saudara Jendral Polisi Goris Mere, sebelum ke Newark saya singgah dulu ke Los Angeles, dimana saya berkesempatan ke markas LAPD sekedar melihat bagaimana polisi Los Angeles membuat berita acara pemeriksaan saksi untuk satu perkara pidana.

Caranya sederhana. Saksi menjelaskan secara singkat apa yang diketahuinya dalam kapasitasnya sebagai saksi, dengan tulisan tangannya sendiri, lembaran kesaksian mana tidak lebih dari 3-4 halaman. Keterangan saksi tersebut nanti diuji oleh Jaksa dan Penasehat hukum dipersidangan.

BAP Polisi Los Angeles, tidak seperti berkas KPK yang tingginya hampir dua tiga meter, tetapi isinya kosong atau kebanyakan assumsi kesimpulan Jaksa didalam menyusun dakwaannya.

Hal yang sama ketika saya diperiksa di Lichtenstein untuk perkara Tommy Suharto.

Jaksa pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan sangat santai, setelah saya disumpah, pemeriksaan hanya berlangsung tidak lebih dari 20 menit.

Ketika menghadiri sidang di Lichtenstein, apa yang terungkap dipersidangan, lembaran salinan sidang langsung diberikan kepada para pihak. Tidak ada pertimbangan dakwaan versi Jaksa seperti yang terjadi dipersidangan pidana di Indonesia. Semua fakta sidang harus dipertimbangkan dan dibahas oleh para pihak yang berperkara.

Mungkin acara persidangan di Indonesia, sekurang kurang nya seharusnya mengikuti tranparansi yang terjadi dipersidangan Mahkamah Konstitusi.

Perkara Pidana di Indonesia dimulai dengan ulasan ulasan di Media yang sangat menyudutkan tersangka melawan Azas Praduga tak Bersalah.

Beda kalau yang terlibat oknum oknum KPK seperti misalnya dalam kasus Bibit-Chandra Hamzah, Abraham Samad-Bambang Widjojanto, kasus percobaan pembunuhan Novel Baswedan yang baru saja resmi menjadi anggota ASN di Kepolisian, atau kasus korupsi Prof. Denny Indrayana, yang perkara korupsinya selesai digelar penyidik polisi. Mereka semua kelompok kebal hukum yang minimal dilindungi Kejaksaan.

Penetrapan Hukum di Era Reformasi, sekalipun berulang kali Presiden Ir. JokoWidodo menyerukan agar pelaksanaannya dilakukan tanpa tebang plih, tetap saja para pelaksana dibidang hukum, mengabaikan himbauan Bapak Presiden, bahkan putusan putusan MK dan undang undang lainnya, sama sekali tidak dilaksanakan.

Ketika wakil-wakil rakyat di DPR, walaupun melihat carut marutnya penetrapan hukum, tetapi tidak sanggup berbuat apa apa melawan kezoliman tersebut, disaat itu pula saya berani katakan bahwa NKRI sebagai negara Hukum, telah runtuh.

Tulisan saya sebagai praktisi,  akedemisi, bahkan sampai sekarang saya masih berstatus hakim arbitrase, sekedar saya buat sebagai catatan sejarah, mengenai runtuhnya peradilan di Indonesia.

Tulisan ini juga saya alamatkan mengenang jutaan manusia yang bercita cita menjadi aparatur sipil negara, harapannya pupus karena gagal test. Kalian berjiwa besar, tidak membuat kegaduhan, menerima kenyataan gagal test dengan lapang dada.

Bagi mereka yang berakal sehat. Jangan bermimpi bahwa NKRI masih negara hukum. Buktinya terdapat 6 tersangka yang harus diadili, sebaliknya perkaranya tak kunjung maju ke Pengadilan. Bahkan mereka dengan angkuhnya bertindak seolah olah pejuang keadilan. Bareskrim Polri sekarang dikuasai oleh penyidik “Taliban”.

Mereka adalah Bibit-Chandra Hamzah, Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Prof. Denny Indrayana tersangka korupsi, dan Novel Baswedan, sitersangka pembunuh, yang berhasil kembali jadi penyidik Polisi, dan sebentar lagi bertugas di KPK. Apa mungkin Novel Baswedan jadi sangat berkuasa, karena Novel Baswedan mengkantongi banyak fakta korupsi yang dilakukan oleh petinggi petinggi negara di Republik ini?

Demikianlah catatan sejarah dari seorang warga binaan, bernama OC. Kaligis, yang karena status saya sebagai warga binaan, pasti catatan ini  sama sekali tidak mendapatkan perhatian perbaikan tegaknya Hukum dan  Peradilan  di Indonesia. Semoga Tuhan Yang Maha Adil mendengarkan dan memberi jawaban.
*OC Kaligis adalah advokat senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA